Mobil berplat B itu melewati gerbang yang pada bagian atasnya bertulisan Pondok Pesantren Al-Taubah, lalu berhenti di depan teras rumah berbentuk joglo. Herman mematikan mesin, turun dari mobil, membuka bagasi. lalu mengeluarkan dua koper besar dari dalamnya. Mirna juga turun, membuka pintu penumpang, menggandeng Dulah, membawanya mendekati laki-laki berkopiah yang berdiri di teras, menyambut kedatangan mereka.
“Jangan merasa dibuang atau disingkirkan! Ini semua demi masa depanmu!” kata Mirna. “Apalagi kita juga sudah bersepakat sebelumnya.”
Dulah pilih tak menjawab; cemberut. Diamatinya dua koper yang tergeletak di teras rumah, ditolehnya sang papa yang sedang duduk di kursi, lalu diliriknya laki-laki setengah baya dan berkopiah putih yang sedari tadi tersenyum-senyum, menyenyuminya.
“Sana, salim dulu sama pamanmu!” kata Mirna lagi. “Mama dan Papa tidak bisa lama-lama di sini. Kami akan segera kembali ke Jakarta. Papamu sedang banyak urusan.”
Dulah tambah cemberut. Mendung tebal tampak menggayut di wajahnya. Ia bergerak kaku layaknya robot. Ia sama sekali tak pernah punya pikiran bahwa suatu ketika bakal dikirim ke pondok yang dikelola oleh pamannya itu. Selintas pun tidak. Ia anak tunggal. Mamanya ibu rumah tangga dan papanya pengusaha di bidang penyewaan alat-alat pesta dan mereka berdua sangat menyayanginya. Tidak mungkin mereka menyingkirkannya, apa pun alasannya. Kenyataannya, yang terjadi kemudian ternyata jauh dari sangkaan Dulah.
Papa dan mamanya jelas sudah bersekongkol. Seperti itu yang dipikirkan Dulah. Papanya otaknya sementara mamanya pelaksananya. Tidak bisa tidak; pasti seperti itu. Biarpun selama di rumah suka berlaku sebagai badut, papanya adalah orang yang cerdas luar biasa. Di rumah cukup mewah di Cempaka Putih itu, papanya ibarat chip processor pentium. Dialah penentu segala kebijaksanaan dan mamanya percaya dan mematuhinya. Mamanya tak pernah ragu akan laki-laki yang sudah menikahinya selama tujuh belas tahun itu.