Dulah sedang di kamarnya; merenung-renung. Papa dan mamanya belum dua hari meninggalkannya dan menurutnya sama sekali tanpa perasaan. Ini semua demi masa depannya. Pergaulan di Jakarta telah membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Salah satu langkah yang harus diambil adalah hijrah. Begitu yang dikatakan mamanya. Dulah menarik napas dalam-dalam; tak tahu apakah memang harus seperti itu jalan keluarnya: menyingkirkannya sejauh-jauhnya.
Dari arah masjid, suara anak-anak yang sedang mengaji terdengar nyaring. Suara mereka tidak kompak; ada yang nadanya ketinggian, ada pula yang sebaliknya; terlalu rendah. Burung kutilang yang berloncatan di pucuk pohon mangga sambil memperdengarkan kicauan menambah riuhnya suasana. Meskipun begitu, suara-suara itu tetap tidak mampu mengobati hati Dulah yang sedang gundah. Perasaan sedang disingkirkan dan dibuang oleh keluarganya itu tak mau enyah dari benaknya.
Dulah masih merenung-renung dan masih bingung hendak melakukan apa ketika tiba-tiba Kiai Kholil menemuinya. Kiai Kholil tidak masuk kamar, melainkan hanya berdiri di muka pintu. Kiai Kholil mengenakan baju koko, bersarung, dan berkopiah putih. Selembar kain berselempang di lehernya. Pemilik pondok pesantren yang juga pamannya itu menyuruh Dulah segera segera mandi.
“Gunakan air yang di ember! Bukan yang di bak mandi! Sudah Paman beri daun bidara cina.”
“Bidara cina?” Dulah mengernyitkan dahi. Rasa-rasanya baru sekali itu ia mendengar namanya.
“Nanti saya beri tahu kegunaannya,” jawab Kiai Kholil.
Dulah mengangguk-angguk. Setelah Kiai Kholil hilang dari pandangan, Dulah turun dari tempat tidur; ogah-ogahan. Badannya masih penat. Lima jam duduk di jok mobil dan hanya bisa menggeliat-geliat telah membuat otot dan saraf-saraf tubuhnya pegal dan kaku. Dulah belum tahu pasti maksud Kiai Kholil menyuruhnya mandi. Ia bukan anak kecil yang mandi pun harus disuruh-suruh. Perintah itu pasti ada maksudnya. Terlebih lagi Kiai Kholil tadi juga menyebut-nyebut nama daun yang terdengar asing di telinganya. Daun bidara cina untuk apa?
Sejak semula, Dulah tidak begitu percaya dengan keajaiban-keajaiban yang sering dilihatnya di televisi maupun sosial media. Entah itu kaitannya dengan pengobatan ataupun makhluk-makhluk astral ataupun benda-benda yang dianggap memiliki tuah dan kesaktian. Ia menganggapnya bohong dan hanya sekadar cara untuk mendapatkan uang secara mudah. Namun, bisa saja ia beranggapan seperti itu sebab sudah terlanjur skeptis; berita-berita tentang kasus penipuan bertebaran di media.
Dulah mengambil handuk dan pakaian ganti yang masih di dalam koper. Dipilihnya kaus oblong dan celana pendek. Setelah melepas kalungnya dan menyimpannya di balik bantal, Dulah keluar dari dalam kamar, berjalan melewati ruang tamu, memasuki dapur, lalu menuju kamar mandi yang terletak di pojokan. Di ruangan berukuran dua kali dua itu Dulah mendapati ember hitam berukuran besar yang biasa untuk mencuci pakaian. Airnya penuh. Beberapa lembar daun yang mirip daun jeruk nipis berserakan di dalamnya; ada yang mengapung; ada pula yang tergolek di dasar ember. Didorong rasa ingin tahu, Dulah mengambil selembar, mengamat-amati, mendekatkan ke hidungnya, dan baunya tidak wangi. Bahkan, tidak tercium olehnya bau apa-apa selain bau tubuhnya sendiri.
Dullah melepas pakaian, seluruhnya, lalu mengguyur tubuh dan kepalanya berkali-kali. Selanjutnya, ia menyabuni, menggosok--gosok, lalu kembali menyiramkan air di ember hingga tandas dan tuntas. Lembaran-lembaran daun bidara cina yang terciduk gayung itu berserakan di lantai, tersapu guyuran air, berenang beriring-iringan menuju lubang kecil di pojokan kamar mandi lalu lenyap ditelan kegelapan.
Selesai mandi Dulah menemui Kiai Kholil di ruang tamu, sedang duduk dan merokok. Melihat Dulah hanya berkaus oblong dan bercelana pendek, Kiai Kholil tersenyum, lalu masuk kamar. Tak sampai dua menit ia keluar lagi. Baju koko dan sarung yang masih baru itu ia berikan kepada Dulah.
“Pakai ini! Kita mau bertamu. Pakaiannya harus sopan,” katanya.
Sambil bertanya-tanya dalam hati, Dulah membawa pakaian itu ke kamarnya. Ia tak punya perkiraan Kiai Kholil hendak membawanya bertamu ke rumah siapa. Dulah mencopot kaus oblong; menggantinya dengan baju koko warna biru yang sedikit kebesaran, mematut-matut di depan cermin; lalu tersenyum; merasa dirinya sudah pantas menjadi seorang santri. Selanjutnya, Dulah mencopot celana pendeknya dan segera membatalkannya; baru ingat tak memakai celana dalam, lalu buru-buru mengenakan sarung pemberian Kiai Kholil tadi.
Kiai Kholil ternyata mengajak Dulah bertamu ke rumah Tuhan. Masjid berukuran cukup besar itu berada di samping rumah. Kiai Kholil membawa sebotol minuman mineral. Sambil berjalan ia menjelaskan manfaat daun bidara cina. Katanya, bisa untuk membersihkan jiwa dan raga dari gangguan makhluk tak kasat mata. Dulah mengangguk-angguk dan terus membuntuti di belakang Kiai Kholil seperti gerbong kereta sedang mengekor lokonya. Di teras masjid, beberapa santri senior tampak sedang mengajari membaca dan menulis beberapa bocah.
“Wudu dulu!” perintah Kiai Kholil. “Kutunggu di depan mimbar!”
Tanpa membantah, Dulah menuju tempat wudu yang terletak di bagian samping masjid. Ia menapaki lantai keramik motif bunga yang terlihat bersih meskipun agak licin. Kran-kran berjajar-jajar; menempel pada dinding keramik warna biru. Airnya dingin; menyegarkan.