Talinya berupa tiga utas kulit yang dijalin rapi, entah dari kulit sapi atau kambing. Bentuk pilinannya seperti rambut Bob Marley meskipun yang ini ukurannya lebih kecil. Bandulnya berbentuk lingkaran. Wujudnya mirip dompet ukuran kecil, tapi tanpa resleting. Bahannya juga dari kulit. Warnanya hitam; sama sekali tanpa gambar.
Dulah menemukan kalung itu di halaman pesantren tadi siang saat hendak menuju masjid untuk menunaikan salat Duhur. Kalung itu tergeletak di dekat pot bunga. Bisa jadi milik salah satu santri atau tamu Kiai Kholil yang datang untuk berobat. Bentuk dan wujud kalung itu sangat norak, mirip-mirip kalung yang biasa dipakai para prajurit kerajaan dalam film-film Indonesia. Meskipun demikian, ada dorongan yang sangat kuat pada diri Dulah untuk mengambil lalu menyimpannya. Dulah bagaikan sedang dihipnotis.
Dulah sengaja tidak melaporkan penemuan kalung itu kepada Kiai Kholil. Itu bukan kalung emas berliontin berlian yang sudah pasti mahal harganya. Bisa jadi hanya sebuah karya seni dan itu pun nilai seninya tidak tinggi-tinggi amat. Apalagi sudah satu hari berlalu dan tidak ada satu santri pun yang merasa kehilangan.
Dulah mematikan lampu kamar, berniat tidur, sudah pukul 23.15 WIB. Dulah tidak tidur ramai-ramai seperti para santri pada umumnya; satu kamar berisi delapan orang. Tidurnya di lantai, di atas kasur yang setipis tempe. Namun, Dulah menempati kamar di rumah utama, bersebelahan dengan ruang tamu meskipun kamar itu memiliki pintu sendiri.
Sebenarnya mama atau papanya Dulah tidak menuntut agar Dulah diperlakukan istimewa. Keduanya menghendaki Dulah menjadi santri sejati; menjalani hidup sederhana dan bersahaja. Makan hasil masak sendiri atau beli. Menunya seadanya, sekedar bisa untuk mengganjal perut yang lapar. Biar jiwa dan rohaninya kuat. Namun, Kiai Kholil menolak. Bagaimanapun juga, Dulah adalah keponakannya. Kedua orang tuanya mengirimkan Dulah ke pondok pesantrennya untuk menjauhkan Dulah dari teman-temannya di Jakarta; menghindarkan dari pergaulan yang tidak sehat; bukan semata-mata demi menuntut ilmu agama.
Pukul 24.00 WIB. Dulah menguap sangat lebar. Mulutnya menganga seperti gua. Setelah menggeletakkan kalung berbahan kulit itu di samping kepalanya, Dulah mulai memejamkan matanya. Subuh nanti ia harus ikut salat berjamaah di masjid milik pesantren dengan para santri. Kalau tidak, alamat bakal ada santri senior yang menyeretnya dari tempat tidur. Atau bahkan, Kiai Hilal sendiri.
Dulah sedang setengah melayang. Sebelumnya kilatan-kilatan peristiwa saat bersama-sama teman-temannya di Jakarta berhamburan di depan matanya; datang dan pergi. Ada yang indah, lucu, membahagiakan. Namun, ada juga yang menakutkan dan mengerikan. Salah satunya perkelahian yang sempat mengancam keselamatan jiwanya itu.
Tiba-tiba angin berembus sepoi; menggoyang gorden jendela warna putih. Dulah tergeragap, pergerakan angin itu begitu sangat tiba-tiba. Apalagi sepertinya di luar kamarnya tidak terdengar desau angin sama sekali. Dulah berdebar-debar. Seperti di film-film, setelah embusan angin biasanya segera diikuti oleh penampakan. Apakah embusan angin itu ada hubungannya dengan kehadiran hantu? Ataukah hanya angin biasa?