Ini hari pertama Dulah masuk ke sekolahnya yang baru, SMA Negeri I Kajen. Sehari sebelumnya; Kiai Kholil telah mendaftarkannya ke SMA yang menjadi favorit bagi warga di Kecamatan Kajen itu. Rupanya, papa dan mamanya Dulah telah bergerak secepat kilat dalam mempersiapkan kepindahannya. Waktu berangkat ke Pekalongan, semua administrasi kepindahan sekolah telah mereka siapkan: surat pindah, foto copy ijazah SMP, Kartu Keluarga, akte kelahiran, Nomor Induk Siswa, serta foto hitam putih ukuran 3 X 4 sebanyak enam lembar.
Sebelum meninggalkan kamar, Dulah membuka bantal bermotif bunga mawar yang tadi malam menjadi tempat parkir kepalanya. Ia merasa lega. Kalung bertali dan berbandul kulit itu masih tergeletak di sana. Bahkan, seakan-akan memanggil, merayu agar dibawa serta. Sesaat Dulah ragu. Bagaimana cara membawanya?
Namun, dorongan hatinya lebih kuat dibanding keraguannya. Segera Dulah menyambar kalung yang bergelung-gelung di atas kasur itu. Ia tidak berniat memakainya. Akal sehatnya telah memperingatkannya. Sekolah manapun aturannya sama. Siswa tidak boleh memakai perhiasan. Terlebih lagi kalung itu lebih cocok dipakai oleh para warok Ponorogo. Dulah memasukkan kalung itu ke dalam tasnya, akhirnya.
Ditemani Kiai Kholil dan istrinya, Dulah sarapan di rumah induk. Menunya nasi, sayur khas Pekalongan, megono, telur ceplok, dan sambal tomat. Meskipun Dulah menolak, istri Kiai Kholil memaksa untuk melayani Dulah: mengambilkan nasi dua centong, menumpuk sayur dan telur di atasnya, lalu mengguyurnya dengan sambal.
“Sudah, Bu Nyai! Sudah cukup!” kata Dulah.
“Makan yang banyak. Biar gemuk! Nanti dimarahi mamamu. Dikiranya kamu tidak diurus selama tinggal di sini!” Perempuan yang selalu berpakaian gamis itu menyorongkan piring yang menggunung itu kepada Dulah.
Istri Kiai Kholil sangat menyayangi Dulah, bahkan sejak Dulah masih kecil. Dulah masih ingat betul cerita mamanya. Dirinya sering digendong saat masih bayi.. Bahkan, kata mamanya lagi, Dulah pernah diminta oleh istri Kiai Kholil, mau diangkat menjadi anaknya. Bisa jadi hal itu dikarenakan perempuan itu tidak mempunyai keturunan Namun, mamanya menolak. Apalagi kemudian terbukti, Dulah adalah satu-satunya anak yang dilahirkannya.
Usai sarapan di ruang makan yang tidak terlalu luas itu, Dulah tebersit untuk menanyakan sejarah Pondok Pesantren Al-Taubah. Utamanya asal muasal tanah yang dipakai untuk mendirikan bangunan pesantren.
“Dulu tanahnya masih berupa kebun kosong. Isinya ilalang dan ular,” jawab Kiai Kholil. “Ada juga tanah kuburan yang sudah lama sekali tidak dipakai Namun, hanya ada dua kuburan. Sudah dipindahkan ke makam di tepi sungai kecil di sebelah sana itu.”
Dulah mengerutkan kening, dan teringat peristiwa yang dialaminya tadi malam; suara tanpa penampakan. “Kuburan siapa, Pak Kiai?”
“Tidak ada yang tahu.”