Dulah berdiri di depan kelas, membelakangi papan tulis putih. Di sampingnya Bu Karin, Wali kelas XI IPA 5. Perempuan muda itu menginformasikan maksud kehadirannya meskipun tidak sedang jam pelajarannya. Ada siswa baru, katanya. Bu Karin lalu menyuruh Dulah untuk memperkenalkan diri.
“Saya Abdulah Arsyad, pindahan dari Jakarta!”
“Panggilan? Nickname?” terdengar seruan dari deretan bangku sebelah kiri; suara perempuan.
“Panggil saja Arsyad!”
“Bukan Dul? Si Dul anak Jakarta?” seruan terdengar dari deretan bangku sebelah kanan, suara laki-laki yang mirip suara perempuan.
“Jangan! Nama itu sudah ada yang punya,” jawab Dulah, tersenyum
“Status! Status!” Suara yang ngebas itu berasal dari deretan bangku yang sebagian besar diisi siswa putri.
“Status jomblo ngenes, belum punya pacar,” Dulah tersenyum semanis es krim rasa vanila. “Tapi belum ingin pacaran dulu. Masih kecil. Bukan begitu, Bu?”
Perkenalan Dulah di depan kelas berjalan lancar. Bu Karin yang jadi pemandu acaranya. Guru Bahasa Inggris itu menjelaskan alasan Dulah pindah dari sekolahnya yang lama. Demi masa depan yang lebih baik. Menghindar dari pergaulan tidak sehat. Begitu katanya. Bu Karin juga menginformasikan, Dulah adalah santri di Pondok Pesantren Al-Taubah.
“Cita-citanya ingin jadi ustaz; ulama besar; menyamai atau bahkan melebihi Buya Hamka. Bukan begitu, Mas Arsyad?”
Dulah tak menjawab; hanya senyum-senyum walau tak tahu betul siapa orang yang disebut-sebut oleh wali kelasnya itu. Ia hanya pernah mendengarnya. Sepertinya judul film.
Usai acara perkenalan, Bu Karin mempersilakan Dulah duduk di bangku deretan paling kiri, nomor tiga dari depan. Teman sebangkunya berkaca mata dan terlihat pandai. Namanya Badu, anak guru SMP. Badannya gemuk. Rumahnya di luar kota; di daerah pegunungan. Badu kos di rumah warga yang berada di sekitar sekolahan.
“Sebulan berapa?” tanya Dulah.
“Tiga ratus ribu. Tanpa makan,” jawab Badu.
“Murah banget!” Dulah mengernyitkan dahi. “Di Jakarta, uang segitu hanya bisa dapat bedeng mirip kandang ayam. Bukan kamar.”
“Di sini, kalau mau tidur sama ayam, gratis!” balas Badu.
Entah hanya perasaannya atau memang seperti itu kenyataannya, Dulah merasa diterima di kelas yang jumlah siswanya tiga puluh dua itu. Terlihat dan terdengar, para siswa menyambut kehadiran Dulah dengan gembira. Tak ada yang terlihat sinis atau memasang muka masam. Bahkan, beberapa siswi tampak saling berbisik sambil terkikik-kikik. Bisa jadi sedang membicarakannya. Dulah tidak peduli. Tadi matanya yang sudah terlatih sempat mengedari seisi kelas, dan dilihatnya tidak ada yang berwajah mirip Sinta, perempuan yang pernah membuatnya terluka itu.