Pukul 24.00 WIB. Angin berembus pelan; meniup gorden kamar, membuat kain tipis berenda-renda penghias kaca jendela itu bergoyang-goyang.
Plak! Plak! Plak...!
Suara itu dimulai dari emperan rumah di samping kamar, melewati pintu, mengarah ke tempat tidur, lalu berhenti di dekat Dulah yang sedang berbaring miring dan tak bergerak sama sekali seperti orang mati.
Tadi, usai salat Isya, Dulah dan beberapa santri iftikat di dalam masjid. Ada yang membaca al-Quran. Ada juga yang wiridan. Namun, pukul sembilan, Dulah memutuskan kembali ke kamar. Ia belum bisa sepenuhnya berkonsentrasi. Bibirnya berdzikir, tapi pikirannya melayang ke mana-mana: ke teman-temannya di Jakarta, mama dan papanya, kalung yang sedang dikenakannya, pun kembar misterius yang tadi dilihatnya di beranda masjid.
“Bukan kembar. Bahkan, bukan kakak dan adik,” jawab Tadho. “Tapi keduanya memang sangat mirip.”
“Santri di sini juga?” tanya Dulah.
“Bukan. Mereka warga kampung. Kadang ikut salat Magrib dan pengajian di sini,” kata Tadho.
“Ooo,” Dulah mengangakan mulutnya sambil mengangguk-angguk.
“Kenapa?” Tadho tersenyum-senyum. Matanya melirik-lirik penuh makna. “Tertarik? Nanti saya bilang ke Pak Kiai!”
“Ti-tidak,” jawab Dulah, tergagap. “Memangnya apaan?”
Tardho tertawa melihat ponakan guru ngajinya itu tersipu-sipu dan salah tingkah..
Plak! Plak! Plak!
Suara itu terdengar lagi. Kali ini menjauhi tempat tidur, mengarah ke pintu, menembusnya, menyusuri emperan, lalu tak terdengar apa-apa lagi kecuali bunyi dengkur Dulah yang senyaring suara sepur.
***
Dulah berangkat sekolah agak tergesa-gesa. Bahkan, tanpa sarapan. Kiai Kholil dan istrinya belum pulang dari luar kota. Kabarnya mengobati mantan bupati. Tadi Dulah bangun agak terlambat. Usai salat Subuh di masjid, ia balik ke kamarnya dan kembali tidur, dan bangun-bangun sudah pukul setengah tujuh. Dulah setengah berlari. Kalung tak lupa dibawanya. Seperti sebelumnya, ia memasukkannya ke dalam tas.
Setelah jembatan yang mengangkangi sungai kecil berair cokelat, ada pertigaan. Dulah memutuskan belok kiri, tidak lurus seperti biasanya. Harapan Dulah, rute itu bisa membuatnya lebih cepat sampai di sekolah.
Dua menit kemudian Dulah tiba di pertigaan lainnya, lalu belok kanan, dan di depan sana dilihatnya anak-anak berseragam batik yang coraknya sama dengan yang sedang dikenakannya. Mereka berjalan tergesa-gesa; takut terlambat, lalu dihukum.