Rodan Rodin

HAA
Chapter #11

Kena Pengaruh

Tidak terasa tiga bulan berlalu sejak Dulah meninggalkan kota kelahirannya, Jakarta. Waktu melaju secepat tornado, bahkan lebih laju lagi. Beberapa kali Dulah menelepon mama dan papanya, dan begitu juga sebaliknya. Tidak banyak pembicaraan di antara mereka kecuali mengungkapkan rasa kangen. Seperti biasanya, sang mama lebih banyak menangis terisak-isak, sehingga hape lalu diambil alih sang papa yang lalu menasihati agar Dulah bersabar, dan berjanji akan datang ke Pekalongan setiap ada kesempatan.

Sementara itu, hubungan antara Dulah dengan Rodin dan Rodan bertambah erat. Mereka bertiga sama-sama pendatang. Umur mereka juga tidak terpaut banyak. Meskipun begitu, Dulah belum pernah ke rumah Rodin dan Rodan walaupun katanya jaraknya tidak terlalu jauh dari pondok pesantren. Belum ada kesempatan. Dulah pulang sekolah habis Asar, lalu mandi, lali ngaji, lalu salat Isya, lalu wiridan dan tadarus, dan selesai menjelang pukul sembilan. Tiba di kamarnya, Dulah masih harus belajar hingga tepar dan terkapar di tempat tidur. Hari Sabtu, jadwal mencuci dan ikut kerja bakti dengan para santri; membersihkan lingkungan pondok pesantren. Hari Minggu, gantian Rodin dan Rodan yang tidak di rumah, pergi mengunjungi neneknya.

“Setiap Minggu?” tanya Dulah, heran.

“Iya, setiap Minggu,” sahut Rodin dan Rodan, kompak

“Kalau kami tidak datang, Nenek suka ngamuk-ngamuk!” Rodin menambahkan.

Meskipun demikian, Dulah, Rodan, dan Rodin bisa memanfaatkan waktu mereka menjelang bel sekolah atau setelah pulang sekolah. Ketiganya ngobrol dan bersenda gurau walaupun tidak bisa sepuasnya. Tempat pertemuan mereka belum berubah; bangunan di dekat masjid yang suasananya mirip kafe itu. Kata Rodin, itu rumah kerabatnya dari pihak ibu. Seringnya kosong. Penghuninya pergi pagi; pulang malam. Lampu jarang dimatikan.

“Pemborosan,” celatuk Dulah. “Bayar listriknya mahal, tahu?”

“Uang tidak jadi masalah bagi tanteku,” sahut Rodan. “Uangnya banyak. Suaminya kerja di pelayaran.”

Seperti umumnya dalam pertemanan, sebenarnya Dulah ingin selalu bisa bersama-sama dengan Rodin dan Rodan. Pergi ke perpustakaan bertiga, nongkrong di kantin, nonton anak-anak yang sedang olahraga sambil cuci mata. Namun, kesempatan itu jarang sekali didapatkan Dulah. Selain Rodin dan Rodan tidak satu kelas dengannya, Rodin juga melarangnya.

“Kita akan sering bersama-sama,” kata Rodin suatu hari. “Tapi selama di depan orang-orang, sebaiknya kamu pura-pura tidak kenal kami!”

“Kenapa?” Dulah mengerutkan keningnya.

“Biar kamu tidak dianggap gila,” sahut Rodan, lalu tertawa.

“Lho? Kok?” Dulah bingung.

“Lihat motor kami! Lihat kelakuan kami yang seenaknya,” Rodin juga tertawa. “Kamu anak pesantren. Masih saudara dengan Kiai Kholil. Kamu pasti akan dianggap gila jika dekat-dekat dengan kami.”

“Iya. Betul. Seperti itu alasannya,” sahut Rodan.

“Bagaimana kalau aku sedang butuh teman ngobrol? Apa yang harus aku lakukan?” Dulah menatap Rodin dan Rodan. “Badu orangnya asyik. Tapi agak katrok. Makannya banyak lagi,” lanjutnya.

Rodan dan Rodin tidak segera menjawab. Keduanya berpandangan. Sekilas, Dulah menangkap kilatan pada mata Rodan; ditujukan kepada Rodin. Sepertinya si kakak sedang menyilakan si adik menjawab pertanyaannya itu.

“Demi kebaikan kamu sendiri, dan demi kehormatan Kiai Kholil, sebaiknya kamu jangan sekali-kali mengajak kami bicara atau menyapa kami di depan umum. Titik!” Rodin menandaskan, lalu ditolehnya Rodan. “Bukan begitu?”

Rodan tersenyum lalu mengangguk. “Sebaiknya memang seperti itu. Lebih aman.”

Meskipun menganggap alasan itu terlalu lebay, Dulah menyanggupinya. Apalagi dalam kenyataannya, Rodan dan Rodin ternyata tak pernah terlalu jauh darinya. Saat menuju sekolah, mereka berjalan di belakang Dulah. Di sekolah, mereka jajan di kantin yang bersebelahan dan bisa saling main mata. Di pesantren, mereka antre mengambil air wudhu di belakang Dulah, begitu juga saat menjalankan salat jamaah

Dalam berbagai pertemuan Dulah, Rodin, dan Rodan suka mengobrol tentang apa saja, termasuk tentang masa depan. Seperti biasanya, Rodin yang lebih banyak bicara, sedangkan Rodan hanya sesekali menimpali, sementara Dulah lebih sering mengangguk-angguk seperti bebek. Berbeda dengan Rodan yang sangat diplomatis dalam menanggapi permasalahan, Rodin bersikap sebaliknya. Ia cenderung vulgar, kasar, dan masa bodoh.

“Tidak perlu repot-repot memikirkan masa depan!“ kata Rodin suatu ketika. “Sudah ada yang memikirkan.”

“Siapa?” tanya Dulah.

Lihat selengkapnya