Sejak malam itu, Rodin dan Rodan tidak pernah menemui Dulah secara bersama-sama lagi. Kalau ada Rodin, Rodan pilih menghindar; begitu pula sebaliknya. Dulah bingung harus bersikap bagaimana. Apalagi kedua saudara kembar itu tampaknya juga lebih suka meneruskan perseturuan mereka daripada berdamai. Sebelumnya, jika sedang di depan Dulah dan salah satunya tidak ada, mereka akan saling berebut pengaruh; saling menjelek-jelekkan. Rodin menyebut Rodan pengkhianat dan penjilat, sedangan Rodan mengata-ngatai Rodin jahat dan berbakat menjadi penjahat.
Tanpa sadar, entah kenapa, pada akhirnya Dulah lebih berpihak pada Rodin. Dulah merasa, karakter Rodin sangat mirip dengannya; susah diatur dan keras kepala. Bahkan, Dulah sering membela Rodin jika Rodan menjelek-jelekkan adiknya.
“Kamu, kan kakaknya? Mestinya mengalah! Tidak malah memusuhi!”
Rodan menatap Dulah. Pandangannya terlihat sedih.
“Sepertinya kamu sudah benar-benar kena pengaruhnya. Tidak bisa ditolong lagi!” katanya.
Sejak itu, Rodan tak mau menemui Dulah lagi.
***
Hari sial itu adalah Jumat pagi. Di tempat biasa dan pada waktu yang sama, Dulah dan Rodin mengobrol hingga lupa waktu. Mereka terlambat tiba di sekolah sekitar sepuluh menit. Saat Dulah menyusuri lorong menuju kelasnya, Pak Igar memergoki dan Dulah tak sempat lari seperti kemarin dan lusa. Guru Bk yang masih muda itu lalu menggiring Dulah ke ruang BK yang terletak di dekat perpustakaan yang seringnya sepi. Dulah diintrogasi. Ditanya alasannya terlambat dan Dulah menjawab sesuai dengan jawaban yang sudah tersedia di ujung lidahnya.
“Bangun kesiangan, Pak.”
“Tidak ada alasan lain? Alasan basi, tahu?! Dalam satu minggu ini kamu sudah terlambat tiga kali. Alasannya selalu sama: ‘bangun kesiangan!’” Pak Igar menaikkan volume suaranya. “Kamu murid baru. Mestinya tahu diri. Mentang-mentang dari Jakarta? Mau jadi jagoan? Kamu kira tidak ada yang berani melayani?”
Dulah memerah wajahnya. Dadanya bergemuruh. Darahnya seakan-akan mendidih seperti minyak di penggorengan. Ia merasa ditantang. Ia mendongak. Tangannya mengepal-ngepal. Ditatapnya guru muda tanpa kumis itu. Guru memang harus dihormati. Tapi tidak semua guru. Salah satunya guru di hadapannya ini
Tiba-tiba, entah dapat kabar dari siapa bahwa Dulah sedang dipanggil Guru BK, tahu-tahu Rodin sudah berada di ruangan itu. Rodin berdiri di belakang Pak Igar yang sedang menghadapkan mukanya ke Dulah. Wajah Rodin tampak memerah bara. Sorot matanya menyala-nyala. Pandangan matanya layaknya pembunuh berdarah dingin. Seakan-akan sedang menunggu perintah tuannya, Rodin memasang kuda-kuda, bersiap terbang dan menerjang.
Sementara itu, tanpa menyadari apa yang sedang dan bakal terjadi, Pak Igar masih terus menumpahkan amarahnya. Suaranya keras dan kasar. Tangan kanannya menunjuk-nunjuk muka Dulah. Ucapannya menyambar ke mana-mana.
Dulah menggigit bibirnya dan mengeraskan kepalan tangan kanannya. Kehadiran Radin makin menumbuhkan nyalinya yang sudah segede gajah bengkak, membuatnya tak takut menghadapi siapa pun. Bahkan, ia sudah siap jika harus dikeluarkan dari sekolah gara-gara berkelahi dengn Guru BK yang norak dan sok jagoan itu.
Namun, sebelum keributan yang lebih besar terjadi, entah bagaimana jalan ceritanya, tiba-tiba Rodan ikut-ikutan memasuki ruangan BK. Tanpa permisi, Rodan langsung menampar muka Rodin, membentaknya, menyuruhnya ke luar ruangan. Setelah itu, Rodan menoleh ke arah Dulah, memandanginya dengan sorot mata yang teduh, lalu memberi isyarat lewat gelengan kepala, seolah-olah ingin mengatakan:
“Jangan lakukan, Bodoh! Ingat ayah dan ibumu!”
Entah karena pengaruh wibawa Rodan, atau sebab akal sehatnya yang semula minggat itu sudah pulang lagi ke otaknya lagi, perlahan-lahan Dulah mengendorkan genggaman tangannya.
“Astagfirullah...!”
Dulah ber-istighfar, bahkan sampai tiga kali. Setelah itu ia mengambil napas panjang sekali, dan mengembuskannya perlahan-lahan. Dadanya menjadi lega. Emosinya yang tadi hampir sampai di pucuk ubun-ubunnya seketika mereda.
Sementara itu, sang Guru BK yang sedang sangat emosi itu masih terus mengomeli Dulah. Juga membentak-bentak. Namun, Rodin dan Rodan sudah pergi.
***
Dulah sudah minta maaf kepada Pak Igar demi pihak sekolah tidak memanggil Kiai Kholil untuk urusan pembolosan yang telah dilakukannya, Namun, rupanya persoalan itu belum benar-benar dianggap selesai oleh Rodin. Pulang sekolah, Rodin mencegat Dulah di tempat biasa. Dulah berkacak pinggang. Wajahnya masih terlihat sangat marah.
“Guru BK yang sok itu kita cegat saja! Kita pukuli mulutnya yang suka omong besar,” kata Rodin berapi-api. “Coba tadi Rodan tidak ikut campur tangan. Sudah kuhajar guru yang kurang ajar itu sampai terkaing-kaing!”
Awalnya Dulah ingin mengimbangi omongan itu. Ia masih merasa tersinggung dengan sikap dan omongan Guru BK yang dianggapnya arogan dan tidak mendidik itu. Namun, begitu Dulah hendak membuka mulutnya, dan dilihatnya Rodan melintas di jalan lalu menoleh ke arahnya, lalu memberi isyarat lewat gelengan kepala, seketika Dulah mengubah arah pembicaraannya.
“Sudahlah! Kita lupakan saja,” katanya, akhirnya.
“Kamu tidak dendam? Tidak marah?” desak Rodin
“Aku memang sakit hati. Tapi kalau urusan ini diperpanjang, bisa-bisa menjadi urusan polisi. Bagaimana kalau gara-gara kita hajar Pak Igar gegar otak atau mati? Aku masih trauma. Kiai Kholil pasti dipanggil ke kantor polisi. Papa dan mamaku ikut dipanggil. Bagaimana perasaan mereka nanti? Papa dan Mama pasti sangat sedih tahu anaknya membuat ulah lagi.”
Rodin menyipitkan matanya, menatap Dulah tajam-tajam; seakan-akan sedang membuat perhitungan. Lalu, sesaat kemudian, ia melebarkan bibirnya, dan ditepuk-tepuknya pundak Dulah.
“Benar juga omonganmu, Kawan” katanya.