Dulah berdiri termangu-mangu di jembatan yang tiap saat dilewatinya itu; bersandar pada besi pembatas setinggi setengah meter. Sungai kecil di bawah jembatan gemericik, airnya mengalir lancar. Warnanya keruh seperti teh basi. Dedalu, semak, dan ilalang merimbun di sebelah kanan mulut terowongan. Di dekatnya pohon kelapa yang menjulang tinggi yang sedikit bergoyang ketika diterpa angin.
“Tak ada untungnya berkawan dengan kami! Hanya akan membuat kamu mengalami masalah.”
Kemarin malam, Rodan mendatangi Dulah, lalu menceritakan semuanya. Awalnya Dulah tidak percaya, bahkan menuduh Rodan hanya ingin menakut-nakuti. Namun, setelah esok harinya Dulah melakukan pengecekan dan menemukan beberapa fakta, barulah Dulah meyakini bahwa Rodan memang benar seperti yang dikatakannya. Begitu juga Rodin tentunya.
“Kamu tidak bakal sanggup melihat jika kami menampakkan wujud kami yang sesungguhnya.”
Dari penjelasan Tadho, dua orang berwajah sangat mirip yang sering ikut salat berjamaah dan ngaji di masjid Pondok Pesantren Al-Taubah itu ternyata perempuan; dan orangnya gemuk sekali. Dulah juga sudah mendatangi kos-kosan Badu dan mendapat keterangan bahwa dua orang kembar yang duduk di kelas XII itu ternyata juga perempuan, Maya dan Sinta, dan keduanya berkacamata. Dulah juga sudah mendatangi tempat pertemuan di dekat masjid yang suasananya mirip kafe itu. Sampai di sana ternyata Dulah tidak menemukan adanya rumah, melainkan kebun yang dipenuhi pohon pisang dan gerumbul bambu.
“Kami bisa mempermainkan penglihatan dan pendengaran. Kami juga sanggup mempengaruhi hati dan pikiran.”