Dulah kembali ke pondok pesantren, menemui Kiai Kholil, lalu menceritakan hampir semuanya. Ia memulainya dari penemuan kalung di halaman pesantren, di bawah pohon mangga, beberapa bulan yang lalu. Kiai Kholil mengangguk-angguk dan sama sekali tidak menyela sampai Dulah mengakhiri ceritanya.
“Saya sama sekali tidak menyangka isinya seperti itu, Kiai.”
“Yang kamu lakukan itu sudah benar,” kata Kiai Kholil. “Benda-benda semacam itu memang harus disingkirkan jauh-jauh. Bisa menimbulkan syirik!”
“Saya paham, Kiai,” Dulah menunduk. “Saya minta maaf!”
“Kamu tidak sepenuhnya salah,” kata Kiai Kholil lagi. “Tapi, peristiwa itu menunjukkan bahwa imanmu masih tipis. Sehingga bisa digoda oleh jin.”
“Iya, Kiai! Saya paham.”
Kiai Kholil lalu menjelaskan seluk beluk jin: bentuk, tempat tinggal, sifat-sifatnya, dan cara-cara yang digunakan untuk menjerumuskan manusia.
“Manusia adalah sebaik-baik makhluk ciptaan Allah. Manusia yang menjadikan jin sebagai kawannya jelas-jelas sudah keblinger!”
“Iya, Kiai.”
Kiai Kholil membacakan Surat Al Jin ayat enam dan artinya. Wa annahụ kāna rijālum minal-insi ya'ụżụna birijālim minal-jinni fa zādụhum rahaqā. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Kiai Kholil juga menjelaskan maksud surat itu, bahwa sebaik-baik tempat berlindung adalah Allah, bukan manusia, apalagi jin.