Apa saja yang ingin kau lihat sebelum mati? Ah tampaknya permintaan ini terlalu mewah. Di depan mata saat ini hanya benda-benda yang dilapukkan kenangan; kaki kursi disantap rayap, meja berbedak jamur berwarna gading dan merah muda, lumut bercokol di tembok. Harapan tak dapat muncul dengan satu aksara, sedangkan segalanya adalah cerita yang terlalu panjang...terlalu panjang hingga ia menjadi usang digerogoti rayap, ditumbuhi fungi, kulat, dan ganggang. Kutu di bantal menyengat pipinya, satu-satunya makhluk yang hidup dalam ruangan mati ini, dan satu-satunya yang mengecupnya sebelum kematian. Rayap kayu albino memanjat naik, menghabisi celah terpadat setiap kayu usang yang tersisa di ruangan itu, rombongan ini seperti pelayat bisu yang memberi berkah pada dirinya yang putus asa bahwa harapan telah alpa, kenangan juga akan sirna.
Pada titik kehampaan tertentu, semua materi tampak tak bernyawa. Tidak ada embusan hawa panas atau dingin, tidak ada detak jantung dari gerisik daun, tidak ada nyanyian binatang malam, tidak ada sesuatu yang bisa dilihat dan didengar, kecuali segalanya yang akan usai. Ia menyibakkan selimutnya, selayang angin keluar dari aroma selimut yang masih bau tubuh ibunya, ia turun dari dipan yang merengek saat tertekan, lalu meraih tas yang sudah kehilangan warna aslinya.
Pertama, ia membelit strap tas pada lehernya, sebelumnya ia berencana untuk menggunakan tali pramuka tapi karena tak sempat beli, ia gunakan barang seadanya. Setelah mengalungkan strap tas, dua tangannya menarik menuju dua mata angin yang berlawanan. Wajahnya memerah, dan saat tekanan dari tarikan itu membuat mulutnya menganga, aku meraih strapnya. Tapi tidak berhasil. Tentu saja, bukan karena strapnya sudah menekan terlalu kuat di leher tapi aku tidak bisa menyentuh benda.
“Dewi, Dewi tunggu dulu!” sesak rasanya memanggil-manggil seperti itu padahal sudah tahu Dewi takkan bisa mendengarnya. “Tunggu!” aku meremas kedua lengannya, menatap matanya lekat sekali. Tapi ia tidak merasakan apa-apa, tentu saja. Selain tidak bisa menyentuhnya, ia tak bisa mendengarkan dan melihatku.
Adakah suatu cara agar aku bisa menolongnya? Tidak ada! Kujawab langsung sendiri daripada menunggu rumput menghentikan goyangannya untuk memedulikan pertanyaanku. Aku merintih-rintih pada Sang Pencipta, mengapa aku ada? Mengapa aku jadi Roh Pemandu tapi yang kupandu tak bisa merasakan keberadaanku? Rasa putus asaku sampai pada kesimpulan kalau sebenarnya mungkin aku ini tercipta sebatas untuk memaknai kata ‘sia-sia’. Saat aku mencoba melakukan segala cara untuk membantunya, di saat yang sama aku tahu ini tidak mungkin, lalu mengapa aku jadi Roh Pemandu? Sekarang, alih-alih menatapku kembali, merasakan keberadaanku, bisa mendengar suaraku, ‘Dewi bertahanlah kau tidak kesepian, aku di sini bersamamu, bahkan sejak kau masih berupa tanah di surga, aku sudah menemanimu, ia malah menatap ruang semesta lainnya, ruang kehampaan, jalan kematian.
Strap tas terlalu patuh pada rumus fisika, saat tangannya terus menarik, semua aliran darah menuju otak dan kepala terjepit, wajahnya memerah seperti tomat terlalu matang yang sebentar saja akan membusuk. Lidahnya perlahan terjulur, bola matanya terangkat lurus pada langit. Di titik ini, aku sangat paham, bahwa tidak ada yang bisa menghentikan dirinya kecuali dirinya sendiri. Di titik itu juga aku semakin memprotes kenapa aku ada? Mengapa Sang Pencipta menugaskanku untuk menjaga manusia sebagai Roh Pemandu, tapi tidak bisa membuat orang yang kujaga mendengar, melihat, dan merasakanku? Apa tujuannya, lalu saat ini, detik ini juga kenapa Ia perlihatkan padaku, selembar nyawa yang kutemani bunuh diri seperti ini?
“Kumohon, bertahanlah,” kataku berulang kali pada wajah yang semakin merah, dan lidah yang sudah terjulur sepenuhnya. Kataku berulang kali, pada telinga yang tidak bisa mendengar.
“Permisi,” suara Malaikat Maut membuatku menyembunyikan Dewi di balik punggung, karena tahu aku menghalangi tugasnya. Sapaan sopannya berubah jadi, “minggir!”
“Sebentar,” kataku, meski aku tahu tak bisa menggunakan permainan waktu padanya.