Roh Pemandu dan Jiwa Tujuh Bersaudari

Putriyana Asmarani
Chapter #2

Menjadi

Berbongkah-bongkah udara masuk ke dalam dua lubang di wajahku. Ini terasa aneh dan mengaggetkan, seperti sesuatu telah mengebor dua lubang di wajahku saat aku tak sadarkan diri. Tersedak, tiba-tiba aku bisa melihat sesuatu, kemudian gelap, kemudian bisa melihat lagi. Aku meraba wajah memeriksa dimana penglihatan ini bisa terang dan gelap. Mata, hidung, bibir, “Ah!" Aku menuding-nuding manusia pada pantulan kaca, yang mana dia adalah refleksiku sendiri. Napasku mulai tidak teratur, hal lain yang kurasakan, di bawah dagu, di dalam dada ada sesuatu yang lebih sensitif. Lalu, di antara pinggul ada sesuatu yang paling sensitif, "HAAAH!” aku berteriak lagi.

“Besar sekali, kupikir aku seekor kuda,” pekikku.

“Kalau aku jadi kau Bro! Aku pasti juga akan teriak.”

“Kau siapa? Siapa kau?” tergagap-gagap aku memekik lagi. Jelas dia bukan manusia, terlalu memukau dan sosoknya bukan manusia.

“Bersyukurlah, punya Roh Pemandu ganteng sepertiku,” selorohnya, “kau tahu, di luar sana ada Roh Pemandu yang wujudnya seperti telor ayam memakai dasi dan celana.”

Aku mengangguk cepat, mengerti maksudnya. Roh Pemandu memang bermacam-macam bentuknya, ada yang seperti naga, cicak, anak kecil, orang tua, sampai yang seperti telor ayam memakai dasi dan celana seperti katanya tadi. Aku masih merabai badanku, untuk memastikan apa yang terjadi padaku.

“Apa yang terjadi padaku?” tanyaku meski aku sudah tahu sekarang aku adalah manusia. Tapi aku ingin sesuatu yang lebih detail lagi. Seperti, apakah aku hanya roh yang meminjam badan manusia, apakah aku sedang bermimpi? Dan semacamnya.

“Kau sudah jadi apa yang kau inginkan, bukankah kau ingin bisa dilihat, disentuh, didengar, dan dirasakan? Ah, kau mau apa lagi?” Roh Pemanduku terlihat terlalu muda dan kekanak-kanakan untuk menggurui.

“Manusia?”

“Ya.”

“Seutuhnya?”

“Melihat sesuatu diantara pinggangmu, tidak diragukan lagi.”

“Aku laki-laki?”

“Harus kau pastikan dulu kalau kau tidak banci.”

“Lalu kenapa aku bisa melihatmu?”

“Kau indigo, punya kelebihan.”

“Apa semua orang indigo bisa melihat Roh Pemandunya?”

“Beberapa bisa, beberapa tidak,” ia terlihat gusar, “duh, lain kali kalau Google bisa menjawabnya, kau tak perlu tanya padaku.”

Brak. Pintu kamar terbuka, seorang manusia, jenisnya perempuan, wajahnya cantik tapi berperangai monster berkacak pinggang.

“Kau mengigau lagi?” katanya.

“Itu mamamu,” kata Roh Pemanduku, tampaknya mama tidak indigo.

Aku melongo.

“Perjaka tua memang sering mengigau!” Brak, ia menutup pintu. Duar, ia membukanya lagi. Jantungku ambyar dua kali, apakah semua mama memang suka membanting pintu seperti itu di pagi hari? “tunggu apa lagi?” sentaknya melihat wajah tololku, “ayo!” sekarang ia hampir melempar centong nasi.

Kalau aku tak segera berdiri, pagi ini juga tragedi Tangkuban Perahu akan terulang.

Aku tak mengerti mengapa seluruh sistem dalam wujud baruku ini membuatku patuh pada orang yang harus kupanggil mama. Begitu selesai memerintah, aku jadi lebih patuh dan penurut dari anjing, tanpa menyangkal. Mengapa aku begitu takut pada mama? Baiklah, aku harus belajar menyesuaikan diri. Aku tiba-tiba tahu di mana kamar mandi, fungsi semua benda, membaca label handuk, tahu apa pekerjaanku, siapa aku dan apa yang mesti kulakukan. Rasanya seperti, aku memang sudah hidup di tubuh ini sejak lahir.

Tapi aku mungkin belum terbiasa dengan cara penggunaan setiap benda karena kebiasaan dulu yaitu bisa menembus tembok. Tergesa-gesa, aku menabrak pintu kamar mandi tanpa memutar ganggang pintu. Tubuhku yang menghantam pintu terpental, aku meringis kesakitan. Lelaki beruban di kamar mandi yang terkantuk-kantuk dengan sikat gigi dan mulut penuh busa hampir kena serangan jantung. Sikat gigi yang menggantung di bibirnya lengser jatuh ke dalam wastafel. Aku dengar ia mengumpat keras sekali. Kepalaku nyeri dan jantungku berdesir karena umpatannya, membuatku takkan mengantuk lagi mungkin hingga tujuh hari kemudian.

“Dengar, papa janji gak akan nginap di tempatmu lagi, kau pakai untuk apa semua uangmu beli apartemen dengan satu kamar mandi seperti ini,” adalah sapaannya dengan mulut berbusa, seperti orang keracunan yang bangkit dari kematian. Seperti yang ia katakan, pasti ia papa.

Aku menutup pintu kamar mandi, bersabar menunggunya, sambil menggosok dahiku yang panas. Aku harus belajar mulai melupakan menembus bangunan, kalau tidak aku bisa mati gegar otak sebelum melakukan apa-apa. Roh Pemanduku ternyata memperhatikan bagaimana aku terpelanting, ia menggosok perutnya, tertawa. Bagaimana bisa ia jadi Roh Pemandu? Bila Dewi jatuh misalnya, aku akan menangis lebih keras darinya.

“Puas?” aku benar-benar ingin dia menghilang saja. "Papa dan mamamu, dulu pernah punya anak tapi meninggal karena kanker. Arwa membuatmu menempati ruang kosong itu, dan semua orang disekitarnya, termasuk lingkup kerjamu, sanak saudara, semua yang mengenal papa dan mamamu punya kenangan denganmu. Kau akan paham dengan sendirinya,” tiba-tiba ia melakukan tugasnya. Kujawab dengan mengangguk.

Papa keluar dari kamar mandi, ia hampir lanjut usia, sehingga langkahnya melambat. Aku masuk lalu menguncinya dari dalam. Gara-gara kaca yang berdiri tepat setelah aku mengunci pintu menampakkan wajahku, aku jadi terpesona dengan ketampananku sendiri. Telapak tanganku menepuki pipi, kuperiksa sudut rahangku, tinggi hidung, lekuk bibir, model rambut, ketebalan alis, semuanya. Aku tersenyum sendiri sambil membatin dan nyengir, “apakah Sang Pencipta membuatku jadi tipe lelaki yang disukai Dewi?” aku meringis, “pantas aja Dewi lama menyendiri, harusnya Dewi sering mengaca dulu sebelum meracau ada lelaki setampan aku datang untuk menyelamatkannya.”

Sebentar, Dewi!

Sontak aku ingat, mengapa aku di sini, kenapa aku malah santai gosok gigi sambil membelai-belai pipi karena terpesona pada ketampananku sendiri? Aku pasti sudah gila! Kalang kabut, aku mandi memakai pakaian yang tanpa kusadari tiba-tiba sesuai dengan mode dan warna kesukaanku, kemudian mengambil kunci mobil. Langkahku berderap seperti kuda perang yang terlambat sarapan. Gesit, aku melewati dapur dan menemukan wajah mama yang sudah ingin menyembelihku saja. Papa membaca koran dengan kopi dan biskuit di ruang tengah.

Tiba-tiba kakiku berhenti. Bukan karena aku lupa pada sesuatu tapi bau masakan mama menguar, menyihirku, menghipnotisku, entah apa lah ya! Linglung aku balik badan, menghampiri mama yang mengangkat sendok dengan geram seperti Batara Kala yang mengangkat gada.

“Makan dulu!” Ia menurunkan tangannya, sepertinya mama ini tipe pemarah, tapi kulihat Roh Pemandu mama adalah kupu-kupu emas, yang sangat bertolak belakang dengan dia yang emosian.

Apa yang spesial dari kuah sup ayam dengan sebongkah dada ayam lapuk karena didihkan terlalu lama di hadapanku ini? Bagaimana bisa isi mangkuk ini membuatku lupa pada Dewi? Sumpah, saat jadi Roh Pemandu dulu, perhatianku tak pernah teralihkan segampang ini.

Sedikit saja kusentuh daging ayam dalam kuah dengan sendok, sudah hancur sendiri. Tak perlu usaha keras untuk memisahkan daging dengan tulangnya. Kuciduk beberapa lembar daging yang lapuk dengan sedikit kuah lalu kumasukkan mulut. Ini adalah kali pertama aku makan, tapi rasanya sudah biasa saja, bahkan aku merasa seperti Youtuber mukbang yang sudah ahli. Lidahku tercengang, kuah ini gurih, wangi, asinnya pas, tidak berminyak sehingga menyegarkan di tenggorokan. Anganku melayang-layang, rasanya memabukkan, tidak mungkin mama memberi daun marijuana di mangkukku, tapi rasa sup ini benar-benar gila. Oh iya Dewi, aku harus bergegas. Sudah, cukup dengan ramuan penyihir yang memabukkan ini! Aku harus mengumpulkan akal sehatku.

“Kau pikir apakah Dewi selamat? Karena ampun deh, aku udah lihat malaikat maut membawanya pergi,” aku menyeruduk Roh Pemandu dengan pertanyaan saat kami berdua sudah di mobil.

“Panggil aku Ray!” katanya enteng sambil terus menyengir,

“Maksudnya?” dahiku terlipat-lipat tak tahu maksudnya, apakah ia ingin aku memanggilnya Ray atau dia sedang menyebut salah satu judul novel yang tidak kuketahui agar bisa menyambungkan kisah Panggil Aku Ray dengan kondisi Dewi saat ini.

“Ya, panggil aja aku Ray! Biar gak woi Roh Pemandu, panjang sekali,” wuah dia memang tidak nyambung, aku sudah tak sabar soal kondisi Dewi, “keren gak sih nama Ray itu? Paduan konsonan dan vowelnya tuh pas, jadi kayak bisa mewakili panggilan anak ganteng dan pandai bergaul.”

Rahangku mengeras, kalau bisa menyentuhnya aku pasti sudah melemparnya keluar jendela.

“Oke Ray!” sentakku, dia tertawa girang, “Dewi, Ray! Dewi gimana? Kau tahu kondisinya?” aku kesal sampai menghentak-hentakkan tangan di udara.

Lihat selengkapnya