“Sudah dua minggu pendaftaran diperpanjang, tapi Dewi tidak mendaftar, bagaimana ini? Apa dia tidak punya pulsa?” Ray was-was.
“Dia selalu update info loker, dan mencoba di mana pun itu. Tapi kalau pulsa habis sepertinya tidak, dia tipe orang yang rela mati kelaparan hari ini daripada tidak punya pulsa,” kataku menimbang-nimbang setelah itu menyalahkan diri sendiri karena dia dulunya bunuh diri saat pulsa masih tersisa.
“Terus gimana? Masa kau diam aja?” Ray menuntut, “gimana kalau dia putus asa lagi? Kali ini aku tak yakin Arwa memberimu kesempatan.”
Aku beranjak menemui Bertha, ketua personalia kantor. Seperti biasa, ruang personalia paling sepi, satu-satunya ruang dengan judul person yang tidak ada person nya. Sepertinya tidak ada yang punya minat ke sana.
“Program konsultasi karyawan sudah berjalan?”
“Sudah Pak,” jawab Bertha yakin.
“Tapi kenapa ruangan ini sepi sekali?”
“Jarang karyawan mau terbuka untuk konsultasi Pak.”
“Mengapa bisa begitu?”
“Karena mereka tidak mau urusan pribadi didengar perusahaan.”
“Urusan pribadi?”
“Benar Pak,” ia masih yakin.
“Bukan konsultasi itu yang kumaksud Bertha!” sedikit kunaikkan nada bicaraku. Sejak aku jadi Roh Pemandu aku selalu benci pada personalia, ini semua karena Dewi sering mendaftar kerja tapi emailnya tidak terbalas, semua karena personalia gak jelas. Di lain pihak aku juga merasa bersalah pada Bertha, aku memperlakukannya seperti ini karena mengira dia sama tidak becusnya dengan orang lain.
“Bagaimana Pak?” Bertha bertanya memastikan apa yang kusanggah.
“Ya jelas lah gak ada yang datang kalau kamu kira konsultasi itu urusan pribadi!” ketusku, “aku bikin program ini untuk memastikan, apakah mereka sudah cukup puas dengan cara perusahaan mengganti jerih payah mereka, atau bisa semacam apakah ada yang perlu diperbarui dari teknologi atau sistem kerja, begitu!” tegasku.
“Tapi dalam teorinya Pak,” Bertha menyanggah, aku tergerak untuk mendengarkan opininya dari sudut pandang orang yang memang belajar majemen industri, “bila konsultasi semacam itu diadakan, karyawan akan mengeluhkan banyak hal, dan mereka akan cenderung mengada-adakan masalah. Kalau perusahaan memanjakan mereka, mereka akan melunjak, karena tidak ada standar kepuasan dalam gaji, semua akan terus merasa kurang dan kurang, perusahaan akan dirugikan.”
“Jadi maksudmu, dengan mendengar keluh kesah dan masukan karyawan, perusahaan bisa bangkrut begitu?” keketukkan jemariku di atas meja, “terus bagaimana program konsultasi yang baik menurutmu?” aku terdengar seperti detektif gusar yang menyudutkan tersangka, “dengan mendengar kisah cinta pertama karyawan?” kataku, “atau, mendengar karyawan bergosip soal keluarga dan tetangga?”
Bertha diam.
“Oh iya, sebenarnya aku tak ke sini untuk menanyakan program konsultasi,” lanjutku, mendengar ini Bertha menegakkan punggungnya, khas orang waspada dan grogi. “Bagaimana dengan rekrutmennya?”
“Baik, kalau boleh tahu sebenarnya Bapak ingin asisten seperti apa?” Bertha balik bertanya, aku menjawabnya dengan keheranan di wajahku, karena ia tidak nyaman, ia akhirnya memberi alasan, “karena yang sudah mendaftar saat ini, beberapa sudah memenuhi kualifikasi, tinggal proses tahap tes tulis,” Bertha menggerakkan tangannya membantunya berekspresi.
“Aku hanya ingin memastikan semua orang sudah mendengar lowongan ini.”
“Tapi mau berapa banyak Pak? Yang kita butuhkan hanya satu, itu tidak proporsional.”
Bertha memang suka menyela, kadang seenaknya sendiri, tapi kadang ia juga ada benarnya, “berikan padaku data kualifikasinya,” Bertha bangkit dari kursi, mengambil map lalu menyodorkannya padaku.
Ia terlihat kikuk karena merahasiakan sesuatu setelah kubahas soal map, kewaspadaanku meningkat.
“Ada apa?”
“Tidak ada Pak,” katanya grogi, “ini data yang sudah mendaftar,” ia sodorkan map lainnya dengan warna berbeda padaku, “Bapak bisa lihat data kualifikasi dan tingkat kecocokan kandidat di sini,” ia menunjuk map di atas meja yang telah terbuka, “sudah banyak yang memenuhi standar,” adalah kesimpulan Bertha, tapi aku tidak segera mengangguk.
“Apa ini? Apa aku minta kau mencantumkannya?” aku menunjuk setidaknya empat persyaratan aneh; berpenampilan menarik, tidak pakai kacamata, tinggi badan seratus enam puluh lima, dan berat badan di bawah lima puluh lima.
“Ya, dulu sebelum masuk ke rumah sakit, Bapak malah menyuruh saya meletakkan empat syarat itu pada poin teratas,” Bertha terlihat canggung, ia mungkin merasa aku sudah jadi orang lain.
“Itu tidak penting, kau harus menghapusnya lalu mempublikasikannya lagi,” aku mengenyahkan kertas itu, “aku tidak sedang cari pramugari atau semacamnya.”
“Baik,” balasnya sedikit tidak ikhlas, mungkin ia ingin aku segera enyah dari kantornya, atau mungkin ia tipe penurut yang tak mau repot mengomentari perintah atasan.