Roh Pemandu dan Jiwa Tujuh Bersaudari

Putriyana Asmarani
Chapter #4

Kesempatan dan Kepalsuan

Sampai di sini, aku akan bercerita tentang Keluarga Harawa. Tapi untuk mengenal Keluarga Harawa, kau harus mengenal keluargaku dulu. Kami ini saling terikat, bisa dibilang segalanya membuat kami terikat. Keluargaku, papaku Derma Nugroho menikah dengan mamaku Jane Glang Nugroho, dulu sekali saat kedua belah pihak baik dari keluarga papa dan keluarga mama sedang bangkrut. Aku tak tahu pakai teori apa sampai dua orang bangkrut ini kemudian bersatu sehingga jadi kaya raya, tapi yang jelas alasannya bukan memelihara babi atau tuyul. Intinya, papa punya teman dekat yang mau membantu meletakkan uangnya untuk modal ide bisnis papa, yaitu Reinald Harawa, atau Keluarga Harawa.

Ide bisnis tanpa modal itu seperti ide untuk membuat layang-layang, layang-layang itu takkan jadi dan sampai terbang di angkasa kalau tidak ada modal. Papa berhasil membuat ide bisnisnya jadi kenyataan, segalanya sudah disokong oleh modal dari Keluarga Harawa. Tapi untuk memenuhi kebutuhan masih tidak cukup, sehingga aku kemudian sakit-sakitan, karena mama dan papa sibuk sekali. Keluarga Harawa kemudian, meski tidak terikat kekeluargaan dengan kami, mereka sudah jauh lebih dekat dan intim daripada keluarga sendiri. Reinald Harawa, mempunyai istri yang sangat cerdas dan bijaksana. Ia bukan wanita kolot dan suka berfoya-foya, ia seperti para ratu agung yang bisa menyokong suami suksesnya dari belakang, namanya Inggar Kida Harawa.

  Tante Inggar, begitu aku menyebutnya dan mama seperti sahabat karib yang memang sudah digariskan surga untuk memenuhi kekurangan masing-masing. Tante Inggar tidak pernah malu bersahabat dengan mama bahkan sejak ia bangkrut, malah Tante Inggar sering mengajak mama berkenalan dengan komunitasnya untuk membangun relasi lebih besar juga untuk memperluas pemikiran. Wajar jika mama selalu bilang padaku kalau baginya Tante Inggar itu seperti ibu sekaligus kakak bagi mama.

Om Reinald dan Tante Inggar punya dua anak; anak pertama laki-laki, berumur dua tahun lebih tua dariku, bernama Rio Nario Harawa dan anak kedua tampaknya anak terakhir karena mereka tidak setuju punya anak lebih dari dua, adalah adik perempuan Rio bernama Risya Adinda Harawa, satu tahun lebih muda dariku. Kau bisa bayangkan bagaimana selanjutnya. Mama terobsesi pada Risya, panggilannya Echa, dari kami masih ingusan mama sudah ingin menjadikan Echa menantunya. Dulu mama sempat sungkan karena aku sakit-sakitan, tapi sekarang aku sudah sembuh sehingga ia melanjutkan fantasinya.

Echa dan aku sendiri sudah seperti Yin dan Yang, shio ular dan monyet yang serasi, atau Aries dan Aquarius yang bisa bersama berjam-jam tanpa merasa bosan. Otak kami satu frekuensi, hal-hal yang kita sukai selalu sama, kita juga sering bertingkah usil bersama. Dulu saat kecil, saking akrabnya kita pernah mencuri mangga bersama, tidur menginap bersama, sampai mandi pun di bak yang sama dengan mama. Tapi kita sudah dewasa, kadang merasa canggung satu sama lain. Apalagi betuk tubuhnya sudah berubah, kecantikannya bertambah, keanggunannya membabi buta, ia bukan gadis cilik usil seperti dulu.

Kecanggungan itu bukan rasa yang malah menjauhkanku dengannya, Haidar yang asli telah mencintainya, dan tampaknya aku akan menggunakan tubuh ini untuk memedulikan Dewi daripada kekasih idamannya. Selain itu, Echa adalah wanita yang cakap dan pintar sekali, ia sekolah di kampus ternama di dunia, sehingga pemikirannya juga semakin maju. Sudah satu tahun Echa pergi, dan kemarin ia baru kembali. Malam ini dua keluarga besar akan bertemu. Apa yang akan terjadi?

Seperti Ehsan dan Fizi, papa dan Om Reinald menyapa dengan salaman panjang dan berpelukan. Mama dan Tante Inggar juga seperti Mei Mei dan Susanti, mereka langsung heboh. Rio menyikut lenganku karena sejak tadi aku menunggu adiknya muncul, salamnya yang sok keren sejak kecil tidak pernah berubah. Kalau tidak memukul lengan ia pasti hanya akan mengangkat alis. Echa memakai gaun silver, sangat memukau seperti warna bulan dalam teleskop. Semua keluarga Echa juga memakai baju senada, tapi melihat Echa, semua terasa berbeda. Segala tentangnya seakan mengalir begitu saja, dan seperti ikan, aku berusaha melawan arus.

Ray melongo melihat Echa, sebenarnya bukan Echa yang membuatnya kikuk, tapi Roh Pemandu Echa. Aku sendiri juga bisa melihat Roh Pemandu Echa. Sebagai makhluk halus, penampilan cantiknya terasa lebih mistis, ia seperti peri hutan. Ujung telinganya lancip, bermahkota bunga lili macan yang tumbuh liar di hutan, rambut keritingnya berwarna merah. Memang kalau dilihat sekilas, ia seperti salah satu ilustrasi peri yang digambar manusia di buku dongeng. Sepertinya Ray terpikat pada Roh Pemandu Echa, tapi aku tak yakin apakah Roh Pemandu bisa jatuh cinta. Sebelumnya yang kupikirkan adalah Dewi, aku juga tak pernah melihat Roh Pemandu lain secantik dirinya waktu aku belum jadi manusia.

Aku mengirim telepati singkat pada Ray, tapi Ray masih melongo melihat Roh Pemandu Echa. Jadi anggap saja, pesan gagal masuk.

“Karsa, gimana kondisimu anak ganteng?” Tante Inggar menghambur ke arahku langsung setelah melihatku, Om Reinald juga begitu. Mereka lebih girang melihatku daripada melihat sahabatnya. Mungkin efek menganggapku calon menantu.

“Baik, Om, Tante,” seruku dengan senyum hangat langsung, sesekali aku melirik Echa yang tampak senang bisa bertemu setelah sekian lama di luar negeri. Semua sadar sesekali aku melirik Echa, sehingga mereka semakin gemas.

Kami duduk di meja bundar yang cukup lebar, jarak antara satu kursi dan kursi lainnya setengah meter lebih, Echa duduk di sebelahku, sehingga makan malam ini juga terasa seperti, memberi selamat pada pengantin baru. Papa mengangkat gelas lebih tinggi sedikit dari kepalanya, memberi hormat pada Echa.

“Salam untuk Echa si cantik dan pintar atas kesuksesan belajarnya,” buka papa. Semua ikut mengangkat gelas untuk Echa dan meminum isi gelas itu setelah Echa membalas salam papa.

“Salam untuk Karsa, CEO yang tak pernah sekalipun mengecewakan, ha ha,” Om Reinald memberi salam juga. Semua mengangkat minum dan aku membalasnya. Setelah itu kami sibuk berkomentar soal hidangan.

“Karsa!” panggil Om tiba-tiba, “kamu buka lowongan asisten kan ya?” aku merapikan caraku duduk.

“Iya Om,” aku tersenyum manis sekali, meski tak menoleh pada Echa yang duduk di sampingku, aku tersenyum seperti itu juga untuk dia agar bisa melihat lesung di pipiku.

“Nah, Si Echa juga daftar loh,” Om to the point.

Darahku berhenti berdesir dan segalanya mendadak dingin. Echa pasti merasakan pergerakan janggal ini, sehingga ia menyodorkan air minum. Aku mengangguk untuk berterima kasih padanya. Yang melihat adegan sederhana ini, jadi semakin gemas, terlihat seperti pasangan baru menikah yang sedang merawat satu sama lain.

“Wah, Dewi akan bersaing dengan Echa,” tanggap Ray, tampaknya ia sudah mengumpulkan kewarasannya. Melihat kegugupanku, Echa menyela.

“Ah, papa,” Echa merengek pada papanya, “kan Echa bilang gak usah bilang-bilang Karsa,” wajahnya cemberut, tapi cemberut yang dibuat-buat. Dari perangainya, aku tahu sebenarnya Echa ingin aku tahu dia mendaftar pada posisi itu.

“Loh bagus dong,” mama ikut campur, dan aku tahu ia hanya akan memperburuk suasana, “habis jadi asisten bisa naik tingkat jadi istri, ha ha ha,” tawa mama menggelegar, Tante Inggar juga tertawa keras sekali.

“Cocok itu!” Tante Inggar menimpali, “nanti Echa jadi asisten Karsa, kemana-mana sama Karsa, bertemu klien, jalan-jalan, membangun strategi bisnis, semua sama-sama,” mata tante berbinar. Kalau dipikir-pikir memang cocok sekali. Semua menanggapi dengan kegaduhan ringan.

“Tapi, kenapa kamu mau daftar ke perusahaanku Cha? I mean dengan kualifikasimu kamu seharusnya bisa mencapai yang lebih tinggi,” tanggapku. Sekarang aku mengkhawatirkan Dewi, aku juga senang kalau Echa jadi asistenku, isi kepalaku kacau balau.

Tiba-tiba semua jadi hening, piring dan sendok juga tak berdenting.

“Semua jabatan tinggi asal mendampingimu, eaaa!” Rio bergurau, mencairkan suasana.

“Aku akan membunuhmu,” Echa kesal tapi juga tersipu.

“Aku serius,” aku menoleh pada Echa.

“Emangnya kenapa sih? Gak boleh ya?” Echa memancingku, dan aku tak suka terpancing seperti ini di depan keluarga.

“Bukan begitu, aku sudah memproses beberapa orang yang akan melanjutkan tes tulis, aku juga sudah menyiapkan wawancara—“

“Ribet banget sih!” papa menyela, “kalau sudah ada kandidat yang pas, kenapa kamu mesti repot?”

“Tapi lowongannya sudah menyebar Pa,” aku menyanggah.

“Terus kenapa? Itu tuh sudah hal biasa, melamar kerja kemudian tidak diterima,” papa tak mau kalah, tidak ada papa yang mau kalah melawan anak laki-lakinya. Aku tidak suka papa punya ide seperti ini, meski ia papaku dan aku harus mencintai dan menghormati pendapatnya, tapi ini bukan prinsipku. Ah, pantas saja ia punya anak sakit-sakitan.

“Iya benar,” Om Reinald menambahkan setelah mengangguk-angguk lama, “kau tidak perlu membuang waktu dan tenaga, tidak perlu pilih-pilih saat pilihanmu sudah di depan mata,” semua orang mengangguk kecuali aku karena perkataan Om Reinald, bahkan Ray juga ikut mengangguk.

“Apa? Kau setuju padanya?” aku membatin pada Ray, mengajaknya bicara.

“Entahlah,” kata Ray, “dia memang salah, tapi ada benarnya.”

“Mana bisa begitu, kau harus tahu mana yang benar dan salah, kau ini Roh Pemandu,” protesku pada Ray.

“Tidak ada yang murni benar dan murni salah, bukalah pikiranmu sedikit,” celoteh Ray. Sepertinya ia juga ingin tampak keren di hadapan Roh Pemandu Echa. "Seperti ini Haid, bila pada akhirnya Echa yang terpilih, kau justru akan membunuh harapan Dewi satu-satunya. Dalam situasi seperti ini Dewi belum siap gagal lagi. Terus, orang gagal itu rasanya gak hanya gagal aja, tapi kehilangan uang buat administrasi dan semacamnya," Ray menjelaskan.

“Tapi Karsa benar juga sih Pa,” sambil memotong daging, Echa tiba-tiba bicara, “kasihan yang sudah mendaftar, tidak adil kalau aku merenggut kesempatan dari mereka yang tidak punya relasi,” lanjut Echa tanpa melihat papanya. Echa memang punya pesona yang bisa meruntuhkan pemikiran orang tua yang keras kepala.

Aku tersenyum menanggapinya, sambil mengirim pesan pada Echa melalui tatapan mataku, “kau memang cerdas dan baik hati.”

“Aku juga mau kok tes tulis dan wawancara seperti peserta lainnya,” kata Echa padaku lalu membalas senyum, “aku juga ingin mencari kerja dengan semestinya dan diterima dengan semestinya.”

Mama mencubit Tante Inggar, sambil terpukau dia bilang, “lihatlah gimana anakmu tumbuh, oh aku sangat ingin memilikinya,” mata mama sampai berkaca-kaca. Sekarang, bagi mama Echa seperti boneka yang dipajang di lemari kaca yang menjadi idaman para ibu mertua, dan ia akan siap melakukan segalanya untuk memiliki Echa.

“Semakin berilmu kau akan semakin bijaksana,” papa menanggapi Echa. Echa membalasnya dengan senyuman.

“Terima kasih sudah memahamiku,” aku berbisik pada Echa.

“Ah, memang seringnya aku yang lebih bisa memahamimu daripada kau memahamiku,” jawab Echa terkekeh.

Ψ

“Kamu sejak kapan sih sok idealis begini?”

“Aku nggak idealis Pa, buktinya Echa juga senang kok bisa berkompetisi.”

“Kamu tuh harus paham efektifitas!” Papa mengacungkan jari telunjuknya, “kamu datangin orang segitu banyaknya untuk proses tulis dan wawancara, pada akhirnya ya Echa kan yang terpilih?”

“Oh enggak, Papa salah,” aku maju sedikit mendekat padanya, “bisa aja Echa tidak lolos, tergantung nilainya.”

“Karsa!” mama membentak, dari tadi mama menahan amarah, tiba-tiba sesuatu meledak dari kepala dan hatinya, “dulu waktu Papa dan Mama kesulitan, keluarga Harawa tidak menyusahkan kami, bahkan kami tak perlu presentasi.”

“Tapi Echa kan gak lagi kesulitan Ma!” aku menjawab mama, “Echa sedang tumbuh, seperti anak yang sedang tumbuh lainnya, dia juga harus belajar gagal.”

“Belajar gagal dari kamu yang menggagalkannya gitu?” Papa melotot.

“Ada orang yang berhasil tanpa harus gagal, kenapa kau sibuk bikin orang gagal?” Mama berkacak pinggang.

Melihat situasi saat ini, sebenarnya mama dan papa seperti ini bukan karena aku terlalu ribet atau idealis, tapi ia panik Echa tidak bisa berkompetisi. Dari kecil Echa selalu bisa mencapai sesuatu karena bantuan papanya, ia tidak perlu berkompetisi, tidak perlu menghemat, tidak perlu kesulitan. Dia tinggal minta apa, papanya langsung mengabulkan. Keluarga Harawa sendiri sangat berkecukupan, bahkan lebih, sehingga kalau bisa anak-anak mereka jangan sampai kesulitan. Echa memang setuju ia akan melalui tes seperti pelamar lainnya, tapi aku tidak tahu isi kepala Echa, aku tidak tahu juga apa yang ada di balik senyum om dan tante. Bisa jadi mereka juga menganggapku keterlaluan.

“Kau tahu? Bahkan sebelum Si Echa lulus, Reinald selalu bilang sama Papa, kalau dia ingin Echa nanti bisa jadi asistenmu, sekalian kita rencanakan pernikahan kalian,” Papa membeberkan rencananya sendiri. Dari kejujurannya aku bisa menimbang sekarang, kalau jodoh bukan di tangan Tuhan, tapi orang yang berkuasa.

Sebelumnya, asistenku adalah Yuli, cewek tangkas, jeli, supel, dan pintar. Aku merasa tiba-tiba ada sesuatu terjadi pada Yuli, wajahnya tiba-tiba terpampang dengan jelas. Bayangannya muncul saat mengatakan rencana Echa jadi asistenku. Pikiran buruk muncul, apakah kepergian Yuli ada hubungannya dengan kesempatan Echa?

“Pa?” mataku menyipit, menganalisis papa, “apa rencana itu ada hubungannya dengan Yuli?”

“Tidak ada!” jawaban papa membentak, bola matanya bergerak hilang arah, dari pergerakan ini aku tahu ada semacam kebohongan besar. Sesuatu terjadi pada Yuli, sesuatu yang disembunyikan banyak orang, baik mama maupun keluarga Harawa.

“Lah kan Yuli pamit ke kamu juga, Yuli keluar dengan sukarela dan baik-baik,” mama menengahi, sepertinya mama tahu aku mulai mengendus bangkai yang mereka pendam.

“Tapi Yuli tak mengatakan alasannya, ia hanya berpamitan lalu pergi tanpa keluhan yang jelas. Setelah itu, aku tak mendengar kabarnya lagi,” mataku berkaca-kaca, sempat kubayangkan Yuli sudah terbunuh atau semacamnya, demi kursi kosong itu, kursi kosong yang akan ditempati Echa. Itu berarti kalau mereka semua sangat berambisi, bila Dewi terpilih, Dewi akan bernasib sama dengan Yuli.

Hening.

“Mau kemana?” mama panik melihatku meraih kunci mobil, lalu melesat menuju pintu keluar.

“Mencari Yuli,” desisku berpamitan.

Lihat selengkapnya