Yuli masih memblokir nomorku, mungkin karena aku adalah putra dari iblis yang memerkosannya. Hari sudah siang saat aku tiba di rumah, papa dan mama membeku menatapku di ruang tengah. Aku tidak mau menyapa mereka hari ini, aku gusar mereka tidak pulang saja, dan malah berjibaku di apartemenku. Aku menutup pintu depan setelah menemukan wajah sinis mereka, sebentar saja aku melirik mama sambil berpikir apakah mama sudah tahu kelakuan papa? Jadi pada mama gelagatku mungkin antara menyayangkan keadaannya dan bisa jadi jijik padanya karena ia mencoba merahasiakan itu.
“Berhasil menemuinya?” Papa meringis, sepertinya papa mengira aku gagal menemuinya.
Aku menggeleng.
“Sudah makan?” mama masih melihatku bergerak menaiki tangga lantai dua menuju kamar.
Aku tidak menjawab.
“Sudah kuperingatkan,” Ray mendekat, aku menyingkir, “kau tidak boleh buat mereka curiga atau merasa rahasia mereka terbongkar!”
“Mama sudah tahu ya?” tanyaku tiba-tiba.
“Entahlah,” Ray mendesah lesu, “Roh Pemandu mamamu pendiam sekali.”
“Kalau begitu cobalah tanya Roh Pemandu papa,” aku menyarankan.
“Dia tidak mau bicara, sepertinya dia mulai jaga jarak padaku. Aku merasakan sesuatu yang besar akan terjadi, sesuatu yang lebih buruk lagi apabila rahasia itu terbongkar,” Ray meringkuk di pojok ruangan seperti hantu penasaran, ia juga masih syok.
“Sesuatu seperti apa?” sambil menatap langit-langit kamar, suaraku menegas.
“Aku tak tahu, aku hanya bisa merasakannya tapi tidak tahu apa itu.”
Ya, Roh Pemandu tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
Setelah itu, aku tidur lama sekali. Aku tak pernah tidur sebelumnya, tapi tubuhku terasa tak berdaya. Apakah karena seharian kemarin aku belum tidur? Aku terlelap sambil mempertanyakan perubahan dari badanku. Mengapa tampaknya sedikit demi sedikit semuanya jadi rumit? Aku belum membantu Dewi, sekarang malah justru aku yang butuh bantuan. Apa yang bisa kubantu untuk Yuli? Jelas aku tidak bisa membuatnya kembali bekerja, apakah Dewi akan baik-baik saja bila posisi itu berhasil ia dapatkan?
Segerombolan pertanyaan itu terus berdengung, jadi meskipun tidur, aku merasa seperti terjaga sambil berpikir. Seperti mengambang di permukaan laut yang hangat, bergelombang, sambil menatap langit yang menggelap. Perlahan-lahan, kemudian sesuatu seakan menarikku tenggelam di dalam air, badanku lemah, dan aku terus tersedot masuk ke dalam air. Aku hanya bisa bertahan beberapa detik untuk tidak bernapas, tapi saat paru-paruku berontak, wajahku mulai memanas, saat itulah aku hampir dicekik oleh air. Tiba-tiba aku bangun, seperti seekor ikan yang menggelepar-gelepar di atas aspal panas. Tenggorokanku yang kering hampir membunuhku, aku tersedak, dan batuk-batuk panjang. Kepalaku masih pusing saat aku berusaha menuruni tangga mengambil segelas air.
“Aku tak bisa tidur,” kataku ngos-ngosan pada Ray setelah minum.
“Kau pasti bercanda, kau tidur sebelas jam, dan sekarang sudah hampir tengah malam,” Ray mengolokku, dari tirai yang belum ditutup aku baru sadar kalau hari telah gelap. Sedangkan aku tadi pulang ke rumah sekitar pukul satu siang.
Sepertinya mama dan papa sudah pulang. Tempat ini terasa sangat sunyi, tidak ada suara berisik mama di dapur, tidak ada bau masakan. Aku sering gusar kalau mama dan papa datang ke apartemen, apalagi kalau mereka terlalu sering ke sini, sekarang aku malah merasa ingin terus melihat mereka. Perasaanku pada papa tidak bisa kupahami. Perasaanku sangat terluka, aku kecewa, tapi masih menyayangkan kejadian itu. Papa salah, untuk itu aku tidak perlu dilema, tapi sulit sekali menjabarkan perasaanku saat ini.
“Pokoknya jangan sampek bocor lo ya!” Ray tahu apa yang membuatku gundah.
“Terus aku harus gimana? Bersikap biasa aja? Layaknya gak ada apa-apa?”
“Ya,” Ray mengangkat pundak, “manusia pandai melakukan itu,” katanya enteng.
“Dia papaku Ray! Dan itu bukan kesalahan yang biasa,” aku hampir meledak.
“Betul sekali,” Ray mengangguk, “karna dia papamu, kau harus menjaganya.”
“Ya!” aku menolak, “itu berarti aku sama biadapnya dengan dia.”
“Tapi semua ini gak hanya buat papamu aja Haid!” Ray mengamuk, ia tak perlu mengamuk untuk membuatku sadar, tapi mungkin aku takkan mendengarkannya kalau dia tidak mengamuk, “Yuli, Dewi, Echa, Om Reinald, semuanya!” ia menghentak-hentakkan kakinya, “kau tidak boleh egois, kau tidak bisa menentukan baik dan buruk sesederhana itu, pikirkan bagaimana Yuli dan Echa kalau sampai ini bocor! Jangan cuma berpikir hal yang baik hanya dari sudut pandangmu saja, kau tidak boleh egois.”
Aku hanya bisa mengepalkan tangan untuk membalas amukannya. Aku membuang muka, melihat lampu-lampu gemerlapan dari gedung-gedung tinggi kota. Di kejahuan lampu itu seperti titik-titik api yang membara. Cahaya itu begitu terang sehingga langit tampak merah, entah karena langit memang berwarna merah di malam musim panas, atau lampu kota yang sudah mengaburkan cahaya bintang. Aku mengarahkan pandanganku ke atas, harusnya di malam seperti ini, ribuan bintang terlihat di langit, dengan mata manusia seharusnya ia sudah tahu rasi-rasi bintang yang bertebaran di atas sana.
“Fomalhaut,” kataku tiba-tiba melihat apa yang kutemukan, hanya ia yang bisa kulihat di langit.
“Ya, karena ia terlihat kesepian,” Ray menimpali, tampaknya ia sudah meluruhkan api di dadanya.
“Kenapa ia bisa kesepian begitu ya? Dia kan salah satu dari penjaga semesta, kau tahu kan?” aku menguji Ray dan tentu saja Ray pasti lolos di ujian ini.
“Ya, empat penjaga semesta; Fomalhaut, Aldebaran, Antares, dan Regulus,” jawabnya menjiwai.
“Tapi Fomalhaut berkelip-kelip sendirian di ujung sana, jauh dari bintang-bintang lainnya.”
“Ya,” Ray masih menatap langit, “seperti manusia, semakin besar kekuatannya atau bisa jadi masalahnya semakin banyak ia akan menyendiri.”
Ψ
Aku sudah tidur selama sebelas jam, dan dengan konyolnya Ray berceloteh kalau aku mengigau. Padahal aku tak merasakan telah tidur sama sekali. Meskipun begitu, aku lupa kalau sebagai manusia aku harus sering memeriksa panggilan atau pesan masuk. Sontak aku melihat HP, di sana ada sekitar delapan puluh pesan masuk dan dua puluh lima panggilan. Pasti tadi nada deringnya sangat ricuh, Ray bilang aku tidur nyenyak sekali saat HPku sedang ramai. Sekarang, barulah aku percaya kalau tadi aku memang benar-benar tidur.
Semua pesan dan panggilan itu merepotkan soal laporan, pertemuan, rapat, kebijakan, diskusi, dan lain-lain. Ah, siapa bilang kalau CEO tidak ada kerjaan, bilang juga kalau kerjaan CEO hanya menonton, terima selesai, lalu pergi kencan. Jam kerjaku lebih lama daripada karyawan umumnya, tidak ada hari libur, tidak bisa meninggalkan alat komunikasi sembarangan. Sebagai CEO, aku sering berhalusinasi, betapa senangnya jadi karyawan biasa, mereka punya jam kerja, punya jam lembur, tidak boleh diganggu setelah pulang kerja, dan juga dibebaskan saat hari libur. Tapi aku tidak boleh begini, jadi CEO adalah mimpi banyak orang, mengapa aku malah ingin jadi karyawan biasa? Betul-betul plot twist yang tidak menarik.
Dari semua pesan yang ditinggalkan, aku mencermati pesan dari Bertha. Bertha bilang kalau tes tulis atau tahap satu akan diadakan besok pagi, tepatnya pukul delapan. Aku melihat jam sebentar, sudah setengah empat. Aku nyengir, empat jam lagi sudah pukul delapan. Bertha juga melampirkan data-data kandidat yang akan datang besok. Jantungku berdegup, aku juga merasakan darahku berdesir keras. Aku membuka lampiran itu, berharap menemukan nama Dewi di sana. Lamat-lamat aku berdoa, semoga ia lolos di tahap berkas. Tanganku dengan sigap menunjuk urutan nama, dan betapa leganya aku saat melihat nama Dewi di sana. Suhu badanku jadi tidak teratur.
“Apakah ini gejala Roh Pemandu bertemu dengan yang dipandu?” seruku pada Ray, karena dahiku panas sekali sedangkan tanganku dingin membeku.
“Tidak, tidak seperti aku, aku tak merasakannya saat bertemu denganmu,” jawab Ray mencibir.
Setelah keheningan yang lama, Ray mengangkat wajahnya, lalu menoleh padaku. “Jangan bilang kau sedang jatuh cinta!” teriak Ray girang sambil mengejek.
“Tidak mungkin, paling aku cuma gugup saja. Aku tak mungkin suka sama Dewi, you know lah Sinta dan Echa lebih cantik,” aku mencibir Ray.
“Nah, Haid,” tatapannya seperti srigala yang akan usil, “biasanya orang yang akan jatuh cinta akan mengucapkan hal-hal semacam itu, seperti Raisa dan Luna Maya lebih cantik darinya, pokoknya semacam itu,” Ray menahan tawa, sehingga aku merasa sangat konyol.
“Pokoknya, tidak mungkin!” teriakku padanya lalu menutup pintu kamar, “tidak mungkin,” teriakku lagi padanya dari dalam kamar, “kecuali kalau aku memang sudah buta.”
Ray menetap di ruang tamu, di depan tirai yang masih terbuka, menatap bulan yang melenyap diterangi fajar sambil sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku seakan merasakan kebebasan baru, kebebasan dimana aku tak perlu ditemani dan diawasi Ray. Kurang empat jam untuk menuju pukul delapan, di kamar aku sibuk memilih model kemeja dan jas, memilih sepatu, tas, jam tangan, dan dasi. Biasanya aku sudah menyiapkan satu setel baju dengan pasangan aksesorisnya. Tapi tiba-tiba aku merasa semua warna tidak cocok, semua barang mewah kurang terlihat menarik. Aku sibuk mencoba ini dan itu, memasang lalu melepaskan baju, berganti-ganti jas dan celana pasangannya. Melihat apakah warna tertentu cocok dengan musim saat itu atau cocok dengan suasana hati. Ah, seperti gadis belasan tahun yang pergi kencan pertama kali. Aku pasti sudah gila.
Dua jam berlalu dan aku masih belum menemukan setelan yang pas. Aku menggaruk-garuk rambut karena merasa tolol dan putus asa, lalu duduk linglung di atas kasur. Oh, mungkin aku harus mandi dulu, siapa tahu aku dapat inspirasi setelah mandi, setelah badan dan pikiranku segar. Bergegas aku mandi, setelah selesai aku menuju kamar dengan handuk yang hanya membelit dari perut hingga paha. Kemudian, aku berdiri merasa bodoh melihat kamar yang sudah seperti toko pakaian bangkrut yang membuka semua bungkusan pakaian untuk dipamerkan, tapi kemudian tidak ada yang beli. Aku hanya bisa melongo, karena dari sekian banyak yang telah kucoba tidak ada satu setel pun yang cocok.
“Wah, wah, coba lihat,” Ray masuk setelah hari sudah terang, bintang menghilang, dan langit berwarna keabuan karena polusi, “kau seperti mantan gila yang datang ke pernikahan mantanmu, tidak tahu harus pakai baju apa, kalau bisa baju yang membuat seluruh semesta terkesan, kalau bisa juga membuat suaminya merasa seperti badut karena kau tampil lebih keren, ha ha ha.”
“Udah ngomongnya?” aku menoleh pada Ray. Dia masih terpingkal-pingkal, sambil menuding-nuding celana dalam yang warnanya kusesuaikan juga dengan celana dan jas.
“Kau benar-benar konyol,” Ray tak bisa tertawa, sampai kiamat dia bakal tertawa seperti itu.
Aku meraih pakaian sekenanya, jas warna krem, kemeja putih. Ray menggeleng.
“Tidak aku tidak setuju,” kata Ray, dan karena pikiranku buntu, aku tergerak untuk mendengarnya.
“Yang mana dong?”
“Dewi suka pakaian gelap, hitam misalnya, dengan begitu warna kulit akan terlihat mencolok.”
“Tidak aku tidak suka hitam,” tanggapku langsung, “seperti gaun malaikat pencabut nyawa.”
“Eh Haid!” Ray menimpali, “ya gak bisa gitu dong pikirannya, terus kalau pakai jas putih kamu mau mirip siapa? Pocong?”
“Tapi hitam itu gelap sekali, seperti kesuraman, seperti warna yang dipilih cowok-cowok nakal.”
“Asal kau tahu,” Ray mengedipkan mata sebelah, sesama lelaki aku merasa itu menjijikkan sekali, “cewek baik malah tipenya kebanyakan cowok nakal,” ia terkekeh geli, “terserah kau deh mau pakek baju apa ya, mau putih, mau ungu, mau biru tua, mau biru langit, mau warna telor asin, terserah!” Ray menghilang.
Setelah satu jam Ray tertawa terbahak-bahak, aku hanya bisa membuang muka kesal. Aku memilih warna hitam.
Ψ
Peseta tes tahap dua sudah berkumpul di lobi, kau takkan percaya apa yang kulihat di sana. Awalnya aku berpikir, mengapa banyak sekali orang yang datang, ada orang tua, ada anak kecil, apakah yang daftar jadi asisten semua umur? Aku tidak yakin itu alasannya. Ternyata banyak kandidat yang diantar tes oleh orang tua mereka. Sebagian besar mereka dan para orang tua bersantai sambil menunggu jam dimulai tes di kafe kantor yang tidak jauh dari lobi. Kalau dilihat lagi, sepertinya kebanyakan kandidat berasal dari orang mampu. Kemarin dari lampiran Bertha, banyak sekali kandidat lulusan luar negeri, dan berasal dari keluarga yang memang punya perusahaan sendiri.
Di ujung lain, sebelah toilet, seseorang berdiri seorang diri, sambil membenahi map tiga ribuannya yang basah entah karena apa. Dari jauh ia betul-betul kasihan, orang pasti mengira ia sedang daftar jadi tukang bersih-bersih toilet, atau tukang sapu. Sepatunya hitam pudar, pakaiannya berwarna putih gading, dan aku yakin itu bukan warna aslinya tapi karena menjamur terlalu lama di lemari. Wajahnya gugup, terlihat dari sedikit-sedikit menggigit bibir bawah, tangannya cemas merangkul map. Kalau dibandingkan dengan mereka yang bersantai di kafe, ia seperti seekor burung jalak yang salah rombongan. Burung jalak kasihan itu tak lain dan tak bukan adalah Dewi.
Di luar para orang tua dan anak yang akan tes menyambut dan memujiku. Beberapa mengajak bersalaman, sambil bicara, “saya pemilik perusahaan kain A,” atau perusahaan B, C, D, dan seterusnya. Aku menanggapi sekenanya. Tidak ada kandidat laki-laki, dan tampaknya para orang tua ini membawa anak gadis terbaik mereka yang kekurangan warisan perusahaan karena semua dilimpahkan pada anak laki-laki mungkin begitu. Aku menjawab salam mereka sekadarnya. Sesekali aku melirik Dewi, ia tampak mengawasiku dari jauh. Karena beberapa orang tua sudah memanggilku CEO, Dewi mungkin telah mendengarnya.
“Kata Dewi dalam hati, aduh CEO-nya ganteng sekali,” bisik Ray, “kemudian dia terperanjat! Loh, loh kok wajahnya gak asing?” tambahnya meski Ray tak perlu berbisik untuk mengatakan itu, senyumku melebar, kostum ini berhasil memikatnya.
Sambil memberi salam mengangguk aku pamit dari kerumunan itu, tapi beberapa orang tua mencegahku, sekadar mengajakku mengobrol dan memberi kartu nama.
“Wah, lebih ganteng aslinya daripada di majalah ya! perkenalkan saya investor di perusahaan tambang,” ia meraih tanganku, padahal aku agak ogah untuk menanggapinya.
“Saya juga ada saham di transportasi laut,” seseorang ikut menimbrung, dalam hati aku berteriak, berharap sesuatu bisa menyelamatkanku dari kungkungan orang-orang cari perhatian ini.
“Karsa!” suara Om Reinald membuatku membalikkan badan.
“Om!” sapaku kembali, Echa di sampingnya. Melihat Echa berjalan berdampingan dengan papanya, aku merasa jantungku sedang diledakkan oleh sesuatu dan bom itu bernama Yuli. Aku tak habis pikir bagaimana bisa seorang papa yang sudah punya anak gadis dan sempurna seperti Echa bisa memerkosa orang?
“Ingat biasa aja, biasa aja!” Ray khawatir aku berlagak mencurigakan.
Semua mata kini tertuju pada Om Reinald dan anaknya Echa. Seperti seorang raja yang menggandeng anak perempuan paling cantik di dunia untuk diserahkan ke pangeran. Beberapa orang melongo, dan cemburu melihat penampilan Echa. Bahkan ada tante-tante yang memukul lengan anaknya karena memakai baju yang terlalu sederhana sehingga dari penampilan saja anaknya sudah kalah anggun dari Echa.
“Semoga Echa bisa lolos ke tahap selanjutnya dan selanjutnya ya!” Om Reinald meremas tanganku.
“Semoga Om!” balasku. Di arah ini aku bisa melihat Dewi dari jauh, wajahnya terlihat semakin lesu melihat Echa. Echa dan Dewi sama-sama kurus, hanya saja Echa kurus karena atletis dan diet, sedangkan Dewi karena ia terlalu miskin untuk membuat badannya berbentuk. Melihat Dewi semakin gundah, aku jadi tergerak untuk menemuinya, sebenarnya aku punya misi hari ini. Misi yang tentu saja akan mengangetkan Dewi.
“Dewi membatin, tampaknya kau tidak asing, ah mampus kau!” Ray panik, tapi aku malah tersenyum melihat kepanikannya.
“Permisi Om,” aku pamit pergi ke arah lain. Semua mata mengikuti ke mana aku pergi, mereka sempat berpikir aku ke toilet, beberapa berpikir tidak mungkin aku ke toilet lobi. Mereka membelalak saat aku berada tepat di depan Dewi.
Dewi membeku seperti mumi yang sudah diformalin.
“Hai,” sapaku padanya. Dewi hanya bisa melongo, dan berkedip-kedip untuk memastikan ia berada pada alam sadar yang tepat.
“Kau pasti sudah gila! Kau pasti sudah gila,” Ray ricuh.
“Ah!” kataku pada Dewi kemudian, “tunggu sebentar ya,” kataku lembut, Dewi hampir roboh. Aku berlari menuju mobil, mengambil sesuatu, semua orang masih mengawasiku, entah mengapa aku suka mencuri perhatian mereka dengan cara seperti ini. Saat aku kembali, Dewi masih melongo seperti ikan emas yang pingsan. Aku menyodorkan sesuatu padanya lalu ia menerimanya dengan kikuk.
“Aku cuma punya ini,” kataku setampan mungkin sambil menyerahkan sebungkus mi padanya seperti satu kotak cincin, “semangat ya!” lalu aku pergi. Om Reinald berkedip-kedip memeriksa siapa Dewi, kemudian segera mengikutiku, meski sebenarnya tampak seperti mengejarku. Mungkin hanya ingin memastikan tadi itu siapa? Siapa cewek lain selain anaknya?
Ray telat menyusulku, dengan wajah panik ia berbisik, “Echa menghampiri Dewi!”
“Hah?” aku penasaran.
“Dia tanya sambil mengamati Dewi dari atas ke bawah, kau kenal Haidar Prakarsa? Katanya begitu setelah yakin orang berpenampilan gembel takkan mungkin ada hubungannya denganmu.”
“Ha ha ha, memang betul, Echa sudah berubah,” responku pada laporan Ray.
“Terus, terus dia juga tanya soal mi Sedap itu, kamu memang sinting,” Ray hampir meninjuku. “Apa itu? tanya Si Echa, dan Dewi hanya merespon, kau tahu sendiri ini apa,” Ray masih berceloteh, “ya, itu tuh bukan semacam cincin atau kalung, tapi wajah Echa masam sekali, dia cemburu karena mi goreng.”
Aku tertawa.
“Oh, Om?” tiba-tiba Om Reinald masuk ke ruanganku, tanpa mengetuk pintu, pasti dia sudah mengira aku harus menghormatinya seperti menghormati orang tuaku sendiri.
“Kenapa kamu ketawa sendiri?” tanyanya menginterogasi, memastikan jiwaku baik-baik saja.
“Ah, tidak Om,” aku mengelak, “kebetulan kemarin saya nonton film komedi, sekarang teringat adegannya,” lanjutku berdalih.
“Aneh-aneh aja kamu ini,” Om Reinald duduk tanpa kupersilakan, tapi aku membiarkannya berbuat seenaknya, dia memang biasa seperti itu; biasa menganggapku seperti anak sendiri.
Saat ini cukup berbeda, biasanya aku suka menyambutnya dan berlagak santai di depanku, sekarang setelah mendengar tentang Yuli, aku tidak bisa bersikap biasa-biasa saja. Aku menuju mesin pembuat kopi membuatkan kopi kesukaannya, biasanya aku akan berceloteh sampai kopi itu selesai, sekarang tiba-tiba aku tidak punya tema untuk melawak. Syaraf tawaku mati rasa, pita suaraku mengejang.
“Tadi itu siapa Karsa?” akhirnya Om Reinald to the point. Lebih tepatnya, mencairkan kebekuan dengan semakin mendinginkannya.
“Oh, kenal di jalan Om,” jawabku, biasanya aku bisa menjawab panjang, malah menambahinya dengan pantun atau pribahasa, atau menyanjungnya tanpa alasan. Ah, sesuatu juga memperpendek omonganku. Aku jadi gugup.
“Di jalan?” Om Reinald menyudutkan pandangannya, ia pasti masih bingung.
“Ya, Om, um, saya sedang mencari alamat dan dia menunjukkan lokasinya,” jawabku bohong.
“Terus mi Sedapnya?” Om Reinald memeriksa jawabanku.
“Oh, katanya wajahku terlalu pucat dan lapar, jadi dia memberiku mi, sekarang aku mengembalikannya.”
Tawa Om Reinald menggelegar.