Roh Pemandu dan Jiwa Tujuh Bersaudari

Putriyana Asmarani
Chapter #6

Mamaku Sendiri, Bahkan Aku Tak Mengenalnya

“Pa, kita bahas ini besok saja,” aku merengek, papa mampir ke apartemenku, memberiku jam kerja tambahan, yaitu menyelamatkan posisi calon menantunya.

“Aku tahu kau pasti pilih nomor tiga, iya kan? Iya kan!” todong papa, ia tak perlu seperti itu karena aku sudah limbung, terlalu lelah untuk membicarakannya sekarang, padahal pengumuman lolos tiga hari lagi, kenapa papa begitu tidak sabar? Apa yang sedang memburunya? Waktu terus berjalan dan takkan habis, sedangkan papa selalu merasa waktu akan cepat menghabisinya.

“Kita masih belum dengar pendapat Bertha dan asistennya Pa, kita harus diskusi bersama, menentukan yang terbaik,” kepalaku sudah pusing sekali, dan aku tahu papa tidak puas kalau aku mengulur waktu.

“Tapi kalau kita sepakat memilih Echa, Bertha dan asistennya pasti setuju kok!” ah, papa memang benar, tapi aku tidak mau seperti itu.

“Tidak bisa Pa,” aku melenguh seperti kata perpisahan kambing di mulut serigala.

“Berarti betul kamu tidak memilih Echa ya? Hayo jujur sama Papa, kamu pilih siapa?”

“Nomor tiga, itu sudah jelas Pa!” aku sudah tidak tahan menyampaikan pendapatku, padahal aku sudah berusaha hanya untuk menyampaikannya di rapat, wajah papa memerah seperti arang yang dikipas.

“Kalau gitu kamu bikin saja perusahaan sendiri!” papa memuntahkan api.

“Papa!” mama mencegah, ia berada di dapur, tidak sanggup melihat kami berdua, tapi sejak tadi mama sudah ikut menguping. Sekarang aku merasa, orang lain bisa lebih penting daripada anak sendiri.

“Echa sendiri sudah memohon dengan hormat,” aku megap-megap apalagi setelah papa mengamuk, selama hidupku aku tak pernah membuatnya mengamuk “tadi di ruanganku, Papa pasti ingat,” aku yakin saat ini wajahku juga merah karena aku merasakan darah yang panas bergejolak di kepala, “Echa minta kita selesaikan semua ini dengan baik, ia bahkan sudah bilang menjadi istriku sudah lebih cukup baginya.”

“Tidak sesederhana itu,” sekarang papa berdiri sambil mengacungkan jari, “kalau dia ikhlas, dia tidak bakal membela diri di wawancara tadi.”

“Tapi kalau akhirnya Echa yang terpilih, dia akan lebih malu lagi! Dia sadar telah kalah!”

“Salah!” papa berteriak, “justru kalau dia terpilih, dia akan bangga.”

“Lalu orang akan belajar dari yang terpilih? Belajar mempermalukan diri di sesi wawancara?”

Plak. Papa menamparku. Mama memekik lalu berlari menghentikan papa. Sesuatu yang sederhana selalu mencari jalan di atas kerumitan-kerumitan tertentu. Awalnya, aku jadi manusia adalah untuk menolong Dewi agar ia punya harapan, punya uang untuk melanjutkan hidup. Sekarang, aku tahu Dewi bisa berusaha dengan segenap kebesaran jiwanya tanpa bantuanku. Tapi masalah yang lebih pelik menggelandangku di medan laga, menghadap papa dan Keluarga Harawa.

“Lelaki macam apa yang mencoba mempermalukan calon istrinya? Apa aku mendidikmu seperti bajingan?” suara papa melengking, seakan agar terdengar pula oleh semesta. Ia berpikir kalau aku mengagalkan Echa itu berarti, aku mempermalukan putri kebangaan Keluarga Harawa.

“Sadar Pa!” aku belum kehabisan kata-kata, pipiku nyeri, engsel rahangku terasa sedikit miring, sesakit apapun itu selama itu tidak membuatku bisu, aku akan tetap memperjuangkan pendapat. “justru Papa yang nantinya akan mempermalukan Echa, juga mempermalukanku.”

 Papa hampir meninjuku karena lancang sekali, tapi mama bergelantungan di lengannya, memohon agar ia menahan pukulannya. Aku enyah dari ruang tamu, setelah melewati tangga, sambil menggosok pipi, aku berteriak, “Demi Tuhan pulanglah!”

Dewi benar, luka yang paling menyakitkan adalah dari orang yang paling kau cintai, dia adalah papa. Tapi tentu saja aku takkan seperti Guru Grahita yang akan menghancurkan perusahaannya. Aku tak mau mama ikut terkena imbas keonaranku. Aku ingin mama baik-baik saja. Di suatu sisi, aku ingin belajar mengambil sisi baik dari segalanya; sisi baik kalau papa adalah papaku jadi aku harus menghormatinya, orang bisa melakukan kesahan tak terkecuali papaku sendiri.

Hanya saja, semakin aku berpikir mengambil sisi baiknya saja, sisi-sisi jahat berjubal muncul di pikiranku. Sisi baik mana yang bisa diambil dari papa yang memerkosa Yuli? Sisi baik apa yang bisa diambil dari papa yang mencoba memenangkan Echa di atas kegagalan Echa dalam wawancara? Sisi baik apa yang bisa diambil dari keberhasilan yang didapatkan dari konspirasi? Tiba-tiba aku masuk pada perenungan panjang, semua ini tidak ada sisi baiknya, kecuali bila aku jadi orang jahat yang menganggap semuanya bisa diambil sisi baiknya.

 

Ψ

“Kau pasti takkan percaya apa yang baru saja kudengar.”

Aku terkesiap, Ray tiba-tiba muncul, aku bertanya-tanya kemana saja dia dari tadi?

“Kau habis darimana?”

“Mengikuti Echa,” bisiknya sambil melotot tegang, seperti arwah penasaran yang mengekor pada satu badan untuk bisa dikuasainya. Wajahnya saat ini terlihat menakutkan sekali.

“Kenapa kau mengikutinya? Kenapa sih semua orang hanya peduli sama Echa? Kau lihat nih!” aku menunjuk pipi kiriku pada Ray yang telah bengkak.

“Ah, kau terlalu manja, Echa lebih parah,” Ray mengejek, dia benar-benar ingin aku tertarik mendengarnya.

Cerita Ray seperti ini;

“Putri paling cantik Papa sudah pulang!” keluarga Echa menyambutnya, mamanya, juga Rio. Semuanya menunggu ada kabar baik, atau setidaknya Echa mau buka suara soal wawancara tadi. Tapi sambutan seperti itu justru membuat Echa tertekan. Ia sadar ia akan mengecewakan semua orang.

“Mama, kakak,” kata Echa lemas, “boleh Echa bicara berdua dengan papa?” semua mendadak diam, dengan ganjil Bu Inggar dan Rio pergi menuruti permintaan Echa. Tapi tentu saja Rio dan Bu Inggar tidak benar-benar pergi, mereka menguping di suatu sudut di rumah itu.

“Ah, Papa jadi tidak sabar!” Papa Echa menggosok-gosok punggung tangan putrinya, “kamu kenapa letih begitu? Capek ya? Ini kau lihat,” ia memperlihatkan meja yang penuh dengan hidangan, “mama sudah masak istimewa untuk memulihkan tenaga kamu.”

Echa menggeleng.

“Aduh, pasti kamu prank Papa ya? Kau berakting aja, sebenarnya kamu bawa kabar baik?”

Echa menggeleng lagi.

“Maaf Papa,” Echa akhirnya bicara, lirih sekali, sampai yang menguping harus menempelkan telinganya di tembok.

“Kenapa? Ada apa?”

“Sepertinya Echa tidak akan terpilih menjadi asisten Karsa,” Echa kembali menutup mulutnya, kembali pada keletihan dan keresahannya, ia kemudian menunduk dalam sekali.

“Siapa menurutmu yang akan lolos?” wajah papa Echa mengeras.

Lihat selengkapnya