Kalau aku memilih Dewi, Echa akan menanggung risiko yang terlalu berat. Kalau aku memilih Echa, Dewi mungkin akan bunuh diri lagi. Tapi sebenarnya, aku punya kepercayaan lebih pada Dewi. Anak itu terbiasa menderita, jadi menderita lagi sedikit saja takkan memengaruhi ketahanan dirinya. Sedangkan Echa, ia tak pernah menderita sejak kecil. Semua tersedia untuknya, semua keinginannya terkabul, dan tidak ada sesuatu yang pernah tejadi dalam hidupnya yang tidak sesuai dengan seleranya. Sedikit saja menderita, Echa bisa tumbang, seperti pohon ringkih diterjang angin.
Tapi betapa jahatnya aku bila memilih Echa hanya karena Dewi lebih tahan banting. Aku yakin semua orang tidak mau jadi pohon yang besar dan tinggi hanya untuk melawan angin yang lebih besar, bila aku punya kepercayaan semacam ini, orang sengsara akan semakin sengsara, lebih buruk lagi kalau aku yang menyebabkan kesengsaraan itu. Lagi pula, aku sudah semakin dekat dengan Dewi, tujuanku ke sini, membuatnya bekerja denganku, semua yang kuinginkan sudah ada di depan mata.
Akhirnya begini lah solusiku; Echa akan menjadi asistenku, Dewi akan aku masukkan di tim administrasi. Bukankah untuk Dewi pekerjaan apapun bisa saja, yang penting dia bekerja, dapat penghasilan, melunasi tanggungan rumahnya, dan hutang saat ibunya dirawat. Lalu, untuk Echa dia bisa aman dengan posisi yang didambakannya, dan didambakan para orang tua yang sudah kelewatan itu. Semuanya bisa mencapai apa yang mereka inginkan, sudah happy ending!
“Itu bisa dicoba,” kata Ray sambil memijat dagunya, “tapi kau harus tetap berhati-hati, jangan sampai lengah.”
“Kau tak perlu khawatir,” aku menepuk udara, “aku yakin semua bisa menerima, bahkan dengan suka cita.”
“Kalau Yuli gimana?”
“Aku tetap akan melaporkan papa, perlahan tapi tetap jalan.”
Jadilah hari itu juga aku mengabari Bertha soal keputusanku. Ia tak terlihat kaget sama sekali. Malah tersenyum sambil mengatakan bahwa tampaknya semua orang sudah tahu kalau aku akan memilih Echa. Aku sempat baper saat ia mengatakan itu, seakan aku sudah tidak adil, dan membuat semua kehebohan seleksi masuk hanya untuk main-main saja agar bisa membuat Echa masuk dengan semestinya.
Tapi Bertha menenangkan pikiran burukku, sambil terus meyakinkan kalau posisi asisten tidak bisa lepas dari subjektifitasku. Aku berhak memilih lebih nyaman bekerja dengan siapa. Terlebih, subjektifitas untuk memilih rekan diskusi yang bisa satu frekuensi, itu penting sekali. Selama ini aku tak pernah diskusi dengan Dewi kecuali soal Mi Sedap. Sedangkan dengan Echa, aku sudah satu pemikiran dengannya bahkan sejak kita masih bayi. Namun, sesuatu yang lain muncul di kepalaku seakan seleksi masuk sudah tidak ada artinya. Pada akhirnya, Echa yang menempati posisi ini.
Hari itu Bertha langsung memberi kabar Dewi, dan aku mendapat bagian untuk menelepon Echa. Entah mengapa Bertha memberiku tugas seperti ini dengan logat mengejek, aku juga tak paham dengan diriku yang heboh tak sabar ingin menelepon Echa, pokoknya aku sudah yakin semua telah tertata dengan semestinya jadi aku senang. Hanya saja aku sedikit meragukan kesenangan itu.
Ψ
“Papa! Mama!” Echa berteriak setelah menerima panggilanku, Ray jadi sering ke tempat Echa, kadang karena memang ada urusannya denganku, lebih sering mungkin biar dia bisa dengan leluasa bertemu Roh Pemandu Echa. “Papa!” Echa berteriak lagi dari dalam kamar, “Mama!” panggilnya lagi, biasanya bila seperti itu, orang tuanya akan berhamburan menuju kamarnya. Dari lantai bawah, mereka pasti mendengar Echa, tapi tampaknya tidak ada yang mau bergerak untuk menjawab panggilan Echa.
Gusar, Echa bangun dari kasur setelah sekian hari ambruk karena penantian pengumuman. Ia mempercepat langkah sampai tiba sepenuhnya di hadapan papa dan mamanya. Tidak ada Rio saat itu karena Rio ada pertemuan bisnis.
“Pa, Ma,” kata Echa pelan-pelan. Wajah orang tuanya masih tidak bisa dialihkan dari Sinetron di televisi, “Echa lolos jadi asisten Karsa!” Echa berteriak riang.
“Yuk Pa, waktunya makan siang,” ajak mama Echa, keduanya tidak menggubris. Menoleh pada Echa pun tidak. Mungkin yang baru saja mereka dengar hanyalah angin berisik.
Tapi setelah dapat kabar itu, Echa yang ceria, cerdas, dan optimis menganggap masa bodoh saja soal kecuekan orang tuanya. Jadi ia tidak begitu sensitif. Meskipun begitu, seberapa pun ia mencoba biasa saja, perasaan aneh bagai asap pekat yang perlahan menggelapkan hatinya membuatnya gundah dan bertanya-tanya. Mengapa papa dan mama seperti itu? Apakah mereka belum puas? Bukankah ini yang mereka inginkan? Mengapa mereka bertingkah seperti itu? Apakah mereka pikir semua ini bukan karena kemampuanku tapi Karsa yang dipaksa papanya?
Roh Pemandu Echa mulai memberikan tanda yang kurang baik. Ia bilang pada Ray, yang dipikirkan Echa itu bukan semata-mata dia overthinking, atau sebenarnya tidak ada apa-apa, semua hanya terjadi di pikirannya saja. Tidak, itu seperti penyakit sungguhan, seperti orang sakit paru-paru, kan tidak mungkin dibilang semua itu hanya terjadi di kepalanya, paru-parunya tidak masalah.
Terjadilah, saat Echa turun dari kamarnya untuk makan, orang tuanya di meja makan langsung hengkang, membiarkan Echa sendiri. Seperti anak SMA yang merundung teman sebayanya. Echa bahkan tak menyentuh makanannya. Ia melamun, melihat beberapa tragedi yang pernah dialaminya, setiap orang tuanya tidak puas, mereka selalu seperti itu. Mereka tidak mengajak Echa bicara, dan bila Echa menghampiri mereka, mereka selalu enyah. Seperti komplotan orang beruntung yang melihat ada nasib buruk menghampiri mereka. Pikirannya memanas, hatinya terluka, dan ia tidak bisa pasrah pada luka yang terus menjarahnya itu.
“Papa sama Mama mau apa lagi dari Echa? Echa sudah diterima, apa ini masih belum benar?” Echa memekik.
“Kamu gak tahu terima kasih ya? Terima kasih pada papa yang udah bikin kamu masuk ke sana, meski kau udah bikin dirimu sendiri terlihat bodoh di depan anak lulusan kampus rendahan!” akhirnya Papa Echa angkat bicara.
Hening.
“Jadi Papa barusan maksa Karsa gitu?”
“Enggak kok, Papa gak ngapa-ngapain,” sela mamanya, “kalau sudah jelas kamu kalah di wawancara, itu sudah memalukan sekali untuk bela kamu.”
“Berarti udah kan? Papa dan Mama gak ngapa-ngapain, ini keputusan Karsa!”
“Ya dia terpaksa kali,” tanggap mamanya, ditutup dengan lenguhan tawa mengejek.
Dada hampir meledak, tangan bergetar, Echa bergerak menelpon Karsa.
“Halo Karsa,” Echa menyalakan pelantang telepon.
“Iya? Sekali lagi selamat ya, gak sabar bisa ketemu kamu minggu depan,” adalah salam pembukaku.
“Sorry sebelumnya, kamu milih aku karena apa? Karena papa? Atau kamu kasihan sama aku?”