Roh Pemandu dan Jiwa Tujuh Bersaudari

Putriyana Asmarani
Chapter #8

Terkenal dan Terasing

Ada dua masa dalam hidup, di mana kau akan menggunakan baju terbaikmu; menikah dan hari pertama kerja. Kalau menikah, kau melakukannya karena berpikir sekali seumur hidup. Kalau kerja, kau ingin membuat kesan yang baik. Aku yakin semua orang ingin memakai baju terbaik mereka di saat seperti itu, tapi tidak semua orang punya kemewahan semacam itu. Bahkan membayangkannya saja membuat mereka berkeringat dingin. Meskipun tak punya baju terbaik untuk hari pertama kerja, Dewi mungkin akan memilih pakaian yang sedikit lebih layak diantara yang paling jelek.

Aku tak peduli apa yang dia pakai, tapi Ray tak berhenti berkomentar soal dasi dan kemejaku hari ini, katanya perpaduan warnanya seperti buaya albino di sungai keruh. Begitu pun aku patuh pada saran Ray, seperti dulu aku ingin Dewi bisa mendengarkan dan patuh pada solusiku. Sebenarnya aku suka warna-warna cerah, seperti musim gugur dan musim semi. Tapi Dewi suka warna-warna gelap, seperti warna badai, kematian, dan tanaman layu. Kalau bukan karena Ray bilang baju warna cerah mungkin mengelabui kenyataan hidup yang suram dan pahit, aku pasti sudah pakai warna gading hari ini.

Echa sudah berada di ruanganku untuk menyapa, bajunya berwarna cerah, yang lebih cerah lagi adalah senyumnya. Aku dulu sering ke rumah Echa saat masih kecil, dari dulu senyumnya tidak berubah. Kemudian, aku mengacak-acak rambutnya, lalu sekadar usil untuk merebut bonekanya. Tentu saja aku tak melakukannya sekarang, mengacak-acak rambutnya? Yang benar saja, aku sudah tak melakukan itu sejak dia umur lima belas tahun.

“Kau pasti datang lebih awal daripada ayam berkokok,” aku bercanda.

“Sumpah, aku tak pernah dengar ayam berkokok sejak lahir,” jawabnya, itu benar, di kota sepadat ini tidak ada suara ayam berkokok kecuali arwah ayam penasaran yang ingin berkokok di koridor apartemen, “sudah makan Pak?” Echa menggoda ditambah panggilan barunya, ‘pak’.

“Entahlah,” nafsu makanku memang tidak jelas, kadang membaik sejak Dewi diterima, dan bisa tiba-tiba memburuk kalau teringat Yuli.

“Baiklah, hari ini cukup padat,” kupikir Echa sedang mengalihkan topik, “pagi ini ada tiga kelompok tur mahasiswa untuk melihat perusahaan, lalu pukul sebelas sampai satu ada rapat direksi, lanjut pukul tiga ada pertemuan dengan tiga relasi baru, tempatnya agak jauh, so mungkin akan terlambat makan siang, jadi Bapak harus makan, ini perintah bukan permintaan,” tutupnya manis.

“Kau dapat jadwal itu darimana?” pikirku, betapa cepat dia beradaptasi di hari pertama, kenapa justru aku yang beradaptasi dengannya.

“Darimana saja, saya tidak suka bekerja dengan pikiran kosong, atau bergerak menunggu diperintah,” aku terkejut, Echa memang cerdas dan ulet, dia juga memakai kata ‘saya’ di tempat kerja. Aku mengangguk, ku pikir Echa akan manja, kupikir ia akan bertingkah di luar batas, tidak bisa membedakan situasi kerja dan teman. Aku salah.

“Ok, kita sarapan,” jawabku patuh.

Ruanganku ada di lantai lima gedung barat, seharusnya aku ditempatkan di ruangan lain, di lantai lebih tinggi dan lebih luas. Tapi aku memilih ruangan ini, karena hanya ini lah satu-satunya ruangan dengan jendela yang menghadap senja. Di pagi hari yang gerah, dan siang yang betul-betul seperti bahan bakar neraka, ruangan ini lah satu-satunya yang bisa menghadang sinar matahari. Bila hari hujan, semua jendela akan terangkat, tidak ada gedung tinggi yang menghalangi pandangan bumi penuh warna-warni dan langit pucat dengan rintik hujan. Ada satu lagi yang bisa terlihat dari ruanganku, di jendela dekat mesin pembuat kopi, dari atas aku bisa melihat tempat pemberhentian bus umum. Aku jarang sekali melihat ada karyawan dari perusahaanku yang keluar dari bus yang reot dan kelelahan itu, kebanyakan naik motor atau mobil. Aku tahu hari ini akan berbeda, aku lihat Dewi turun dari bus, menjewer kerah di leher lalu mengibas-ngibaskannya, seperti orang yang sedang gerah di iklan minuman.

“Makanan telah tiba,” Echa masuk, “sedang lihat apa Pak?” ia penasaran melihatku terpaku pada pemandangan yang jauh di bawah sana.

“Enggak, cuma lihat bus aja,” jawabku.

“Bus?” Echa menyipitkan matanya, lalu mendekat untuk melihat yang kulihat, “oh itu dia!” katanya setelah melihat Dewi, “siapa namanya?”

“Dewi,” jawabku langsung.

“Dia diterima di sini juga?” Echa terlihat girang, seperti menemukan keadilan baru, kalau sebenarnya Dewi juga diterima, dia juga diterima, keduanya sama-sama bagus.

“Ya, bagian administrasi,” aku memberitahunya, meski terdengar tidak penting. Rombongan pekerja juga turun dari bus, tumpah seperti wadah bocor. Aku sampai menerka-nerka bagaimana bisa benda persegi panjang sesak itu bisa memuat segitu banyak orang. Mereka menuju ke tempat masing-masing, Dewi juga sudah masuk gedung. Aku mengalihkan pandangan setelah tak melihatnya lagi.

“Sepertinya Anda mengenalnya di kantin? Anda tampak akrab,” Echa sedikit cemburu.

“Ya, pertemuan aneh,” tiba-tiba aku ingin menuju ke suatu tempat.

“Oh mau kemana?” Echa kaget, “makanannya?”

“Aku mau menyapa Dewi dulu,” lalu tersenyum meninggalkannya.

 

Ψ

Ada empat orang yang bekerja di bagian administrasi, semua memiliki tugas yang cukup berbeda. Rudi si senior administrasi adalah pria golongan darah A yang suka ribet tapi sangat struktural, dan hasil kerjanya bisa dibilang paling rapi daripada makna kerapian itu sendiri. Ia juga punya kebiasaan aneh yang suka mengoreksi dan menata hal-hal yang tidak perlu, contohnya tumpukan fotokopi kertas folio di mejanya tertumpuk seperti kertas itu masih tersegel, tidak bernoda, dan tidak ada lipatan. Tidak ada sejentik debu di atas meja, bahkan ia selalu meletakkan gelas kopi di tempat yang sama, empat puluh senti dari wadah pensil, lima belas senti dari kotak surat.

Semua jenis berkas ia bedakan berdasarkan kepentingannya dengan tanda perbedaan warna, dan urutan penempatan dengan baris peletakan. Ia memesan lemari berkas khusus agar kertas tidak cepat menguning, menata ruangannya dengan cermat dimana beberapa benda tidak boleh terkena sinar matahari agar tidak rusak, dan beberapa ia jauhkan dengan AC agar tidak berjamur. Ia juga yang mengatur pencahayaan ruangan agar mata tidak gampang minus, hingga kursi agar tidak merusak tulang ekor, dia juga yang memilih produk air minum tertentu yang baik untuk ginjal dan semacamnya.  

Pikirannya tidak pernah bisa diam, bila rehat dari mengetik ia akan memikirkan sesuatu seperti, ‘teman-teman, kalian tahu gak sih kalau warna gorden bisa memengaruhi konsentrasi?’ atau ‘kira-kira dimana ya posisi sampah yang pas, kalau diletakkan di samping pintu seperti itu, orang keluar dan masuk langsung berhadapan dengan tempat sampah,’ hingga, ‘gimana kalau kita sepakat pakai sepatu tertentu yang tidak gampang bikin kaki gerah?’ Kasihan sekali Dewi harus terperangkap bersama orang macam Rudi.

Setiap ruang kerja dibatasi dinding setengah tembok, setengah kaca, lebih tepatnya bagian bawah tembok, bagian atas kaca. Saat tiba di ruang administrasi aku lihat Rudi memperbaiki kartu nama Dewi, bahkan terlihat mengalungkannya seperti mengalungkan medali pada atlet. Dewi tersenyum malu, dan Rudi kelihatan sok gagah, ah andai saja setiap ruangan tidak kedap suara. Seseorang dari ruangan administrasi membukakan pintu untukku setelah tahu aku ada di depan. Dengan senyum pendek aku menyapa ruangan agak sempit paling rapi yang sekarang berisi lima orang itu.

“Hai,” aku menyapa Dewi.

“Oh Pak, selamat pagi,” Dewi membungkuk ceria. Aku mengirimkan kode tatapan pada Rudi, bruh kau habis ngapain?

“Ah,” Rudi nyambung, “saya habis membantunya memakai kartu nama dengan benar.”

“Sampai sejauh itu?” aku mengejek.

“Iya, soalnya dari tadi terbalik terus, pemakaian yang tidak simetris memang bisa membuat kartu nama gampang terbalik, ya kan Dew?” Rudi mengoceh, Dewi mengangguk sambil berterima kasih. Aku mual.

“Semoga kau kerasan bersama dia, dia sedikit punya gangguan,” aku menggoda.

“Gausah khawatir Dewi, nanti kalau terbalik lagi, aku bantu betulin,” sambung Rudi. Mendengar Rudi menggodanya aku jadi sakit perut.

Tiba-tiba aku tak tahu harus bicara apa lagi, selama aku hidup pikiranku tak pernah sekosong ini. Nilai ujian bahasaku sangat tinggi, tapi aku benar-benar sudah kehilangan kosa kata. Suasana jadi semakin ganjil, apalagi semua orang menatapku dan menungguku untuk mengatakan sesuatu. Aku hampir pamit hingga;

Lihat selengkapnya