“Ngerasa gak sih, kalau hidungnya dia tuh kayak gimana gitu, kayak bukan aslinya, operasi kali dia ya?”
“Ya, biarin, dia mah ada duit,” sahut Indah, “lah elu, cuma punya mulut buat gosip.”
“Gak hanya hidungnya ya! please dagunya, bibirnya, ujung mata, semuanya direnovasi, kayak kampung kumuh terus jadi mall,” sambung Gina.
“Udah lah emang dia cantik aja, kalian jealous,” Sinta menanggapi.
“Oh kasihan Dewi Sinta, Rama telah mencampakkanmu ya?” Indah mengejek. Semua tertawa.
Di samping pintu yang tertutup, pintu yang menjadi sekat obrolan orang yang bergosip itu, Echa berdiri dengan mata memandang kekosongan. Ia sangat ingin murka, tapi ia menahan diri agar bisa mendengar percakapan mereka sampai usai. Aku tanya pada Echa, kenapa dia di sini, dia hanya memberiku kode untuk diam dan mendengarkan. Aku berusaha membawanya menjauh dari lubang neraka yang penuh iblis itu, tapi Echa tetap ingin tinggal untuk menuntaskan rasa penasarannya. Setiap orang merasa, selalu ingin bisa mendengar gunjingan orang lain terhadap diri sendiri, padahal tidak ada manfaat dari semua itu kecuali melukai diri sendiri. Aku tak punya pilihan, selain berdiri bersamanya di samping pintu, ikut mendengarkan.
Aku tak tahu, kalau misalnya sekarang aku Roh Pemandu, pasti aku sudah berusaha membuat Echa enyah dari sana, seperti Roh Pemandunya yang terlihat rempong saat ini. Tapi sejak jadi manusia, seluruh organ dan indera perasaku selalu ingin terperosok pada hal-hal yang membuat pikiran gelap dan hati gundah. Seakan aku sendiri memang menginginkannya. Entah apakah ini adalah sifat naluri manusia, atau hanya terjadi pada diriku yang baru saja?
“Sebenarnya, aku juga sakit hati sih, tapi ya emang gak pernah anggap godaan Pak CEO serius, jadi ya lumayan lah, gak sampek patah hatiku,” pengakuan Sinta membuat seisi ruangan berdecak kagum.
“Gini nih ya, aku jadi kasihan sama orang yang pinter guys,” Bertha menyela, “kalian udah lihat kan buktinya, dengan mata kepala sendiri, pada akhirnya bantuan orang dalam lah yang paling ampuh, kalau gak gitu ya nyogok!”
“Ih di mana-mana juga gitu gak sih, sekarang tuh jarang banget diuji sesuai talenta, pokonya kamu punya duit, good looking, atau orang dalam, udah itu aja cukup. Justru belajar buat persiapan tes lah apa lah, berusaha lolos lah apa lah, semua itu tidak berguna kecuali buat orang idealis keras kepala yang buta pada realita,” Indah nyerocos.
“Iya,” Bertha menimpali, “emang itu kok kenyataannya.”
“Kayak kasusnya Si Dewi anak administrasi tuh ya,” Gina menanggapi, “dia cuma punya pintar aja, gak punya duit, gak punya orang dalam, ya gitu deh nasibnya, mendekam di penjara di bawah naungan Rudi orang freak itu!”
Seisi ruangan tertawa.
“Omong-omong soal Rudi,” Yuda tiba-tiba gabung ngobrol, “betul-betul sial sih kalau punya team lead kayak dia. Bisa pergi ke psikiater aku seminggu sekali kalau kerja sama dia.”
“Iya-iya,” Gina dengan girang menanggapi Yuda, “Dana aja yang dulunya cowok biasa sekarang jadi banci gara-gara kerja sama Rudi.”
Mereka tertawa lagi.
“Kalau Dana aja bisa jadi banci, Si Dewi nanti jadi apa ya?” Jeni baru berkomentar, “I mean dia aja sekarang kagak ada yang bisa dilihat.”
“Ha ha ha,” Lala menyambung, “ya jadi orang lah guys, masa jadi topeng monyet.”
Tertawa lagi, kenapa semua bisa tertawa pada hal yang tidak lucu.
“Sebentar lagi nikah dong Pak CEO,” Sinta mengalihkan pembicaraan.
“Lu yang sabar ya Sin,” Bertha memekik sambil tertawa, “tuh Si Rudi available.”
“No thanks,” jawab Sinta kecut.
“Padahal gue lebih seksi dari Echa,” Jeni menggombal. Semua ikut mencemooh, “seksi aja gak mempan loh guys harus punya orang dalam juga buat menaklukkan Pak CEO.”
Aku tidak betah, aku mau masuk ruangan itu, tapi Echa mencegahku. Ia memberiku tatapan dengan isyarat, ‘biar aku saja yang menyelesaikan obrolan jamban ini.’ Aku mengangguk pada Echa. Untuk saat-saat tertentu, apalagi balas dendam, wanita kebanyakan lebih ahli.
“Permisi,” Echa masuk, dan semua terlihat beku seperti mumi yang sudah berabad-abad diformalin, “ah kenapa kok kalian kaget gitu, maaf ya!” kata Echa dengan kesantaian yang menusuk.
“Oh tidak Bu, tidak apa-apa,” Bertha menanggapi.