Roh Pemandu dan Jiwa Tujuh Bersaudari

Putriyana Asmarani
Chapter #10

Yang Tidak Bisa Kau Lihat Belum Tentu Tidak Terjadi

Masa itu akan datang dalam hidup, pada suatu hari yang tidak kau inginkan, pada saat kau telah sedikit mengerti tentang kehidupan dan mencoba mencari kedamaian, ia akan datang sebagai sebuah pertanyaan yang bisa membuat seluruh pikiran kacau balau. Ia punya kaki dan lari lebih cepat dari anjing, ia bisa mengejarmu, mengendusmu, dan mengekor kemana pun kau pergi. Saat pertanyaan itu berhasil menerkammu, kau bisa auto rabies.

“Kapan kau nikah sama Echa?” tanya Papa. Pertanyaan semacam ini bisa membuatku rabies secara psikologis.

Beberapa bulan ini, aku jarang bertemu mama. Sesekali kami bertemu, mama terlihat sangat kurus, dari pancaran wajahnya, ia kurus bukan karena diet, tapi belenggu yang menahan pikirannya. Mama juga banyak diam, biasanya ia paling cerewet dan suka membentak. Rasa masakannya mulai sedikit hambar, lekuk matanya terlihat kelelahan. Apa aku sudah membuat mama jadi seperti itu?

“Aku belum membicarakan itu dengan Echa Pa,” jawabku.

“Ya bicarakan! Ngapain aja kalian selama ini?” Papa mendelik.

“Ya kerja Pa,” aku menyangkal, tentu saja kita berdua sibuk.

“Pokoknya kamu jangan bikin malu, jangan buat Echa menunggu atau sampek papanya tanya ke aku, mengerti?”

Aku menjawabnya dengan mengangguk. Aku merasa akhir-akhir ini hidupku berubah, menuju jalan yang lebih pucat dan suram. Ingatan tentang aksi protesku dulu membuat aku merasakan yang lebih buruk lagi. Ku pikir, misiku selesai setelah akhirnya membantu Dewi mendapatkan pekerjaan, tapi sebagai manusia aku juga punya masalah sendiri, masalah yang aku tidak bisa lari daripadanya, dan tidak bisa serta-merta musnah dengan cara menghardik semesta. Di sisi lain dalam diriku, aku merasa aku sedang terjebak dalam permasalahan hidup Haidar, di sisi lainnya, aku merasa ini adalah sesuatu yang wajib kujalani sebagai manusia.

Menggunakan ingatan Haidar, keluarga juga berubah. Papa memang tegas, tapi kami sering bercanda, lalu biasanya mama ikut tertawa terbahak. Sekarang aku tidak bisa berlama-lama dengan papa, dan segala yang kami bicarakan selalu pada akhirnya menyulut pertengkaran. Mama sejatinya adalah pendiam dan pendengar yang baik bagi orang lain, tapi tampaknya ia bukan pendengar yang baik bagi dirinya sendiri. Mama adalah tipe orang yang menyimpan segalanya dalam kesunyian, kemudian jatuh sakit karena tersiksa oleh pikirannya sendiri.

Echa juga berubah, sedikit demi sedikit, ia kehilangan keceriaan. Ia memang sering mengatakan padaku untuk tidak khawatir padanya soal gosip di kantor, tapi itu jadi kebohongan terbesarnya. Omongan orang adalah racun yang ia telan setiap hari, sehingga entah kapan rancun itu bisa jadi akan membuat semangat hidupnya terbunuh. Meski luwes ia adalah orang yang santai. Sekarang ia terlalu fokus pada pekerjaan, kadang sampai sedikit fatal, yaitu mencari-cari kesalahan setiap divisi. Tidak ada yang bisa menahan seseorang untuk menampilkan jati diri dan prinsipnya, tidak ada yang bisa menghalangi seseorang yang berjuang untuk melindungi harga dirinya. Tampaknya, Echa ingin orang segan padanya, ia ingin bisa menang adu argumen, agar orang mulai tercerahkan kalau ia masuk di perusahaan dengan wajar.

Seperti keprihatinan Ray, terlalu sayang bila Dewi ditempatkan di posisinya saat ini. Meski ia mencoba mengomentari beberapa dokumen, dan berusaha melatih cara analisis, Dewi merasa hal itu jadi tak penting. Meski pun ia punya solusi, tugasnya hanya mengetik, solusinya takkan terdengar. Jadi buah pikirannya malah akan terdengar seperti komentar kritik yang tidak berguna atau omong kosong yang sedikit cerdas. Dewi jadi pendiam, di meja kerjanya ia duduk dari datang hingga pulang, ia hanya berdiri untuk makan siang. Dia seperti mesin yang diciptakan tanpa kecerdasan buatan.

Lalu orang-orang mulai membicarakan Dewi, sepertinya selamanya mereka akan berbela sungkawa, mereka telah menyaksikan kejadian bersejarah sepanjang masa post modern bagaimana talenta sudah tidak berguna. Rudi sebenarnya ingin mengajukan Dewi ke tempat yang semestinya, tapi divisi lain sedang tidak membutuhkan tambahan tim, meski bahkan divisi Rudi sendiri juga tidak membutuhkannya. Dewi seperti sampah yang terlunta-lunta di tengah jalan, tak punya tempat yang tepat untuk mewadahi dirinya. Semakin besar empati para karyawan pada Dewi, semakin besar pula kebencian mereka pada Echa, apalagi sekarang Echa semakin semena-mena.

Echa selalu menunjukkan kinerja yang baik dan objektif, bila ada divisi yang bermasalah, ia akan segera lapor. Hanya saja ini jadi sedikit berlebihan. Sebenarnya bukan itu tugas Echa, ia seharusnya lebih fokus pada relasi dalam dan luar negeri, merawat hubungan komunikasi dengan klien, atau urusan lain selain rumah tangga perusahaan. Tapi sekarang, ia sudah hampir mengurangi beban kerja tim personalia. Bila kebetulan tim pemasaran melakukan kesalahan, Echa akan langsung menanganinya sendiri, dan dalam beberapa poin, ia menggendutkan masalah itu. Orang selalu berpikir, menyudutkan orang adalah tindakan elegan untuk membalas dendam, tapi itu hanya akan memberikan kepuasan pendek, dan orang yang tersudutkan itu jumlahnya cukup banyak, mereka akan semakin membenci Echa. Jadi sebelum benar-benar menikah, aku sering menenangkan Echa untuk tidak menggubris omongan orang dan sedikit mengurangi keikutcampurannya.

“Echa mungkin ada baiknya kalau kamu nemu masalah, mending kamu kasih aja sama tim personalia,” kataku saat makan malam dengannya.

“Kau sudah ratusan kali bilang seperti itu,” ucapnya, bila tidak di kantor, tentu saja aku kekasihnya, bukan CEO-nya jadi ia memanggil ‘kau’.

“Soal itu,” aku tidak mau berhenti menasehatinya kecuali kalau ia mau mengalah, “omongan orang gak usah dipikirin, mereka gak kasih kamu uang, makan, dan tempat tinggal. Kamu gak bergantung pada mereka, jadi gak usah peduli omongan orang.”

“Tidak peduli?” tatapannya menyipit, “aku juga maunya gitu, aku mau jadi orang cuek yang sabar, aku udah coba untuk diam saat mereka terus-terusan gitu, aku udah berusaha melupakan cara mereka gosipin aku, tapi aku gak bisa lupa itu.”

“Iya aku paham,” aku sudah tidak bisa menemukan kata lain.

“Kalau kamu paham harusnya kamu mengerti, melupakan itu gak mudah, ingatan itu gak seringan goresan pensil yang bisa hilang pakek penghapus. Omongan orang juga bukan semacam audio MP3 yang bisa dihapus di kepala, Gak sesimple itu.”

Ada di saat-saat tertentu, nasehat tidak berguna. Satu-satunya hal yang bisa kau bantu dalam situasi ini adalah diam atau memeluknya. Kalau ada yang ingin kau katakan, seharusnya itu adalah, ‘semua akan baik-baik saja.’ Jadi aku meraih tangannya, menggeser kursiku sehingga lengan kanannya dan lengan kiriku saling menempel. Aku tak mengatakan semua akan baik-baik saja tapi;

“Apapun yang dikatakan mereka, seburuk apapun itu, itu bukan Echa yang sebenarnya,” lalu aku meraih jemarinya. Entah kapan aku punya keahlian romantis seperti ini padahal aku tak pernah nonton TV.

Echa mengangguk, dan bara api di dalam matanya meredup. Sebenarnya masih banyak yang ingin kukatakan, seperti kita akan hidup bersama, menangkal segala yang menyerang kita. Kita sudah terlalu kuat daripada harus membuat orang-orang itu mengakui kita. Kita tidak butuh itu. Tapi yang keluar malah;

“Aku mencintaimu, semoga itu bisa lebih dari cukup.”

Kedua matanya terbangun, semburan cahaya memenuhi ruang-ruang duka di setiap sudutnya, seperti kunang-kunang yang bangun setelah senja menjelang. Ia tersenyum padaku, sambil mengangguk ringan, senyum kembali terbit di wajahnya.

 

Ψ

Hujan memang tak punya waktu tertentu, ia bisa datang sesuka hati. Tapi aku yakin kau pernah merasa kalau hujan di musim hujan selalu turun dan deras di waktu yang sama. Rintik hujan jatuh pukul lima sore lalu deras pukul enam sampai tujuh, kadang sampai pukul sembilan malam. Selalu di jam krisis dimana karyawan pulang. Kali ini Rudi tidak boleh mendahuluiku. Lagi pula aku tak setuju Dewi dengannya, dia terlalu higienis. Dipikir-pikir, aku nampaknya juga tak setuju bila Dewi bersama selain Rudi, entah apakah aku ini cemburu, atau bersikap aneh karena aku adalah mantan Roh Pemandunya.

“Ini pakek,” kataku di ambang pintu. Dewi terlonjak kaget, seperti karyawan usil yang tertangkap basah, atau entahlah, kebanyakan karyawan biasa selalu kaget bila aku muncul tiba-tiba. Apakah aku ini semacam bencana alam?

Dewi menggeleng, sambil melambai dengan tangannya, menolak dengan sopan, “saya baik-baik saja Pak.”

“Gajimu gak cukup apa buat beli payung?” kataku sok santai, Dewi malu-malu, aku terlalu berpikiran pendek karena mengatakan itu, meski harga payung di bawah lima puluh ribu, ia punya hutang, dan uang sesedikit apapun nilainya, ia sangat berharga.

“Pak?” tiba-tiba Echa muncul dari arah yang berlawanan. Entah mengapa bila Echa melihat aku dan Dewi, rasanya seluruh tubuhku bergetar, dan seluruh semesta sedang tidak imbang.

“Eh, habis darimana?” tanyaku, lebih tepatnya ‘kok kamu ada di sini sih?’

“Habis beli kudapan,” Echa menjinjing kotak makanan ringan, dengan mata menginterogasi. “Bapak sendiri?” ulanginya lalu menatap Dewi.

“Ah, aku cuma mau minjemin payungku ke dia,” alibiku semoga terdengar mulus di telinganya.

“Nih pakek aja payungku,” Echa menyodorkan payungnya, “sekalian basah, aku juga habis dari luar,” imbuhnya.

“Tidak terima kasih,” Dewi menolak dengan halus tapi dingin, tentu saja ia ingat kandidat nomor tujuh yang merebut posisinya.

“Gakpapa pakek aja, gausah dikembalikan,” kata Echa sedikit sinis dan keras kepala, tampaknya ia juga merasa tidak nyaman dengan Dewi.

“Gakpapa Echa, biar dia pakek punyaku aja, aku punya banyak payung,” aku menengahi.

 Tiba-tiba Rudi muncul dari pintu lift. Lalu kikuk melihat aku dan Echa menyodorkan payung pada Dewi. Rudi dengan tangan hampa yang kurasa dia pasti akan mengajak Dewi bermain di bawah hujan,membuatku ingin meninjunya karena itu bisa bikin Dewi sakit. Tapi dengan gesit dia mengambil payungku dan payung Echa.

“Terima kasih Pak, terima kasih Bu, semoga kalian berdua diberkati, sampai jumpa,” katanya girang, ia memberi payung Echa pada Dewi, dan memakai payungku untuk dirinya sendiri. Ia meraih tangan Dewi lalu mengajaknya pulang. Bajingan satu ini.

Aku dan Echa membiarkan payung kami ludes dirampok dua sejoli itu yang kini sudah menghilang dari jarak pandang. Kami masih melongo, hingga kemudian Echa menatap sinis padaku.

“Kenapa?” aku gugup.

“Ngobrol yuk, sambil makan,” ajak Echa. Aku patuh seperti anak angkat pada ibu tirinya. Aku pasti dapat masalah.

“Kamu kayaknya deket ya sama dia?” singgung Echa setelah duduk dan meletakkan bawaannya di atas meja.

“Sama siapa?” adalah aku yang pura-pura bodoh.

“Si cewek Mi Sedap!” Echa mendesak. Aku akan menjelaskan, tapi setelah tahu aku akan bicara, dia malah menyerobot, “kenapa?”

“Cuma sebatas itu kok Cha!” aku meredakan amarahnya.

“Itu-itu apa? Absurd!” gerutu Echa.

“Ya itu, cuma sebatas Mi Sedap,” Echa berhenti menatap makanan lalu melihatku dengan seksama. Aku menelan ludah, seperti perampok bodoh yang tidak bisa berbohong di depan detektif.

“Terus kenapa kau kasih dia payung tadi? Kenapa kau gak kasih dia Mi Sedap?”

“Karena aku udah mengembalikan Mi Sedapnya, dan tadi dia butuh payung!”

“Kan! Berarti ada yang lebih dari Mi Sedap!”

“Itu cuma payung Cha!”

“Emangnya apa sih Mi Sedap ini? Udah deh kamu gak usah nyangkal!”

“Kalau aku gak sayang kamu tentunya aku gak nyangkal, aku membela diri karena itu gak benar!” kataku tiba-tiba. Ajaibnya, pipi Echa memerah, dia luluh. Meski begitu, Echa tampak punya sesuatu yang masih ingin ia katakan, jadi aku menunggu.

 “Kau tampak peduli sama dia,” suara Echa merendah, dalam sekali, “apa kau merasa bersalah karena aku mengambil posisinya?”

Aku tertegun, mungkin itu benar. Tapi aku tak mau Echa percaya itu.

“Enggak kok,” aku berusaha santai, “kayak gini misalnya, bila kebetulan kamu lihat kucing liar kehujanan dan kedinginan di luar, apa yang akan kau lakukan?”

“Membantunya,” jawaban Echa dengan bergumam.

“Nah, itu maksudku,” lalu ia tertawa terbahak.

“Kucing liar,” kata Echa lagi terbahak, dia mungkin senang mendengar kata panggilan baru untuk perempuan yang baru saja membuatnya cemburu, “kayaknya yang cowok tadi suka deh sama dia,” tambah Echa padahal tawanya belum berhenti.

“Begitukah?”

“Iya banget, cowok itu gak mungkin kayak gitu kalau gak ada apa-apanya,” kata Echa, benar juga, dan aku sedikit tercengang.

“Cocok gak sih menurutmu?” ah aku tak tahu mengapa harus kepo begini.

“Cocok sih,” jawab Echa langsung, “Rudi kan namanya? Ketua divisi administrasi?” aku mengangguk, “dia tangkas, termasuk waktu menarik tangan yang cewek, ha ha, gak semua laki-laki bisa segesit itu tahu, apalagi peka pada situasi.”

“Apaan sih kamu ini?” aku nyeletuk, “kayak analis hubungan aja!”

“Kalau ada pekerjaan kayak gitu, asik kali ya?”

Kemudian aku berbincang pada Echa, meski hujan semakin memburu, dan pekerjaan seakan tiada usainya, meski kami berdua asik mengobrol dengan penuh cinta. Pikiranku masih terfokus pada kemana Rudi membawa Dewi. Sedangkan pada Echa, menanggapi guyonannya hanyalah selingan semata. Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku tidak bisa fokus pada satu cinta? Apakah tanpa sadar aku jadi mata keranjang?

 

Ψ

Sekarang Ray lebih banyak bertugas menemani Dewi, aku yang meminta dia seperti itu, agar aku bisa fokus menemani Echa. Jadi setiap malam, saat Dewi tidur Ray baru pulang menemuiku lalu kita ngobrol seperti seorang suami dan mata-mata suruhan yang bertugas untuk mengawasi selingkuhan. Seperti biasa Ray cerita apa adanya, juga perasaannya yang selalu berpikir bahwa aku perlu hati-hati dan semacamnya.

“Kalau aku sih, daripada Dewi sama kamu, mending sama Rudi aja!”

“Kenapa!” aku melotot, tak menyangka dia membandingkanku dengan orang freak higienis macam Rudi.

“Kau gak bisa peduli orang lain dengan mengawasinya dari jauh begini, kau perlu ada untuk dia, rasa peduli aja gak cukup buat orang merasa lebih baik Haid!” Ray ngotot. Benar juga.

“Emangnya mereka ngapain aja barusan? Rudi juga cuma sebatas ada dikala hujan doang!”

“Eh!” Ray terhenyak, ia meremehkanku, “yang tidak bisa kau lihat belum tentu tidak terjadi.”

Lihat selengkapnya