“Aku heran sama Yuli,” diskusiku pada Ray pada suatu hari, “kenapa dia memberiku nomor teleponnya tapi dia tidak pernah belas pesan atau angkat telpon?” dengusku kesal, “terus ngapain dia ngasih aku nomornya?”
“Kamu kirim pesan apa ke dia?” tanya Ray.
“Kabar dan semacamnya!” Sentakku, Ray membuang napas panjang.
“Terus kamu butuh balasan apa?”
“Ya setidaknya dia balas.”
“Semakin sulit hidup, semakin terluka seseorang untuk menjawab pertanyaan apa kabar,” papar Ray.
“Aku paham, aku cuma ingin cek apakah dia baik-baik saja!” aku menyangkal.
“Kenapa kau cek apakah dia baik-baik saja? Padahal kamu kan tahu dia gak sedang baik-baik aja Haid,” Ray kesal, dia pasti hampir putus asa karena kebodohanku ini.
“Haruskah aku ke rumahnya?”
“Mungkin seharusnya begitu, tapi kenapa kamu tiba-tiba ingin ke rumahnya?”
“Perasaanku tidak enak, sudah beberapa bulan ini aku tak dengar kabarnya.”
Kalau mendengar dari Yuli kemarin tentang bagaimana segalanya telah berubah, keluarga, tetangga, sahabat, dan semuanya, tampaknya Yuli pulang ke rumah sejak dia resign. Kalau seandainya sekarang dia sedang menyendiri di suatu tempat, tentu ia takkan terus menyebut betapa malu orang tua dan tetangganya. Saat itu juga aku mencari data pribadi Yuli yang ia kirim saat melamar kerja dulu sekali. Kita juga sempat ngobrol soal Yuli asal mana atau lahir di mana, saat liburan dia selalu pulang dan membagi-bagikan makanan khas dari daerahnya. Menemukan informasi alamatnya tidak sulit, pergi ke rumahnya juga tidak sulit, kenapa aku sering menunda waktu untuk mengunjunginya? Meski Yuli bersikukuh agar aku bisa meninggalkannya sendiri, aku merasa justru saat itu lah aku tidak boleh meninggalkannya.
Hujan membuat lalu lintas melambat, genangan air tenang terlihat mengerikan. Di masa depan, kota ini mungkin benar-benar akan jadi Atlantis. Mobil dan sepeda mogok berkali-kali minta ruang lewat di jalan agar bisa menepi. Jalanan tidak akan pernah sepi dan bila ada satu motor saja yang mogok maka seluruh aktivitas di jalan itu akan berhenti. Beberapa kali aku bersabar, menasehati diri sendiri untuk menikmati situasi mogok di kala hujan ini, tapi aku tidak bisa. Di depanku ada mobil penggiling semen, dan karena mobilku pendek, aku langsung menghadap pantat mobil ini, tidak ada yang bisa dinikmati kalau di depan mata ada mesin raksasa berkarat dengan bau oli itu.
Memasuki daerah tempat tinggal Yuli lebih buruk, banyak lelaki tua menuntun sepeda kuno dengan gerobak anyaman bambu basah kuyup di tengah hujan dihardik oleh sopir-sopir kendaraan besar. Para sopir itu kebanyakan menyuruhnya menepi agar tidak menghalangi gerak mereka yang akan kebut-kebutan. Aku hampir memekik pada para sopir tolol itu, kau suruh menepi ke mana lagi dia? Ke jurang? Tidak ada ruang untuk pejalan kaki, tidak pula ada ruang untuk mereka yang tersingkir oleh kendaraan besar di tengah jalan.
Banyak sekali orang-orang yang sudah tua, menuntun atau mengayuh sepeda sambil membawa tumpukan kardus atau sampah untuk dikilokan. Ada juga mereka yang membawa bertundun-tundun pisang, sukun, atau labu di gerobak anyaman bambunya, mereka semua tersingkirkan. Hingga aku menemukan kejadian ini, mobil pick up yang tidak sabaran mungkin tidak sengaja menyenggol orang tua yang menuntun sepeda dengan tumpukan kardus, sepeda, dan tumpukan kardusnya oleng seperti gunung ambruk menimpa orang tua itu. Beberapa orang bergerak menolongnya. Tapi apakah kau tahu apa yang dilakukan sopir pick up itu selanjutnya? Dia malah menghardik Pak Tua itu, katanya dia telah menghalangi jalan. Sedangkan agar sepeda dan kardusnya imbang, dia harus lewat tubuh jalan.
Pak Tua membiarkan kardusnya, dia sudah bungkuk tapi dia harus membungkuk lagi beberapa kali untuk minta maaf pada sopir pick up, biasanya orang miskin paling takut bermasalah dengan orang kaya. Si Sopir sudah berhasil menyingkirkannya di jalan itu, alih-alih minta maaf dia mengucapkan sumpah serapah seperti, ‘matamu buta,’ ‘tua bangka bau’, ‘goblok,’ dan semacamnya. Sambil sedikit pincang dia menata kardusnya kembali di atas sepeda, tangannya gemetar dideru lelah dan hujan, kardus-kardus layu dan lapuk, entah apakah bisa dijual lagi. Sepedanya kembali bangkit, gunung telah kembali ajek, dia berusaha menghindari punggung jalan, berjalan pincang, terseok-seok, dan kesusahan menarik sepedanya dari jalanan berbatu yang terjal. Di depannya ada pohon besar yang akan menghalangi jalannya dan pasti dia akan kesulitan menaikkan sepedanya di punggung jalan.
Orang sering mengatakan, hidup di jalanan itu keras, itu sudah biasa. Tidak ini tidak boleh dibiasakan. Hidup tak perlu sekeras ini bila orang-orang itu paham. Orang juga mengira bahwa hidup di jalanan adalah cermin kehidupan itu sendiri, kau harus melihat orang-orang menderita agar bisa bersyukur. Aku tak mau belajar bersyukur dari sini. Aku tak mau menunggu melihat orang lain lebih menderita daripada aku untuk bersyukur. Orang miskin ada bukan untuk membuat semesta ini seimbang, orang miskin ada karena ada orang jahat yang semena-mena dan orang baik yang malah bersyukur untuk membandingkan kondisinya.
“Kau juga lihat sendiri semua yang terjadi di jalanan ini saat Dewi naik angkutan umum kan?” tanya Ray membunuh waktu macet.
“Iya, seorang ibu yang menggendong anak bayinya pergi ke luar kota naik bus, nenek-nenek lamban bau balsam dan tuli dihardik kernet karena dia tidak tahu turun di mana, lelaki muda pakai seragam hitam putih yang menangis karena tes CPNS-nya tidak lancar, bapak-bapak bermandi keringat yang perutnya keroncongan, hingga anak SMP lugu yang menangis karena kenek dan sopir menggodanya. Kadang ada sopir baik-baik juga yang berdoa sebelum menjalankan kendaraan, matanya merah kelelahan tapi terbuka lebar saat menyetir, banyak juga sopir ugal-ugalan.”
“Filosofi lalu lintas,” kata Ray.
“Hidup ini tidak mudah, dan berani untuk ambil keputusan terus hidup adalah keberanian itu sendiri.”
“Berarti Dewi yang bunuh diri itu, dia pengecut?” Ray meledek.
“Entahlah, hidupnya memang sulit, kalau aku jadi dia saat itu, mungkin aku akan mati juga.”
“Dasar gak konsisten!” Ray mengejek.
“Karena pelajaran hidup itu sendiri ya gak ada yang konsisten Ray, kau perlu berubah pikiran untuk mempertimbangkan yang lebih baik.”
“Gausah ngajari aku,” Ray tertawa, tampaknya dia sedikit bangga padaku.
Semakin keluar dari jalan besar, semakin kami tiba di jalanan yang lebih kumuh. Rumah Yuli ada di suatu dusun yang membutuhkan waktu sepuluh menit dari desa untuk menuju ke sana. Kanan kiri adalah sawah padi yang ujung-ujungnya nun jauh di sana tersekat rerimbun bambu, dan tersekat dengan ladang-ladang tebu yang dari jauh seakan sedang mencium langit. Butuh lima jam untuk sampai di tempat Yuli, itu berarti hari sudah siang, tapi cuaca mendung membuat desa semakin memesona. Suara gaduh serangga, burung, bau tanah yang tidak bercampur oli, tarian daun-daun basah, hingga bunga-bunga yang tumbuh di depan rumah, membuat tempat ini berbeda dengan bumi yang kotor dan penuh polusi.
Anak-anak kecil laki-laki dan perempuan mengarak mobilku seperti sedang menyoraki ondel-ondel. Mungkin mereka bertingkah karena warna mobilku mencolok segar dibandingkan dengan mobil-mobil tua karatan yang mangkrak di pinggir-pinggir jalan. Ibu-ibu di depan rumah yang sibuk menilik kutu rambut, ikut heboh menggosip sambil menunjuk mobilku, dari raut wajah mereka aku bisa membaca mereka pasti sedang bertanya aku ini siapa dan mengapa ada orang tajir lewat sini? Jadi untuk menjaga sopan santun, aku turun dari mobil.
Pertama turun, aku langsung menunduk sambil menyapa mereka, tapi siapa sangka ternyata kakiku masuk kubangan lumpur jalanan yang tidak beraspal. Aku hampir jatuh tengkurap, tapi untungnya aku berpegang pada pintu mobil sehingga tidak masuk parit. Anak-anak kecil menertawaiku. Ah, sakitnya tidak seberapa, tapi malunya sudah hampir membuatku ingin operasi plastik saja.
“Mau kemana Cah ganteng?” Cah adalah anak atau mas, sapa mereka.