Roh Pemandu dan Jiwa Tujuh Bersaudari

Putriyana Asmarani
Chapter #12

Mawar di Ladang Orang

Kalau kau tak menanam mawar, kalau kau bahkan tak punya mawar, kau hanya boleh menikmati keindahannya dari luar jangkauanmu. Kalau kau masuk ladang mawar milik orang lain lalu memetiknya, kau adalah pencuri, meski harga mawar satu tangkai hanya lima ribu rupiah, meski tanpa mencuri kau bisa beli mawar ecer di toko bunga, meski harganya tak seberapa, setangkai mawar itu bukan milikmu. Kalau kau tidak menanam dan merawat bunga itu, bila bunga itu mekar lalu kau memetiknya, tetap saja kau adalah pencuri. Aku yakin ada banyak mawar di hati Rudi, tapi ada satu mawar yang tumbuh dan ia rawat di ladangnya, aku sangat tertarik bukan untuk memetiknya, tapi ikut merawatnya juga. Sayangnya tidak semua tukang kebun suka orang ikut campur untuk merawat apa yang mereka tanam.

Rudi takkan mengizinkanku memasuki ladangnya. Itu tidak akan mungkin, melihatku mendekat ke ladangnya saja ia pasti akan mengusirku seperti pada ayam, ular, atau musang. Meski aku kemudian maujud jin baik, atau peri alam yang bisa menyuburkan tanahnya, dia tetap akan mengusirku. Tidak ada gerbang di dunia ini yang sangat ketat dan tertutup kalau bukan gerbang di hati setiap orang.

“Rudi nembak Dewi,” Ray lunglai di atas lantai, ia tampak marah dan kesal, seperti seorang ibu yang incaran menantunya diambil orang lain.

“Aku tahu itu bakal terjadi,” jawabku letih.

“Kau tidak mencintainya?”

“Apa aku berhak mencintainya?

“Kenapa kau berpikir begitu? Apakah sekarang kau milik Echa seperti selembar sertifikat tanah?” dagu Ray terangkat.

“Iya, kita pacaran!”

“Kau pernah mengungkapkan perasaanmu padanya?”

“Tidak pernah,” jawabku langsung, lalu mengacak-acak rambut sendiri.

“Kenapa kau tak pernah menembaknya?” Ray menguji. Tapi sebelum aku memberi jawaban dia menjawab pertanyaannya sendiri, “selama ini kau cuma menggombal istriku lah, istri idaman lah, tapi kau tak pernah sungguh-sungguh bilang aku mencintaimu, maukah kau jadi pacar atau maukah kau menikah denganku atau semacamnya,” derunya protes.

“Aku sering kok bilang aku mencintainya,” aku menyanggah.

“Itu aja gak cukup, kamu harus kasih tahu next kamu mau ngapain.”

“Gak perlu seperti itu kok, dia pasti paham lah.”

“Enggak!” Ray hampir menekan suaranya agar cukup keras sehingga aku bisa mengerti maksudnya, “karena kau ragu! Kau masih gamang, terlalu khawatir membayangkan masa depan bersamanya.”

Setelah hening beberapa saat aku mencoba mengatakan semuanya pada Ray.

“Gimana aku bisa menikahi Echa? Posisinya di perusahaan, papanya dan papaku pada Yuli, gimana aku bisa menikahi Echa?”        

“Semua terserah dan tergantung padamu,” suara Ray tegas.

“Aku bisa terserah kalau ada pilihan, tapi aku tak punya pilihan, mau melakukan pilihanku tapi terserah saja tidak punya,” tiba-tiba wajah Dewi terpampang di pikiranku seperti proyektor rusak, “apakah Dewi menerima cinta Rudi?”

“Ah itu terlalu dramatis!”

“Maksudnya?”

“Dewi bilang dia butuh waktu,” kata Ray, aku sedikit lega. “Tapi kemudian jurus gombal amber dari mulut Rudi itu, katanya satu menit berasa ratusan tahun, dia bisa mati penasaran, dia bakal puasa tidak makan sampai Dewi memberi jawaban, dia takkan minum, takkan bicara sampai Dewi memutuskan. Lalu dia juga menambahkan kalau misalnya Dewi memilih menolaknya, dia bakal kehilangan alasan untuk hidup. Ah, aku sampai geli,” tubuh Ray begidik. “Dia mencintai Dewi seperti sedang menyembah berhala.”

“Itu terdengar mengerikan.”

“Yang lebih mengerikan lagi,” Ray menyudutkan diri di pojok ruangan, “semua orang yang sedang dimabuk cinta merasa seperti itu.”

“Tapi aku tak begitu terhadap Echa, berarti perasaanku ini sehat!”

“Em, belum tentu benar juga sih, bisa jadi kau tak betul-betul mencintainya,” Ray terlihat nyengir saat aku dibuatnya diam, “kau perlu memastikannya, apakah kau mencintai Dewi, atau kau hanya merasa seperti seorang kakak yang ditinggal adiknya kawin.”

Lihat selengkapnya