Roh Pemandu dan Jiwa Tujuh Bersaudari

Putriyana Asmarani
Chapter #13

Saat yang Bungkam Berbicara

Pagi itu seisi perusahaan dihebohkan oleh kedatangan seorang paruh baya berpakaian seperti tukang jagal, membawa belati sambil menenteng foto seorang perempuan.

“Kau kenal dia? Dia anakku!” kata lelaki itu sambil menghunuskan belatinya siap menusuk pegawai resepsionis.

Seorang petugas hampir ngompol tidak tahu harus berbuat apa, ada yang mengenal wanita di foto itu, tapi mereka tidak mengaku demi mempertahankan leher mereka. Beberapa orang yang memergoki tempat kejadian membuat panggilan darurat, petugas penjaga cctv segera menuju tempat kejadian.

“Tak mungkin kalian tidak kenal! Bertahun-tahun dia kerja di sini,” ia memekik sambil berancang-ancang, meski tubuhnya bergetar karena lanjut usia, dia punya ketegasan yang kuat, cukup tegas untuk membunuh siapa saja yang tidak berhasil memuaskan pertanyaannya.

Mendengar keributan itu, aku lari lintang pukang menuruni tangga darurat karena lift entah mengapa macet, mungkin karena semua orang panik. Echa menangkapku, mengajakku kabur agar bisa selamat dan membiarkan situasi ini mereda diurusi oleh pihak yang bertugas seperti satpam, aku menolaknya. Karena aku kenal lelaki itu. Tangga darurat menuju lobi butuh waktu lama dan hampir membuat lututku copot. Echa mengikuti langkah gopohku dengan melepas sepatunya. Sedetik saja terlambat seseorang di lobi bisa terluka.

Tapi saat tiba di lobi, polisi sudah tiba juga di sana. Dengan napas ngos-ngosan Echa berteriak untuk menghentikan langkahku. Aku tidak bisa diam melihat orang itu diringkus polisi, orang yang kukenal, orang yang menderita karena kelakuan papa. Dia ayah Yuli. Bagiku dia tak lebihnya semua ayah di dunia ini yang memiliki anak perempuan.

“Berhenti Pak!” aku mencegah polisi yang dengan sigap menekuk tangan ayah Yuli. Namun, polisi tidak melepaskan tangannya demi alasan keamanan. Celuritnya jatuh saat melihatku.

“Ah kamu, kamu!” teriak ayah Yuli menangis melihatku. “Bantu aku Le,” suaranya melengking, memohon, sebuah permintaan satu-satunya yang ia punya dari kotak Pandora hidupnya.

Aku yakin papa juga mendengar keributan ini, dengan dasi awut-awutan dia datang tergesa-gesa, papa Echa juga datang. Echa langsung berlari ke papanya untuk menjauhkannya dari bahaya. Aku menatap papa lekat sekali. Dari tatapannya papa seperti telah mengutukiku, tapi aku tidak peduli pada rutukannya.

“Semua,” kataku keras, “kalian harus mengucapkan salam pada ayah Yuli, ayah dari asistenku dulu,” kataku pada semua saksi mata, tentu tidak ada yang patuh karena siapa yang mau menyapa lelaki paruh baya yang mengamuk dengan celurit?

“Bantu aku Le, siapa yang melakukan itu pada anakku? Kasihan anakku Le?” ia merintih-rintih, dan meski jantungku dibuatnya rontok, aku tak bisa menahan diri untuk mengatakan rahasia terbesar papa dan Om Reinald.

“Karsa!” papa melotot, Om Reinald tampaknya mulai paham pada situasi. Papa mengalihkan perhatian keributan ini pada polisi agar segera membawanya pergi, “tunggu apa lagi? Kenapa diam aja!” begitu bentaknya pada polisi yang mengangguk-angguk pada orang berdasi dan berjas.

“Tunggu!” aku mencegah lima polisi itu bergerak, mereka hampir menyeretnya keluar. “Saya tahu siapa pelakunya, bukan dia yang seharusnya diringkus,” seakan segalanya jadi hening, bahkan jantung berhenti berdetak agar tidak menghalangi satu dentang suara pun yang menghalangiku, “ya, saya tahu pelakunya.”

Papa kalang kabut, “ayo pergi, bawa dia pergi!” dia mungkin berpikir ingin mengalihkan situasi, tapi pernyataanku lebih menggoda semua telinga, sehingga semua menunggu.

“Kamu tahu?” ayah Yuli berteriak, dia menangis bersyukur. Aku mengangguk.

“Pelakunya papa saya dan Om Reinald,” aku menunjuk mereka berdua, mengatakan ini sangat sulit, dan sekarang jantungku hancur seperti telah dicincang menggunakan golok.

Papa mematung seperti kena sihir Medusa, ia tidak lagi ribut menyuruh polisi untuk melakukan ini itu. Om Reinald berdiri kaku, menatapku dengan kaku juga, ekspresi Echa lebih buruk lagi. Ia seakan menjadi arwah yang baru menyadari kalau dirinya sendiri telah mati. Aku membusungkan dada, tapi terlalu lemas. Tiga polisi yang tadinya hanya menonton, bergerak untuk menangkap papa dan Om Reinald. Dua tangan polisi yang menjepit pergelangan tangan ayah Yuli mengendurkan pegangannya, hingga lengan Ayah Yuli lolos.

Kupikir situasi bisa terkendali saat aku mengatakan yang sebenarnya, tapi dunia ini berjalan lebih sering tidak dengan semestinya, tidak sesuai dengan harapanku. Saat semua mata terpaku pada papa dan Om Reinald, juga Echa yang sekarang berteriak sambil menutup telinga, ayah Yuli meraih celuritnya yang jatuh di atas lantai. Amarah dan kekuatan untuk mengamuk membuat kecepatannya bertambah, aku seakan tahu apa yang selanjutnya terjadi, tapi aku tidak bisa mencegahnya.

Celurit itu menyobek dada papa. Kata terakhir yang kukatakan padanya, “papa!” aku meneriakkan namanya. Semua orang berteriak, syok, dan yang sejak tadi mengabadikan semua ini dalam video menjatuhkan HP-nya. Dulu aku pernah melihat darah sungguhan saat belajar biologi di lab IPA. Aku tak pernah takut pada darah, meski beberapa temanku punya gangguan sinkop vasovagal, aku berani memegang darah, tahu baunya, tahu rasanya. Darah papa juga darah sungguhan, tapi penglihatanku tiba-tiba gelap, tubuhku loyo, sehingga tulangku seakan roboh tak bisa menopang lagi.

Kelapaku membentur lantai, di saat yang sama, saat cahaya masih bisa ditangkap mata, sebelum segalanya gelap total. Aku melihat mata papa menatap kekosongan, darahnya mengucur menjadi sungai kecil, hangat menyentuh pipiku di atas lantai. Wajah kita saling berhadapan. Hingga segalanya benar-benar gelap. Itu lah terakhir aku mengenang papa, aku telah membunuhnya.

 

Ψ

Selembar surat dengan amplop resmi tergeletak tak berdaya di atas meja, surat itu untukku, tapi aku tak punya nyali untuk membukanya, ia seperti pesan rahasia dari malaikat maut yang akan mengabarkan kapan aku mati. Surat itu dari Echa dan Rio, mereka membayar orang khusus untuk mengantar surat itu sambil memberi pesan kalau Tante Inggar sudah mewakili anak-anak mereka untuk berbicara melalui surat denganku. Sudah beberapa hari ini Echa tidak masuk, apakah ini surat pengunduran diri? Keluarga Harawa, keluarga yang selama ini sudah seperti sahabat dan kerabat juga tidak muncul saat pemakaman papa.

Aku mendengar kalau ayah Yuli ditahan, lalu Om Reinald jatuh sakit sehingga proses hukum harus ditunda. Aku ditunjuk sebagai saksi mata, tapi aku harus bertemu psikiater dulu untuk memastikan kondisi mentalku cukup stabil. Meski pun begitu, untuk sekarang saja, untuk membuka surat itu, aku merasa semua peredaran logikaku terganggu. Perasaanku hancur hanya sekadar melihatnya, tanganku seakan terbakar saat berusaha meraihnya.

Yang lebih parah adalah kondisi perusahaan, lebih buruk dari kondisi mentalku, aku merasakan angin dingin yang menjalar-jalar soal kabar kalau perusahaan takkan bisa bertahan lama. Untuk menjadi sukses, agar produk bisa terjual, agar dapat kepercayaan, pemilik perusahaan tidak boleh kena skandal. Para investor menarik modal mereka, sebagian besar kontrak dagang dan relasi dibatalkan. Media terus membuat kata kunci aneh dalam judul artikel mereka, sehingga pamor perusahaan sudah tidak tertolong lagi. Lima belas persen karyawan mengundurkan diri, dan bulan ini beberapa karyawan terancam gaji mereka tertunda, hingga PHK. Petugas keamanan dan bersih-bersih adalah yang pertama kena PHK. Semua kabar buruk jatuh seperti hujan lebat dari langit gelap yang tak kunjung terang, dari email, dari surat, hingga orang suruhan yang datang langsung ke perusahaan.

Aku yakin kerusuhan yang sama juga terjadi di perusahaan Echa. Tapi situasi kami sangat berbeda. Perusahaan Om Reinald jauh lebih mapan, jauh dan jauh lebih mapan bahkan sejak papa tidak punya apa-apa. Asal punya modal besar, sebesar apapun kericuhan bisa ditenangkan. Sedangkan perusahaan seperti milik papa, yang cenderung bergantung pada perusahaan lain, dan dibangun dari modal apa adanya, bila ada sedikit skandal, bisa benar-benar membunuh segalanya, bahkan harapan juga bisa terbunuh karenanya. Sumpah, untuk bangkit pun kita butuh modal, butuh uang.

Mama tidak mengatakan apapun setelah kejadian ini, kalimat terakhir yang diucapkannya, “kau lihat ini, apakah semua ini yang kau inginkan?”

Sekarang aku paham mengapa orang lebih memilih tidak jujur, menyembunyikan kebenaran, dan pergi menyelamatkan diri daripada membantu yang kesulitan. Sekarang aku mengerti, untuk jujur pun orang harus punya modal, berani saja tidak cukup. Tapi bila aku menunggu modal, kejujuran tidak akan pernah terjadi, keadilan untuk Yuli akan mati bersamaku, dan bahkan tak ada sejak Yuli mati. Betapa menggelikan hidup ini, tidak ada pilihan yang tampaknya lebih baik untuk dipilih, semua pilihan adalah lubang gelap, satu lubang bisa membuatmu hidup nyaman dalam kebohongan, lubang lainnya bisa membuatmu menderita karena kejujuran.

Lihat selengkapnya