Roh Pemandu dan Jiwa Tujuh Bersaudari

Putriyana Asmarani
Chapter #14

Identitas di Tangan Media

Menurutku peribahasa buah tak jatuh jauh dari pohonnya adalah yang paling kejam dan mengerikan. Saat pintu kematian telah terbuka untuk perusahaan, kawan lama papa berakting seakan ogah untuk bertemu denganku. Teman kuliahku dulu yang sekarang sukses juga sibuk dan enggan ditemui. Mereka telah mendengar segalanya dari semua media. Buah tak jatuh dari pohonnya, dan sebagai pebisnis orang telah terlanjur menganggap aku takkan jauh berbeda dari papa.

Selain itu ada wawancara konyol dengan informan anonim di media cetak, suaranya diubah seperti tikus tercekik di televisi dengan wajah disamarkan. Beberapa informan itu bilang kalau mereka dulunya bekerja di perusahaanku, bisa diambil kesimpulan dari wawancara itu kalau aku sama genitnya dengan papa. Mereka juga bilang kalau aku suka menggoda karyawan-karyawan cantik dan mengajak mereka kencan hingga nikah sembunyi-sembunyi.

Aku tak menyangkal kalau aku ini genit, tapi sumpah, aku merasa seperti harus menggunakan solusi Zulaikha versi laki-laki. Kalau bisa aku undang wartawan itu untuk melihat karyawanku yang cantik-cantik, pasti mereka juga akan mengiris jarinya tanpa sadar. Yang parah adalah frasa yang kemdian di jadikan topik umum dan viral, kencan dan nikah sembunyi-sembunyi dengan CEO. Aku benar-benar angkat tangan dan sebagaimana pun aku berusaha untuk mengatakan pada dunia kalau itu tidak benar, orang takkan percaya. Orang lebih suka mendengar keburukan daripada pengakuan yang sebenarnya.

Buah tak jatuh dari pohonnya, rekan papa, temanku, bahkan orang asing di jalanan yang tahu skandal ini, meludah. Percaya atau tidak, orang-orang juga membuat konten gila tentang membuat orang kerasukan arwah Yuli agar bisa mendengar kabarnya, kabar anak dalam kandungannya, juga prihal dendamnya pada papa. Aku tentu saja bisa melihat siapa yang merasuki tubuh sial yang menjual jiwanya demi konten itu, ia sosok jin usil yang suka mengada-ada, bukan Yuli, ah ini sudah di luar batas kemanusiaan lagi. Sesuatu seperti ini terdengar lebih mengerikan dari kiamat itu sendiri. Tidak ada kehancuran yang lebih mengguncangkan selain hancurnya kemanusiaan.

Saat ini hanya ada tiga puluh karyawan, tiba-tiba semua beralih profesi menjadi tim pemasaran, beberapa ikut aku pergi ke sana dan ke mari untuk menyodorkan proposal pada perusahaan lain. Bulan depan, tiga puluh karyawan ini, atau bahkan lebih karena tentu saja ada satu atau dua orang yang masih tetap bekerja untuk jadi tukang bersih-bersih, akan terancam tidak menerima gaji.

“Heru?” mama menyebut rekan papa di atas ranjang rumah sakit, mama sudah berhari-hari berada di sana karena kekurangan cairan.

“Sudah Ma, dia menolak.”

“Ada lagi teman papamu namanya Miko, dia cukup bersahaja,” mama mengabsen. Aku menggeleng.

“Yunar, Broto, Laila, Prakoso,” aku ikut mengabsen. Mama membalikkan badan untuk memunggungiku.

“Bawa aku pulang malam ini, kau tak mungkin bisa membayar biaya rumah sakit.”

“Tidak,” aku menolak. Lalu pergi.

Sejak itu kunjunganku ke rumah sakit tak pernah lama. Dulu saat aku kecil, mama menghabiskan semua waktunya untuk mengurusku, satu jam tidak melihatku dia sudah seperti kebakaran rambut. Sekarang, baik mama atau aku, kami memilih untuk tidak bertemu terlalu sering. Setidaknya untuk saat ini, aku takkan menemuinya kalau belum memperoleh kabar baik.

Semua yang tersisa di tempat ini yang memilih tinggal lebih lama untuk bekerja denganku, entah dengan alasan apa saja, semua berpikiran positif. Semua positif kalau asalkan punya strategi, rutin evaluasi, mengolah kreatifitas, dan mengembangkan ide akan membantu perusahaan bangkit kembali. Tapi itu hanya pertunjukan meriah di dalam kepala kami yang semakin menderita. Apakah itu harapan, atau apakah itu halusinasi? Pagi dan siang terlalu singkat, hari gelap terasa sangat panjang. Puluhan senja kami lewatkan. Masih tidak membuahkan kabar baik.

Dengan kondisi itu, kita masih sangat positif, kita percaya kalau kreatifitas tak ada matinya, strategi tak ada habisnya, harapan tak sirna, dan kesempatan selalu ada. Ya, kita terus berpikir dan merasa positif sampai kita kehilangan pikiran dan perasaan positif itu. Kenyataan membunuh kreatifitas, strategi, kesempatan, dan seluruh harapan yang tersisa. Kita banyak membuang proposal yang isinya adalah harapan yang kami sangat nantikan. Hingga kemudian harapan kami benar-benar mati. Kepala terlalu penat untuk memikirkan apa yang selanjutkan kita lakukan. Hati terlalu lelah untuk berharap. Bagi pebisnis, relasi dan kepercayaan adalah kunci, dan kita kehilangan kunci itu.

Pada suatu hari, hari dimana kita benar-benar kehabisan pikiran positif, beberapa orang mengundurkan diri, selama satu minggu berturut-turut hingga habis semua menyisakan Dewi dan Rudi. Jujur saja aku lebih tidak mampu lagi bila terjebak dengan dua orang ini, setelah lama beradu mulut, dua manusia keras kepala ini malah ingin bergelayutan di pundakku. Sampai pada akhirnya keduanya menyampaikan sesuatu yang lebih buruk lagi.

“Sebenarnya sudah lama saya ingin menyampaikan ini,” ucap Dewi lalu menggigit bibir, seakan telah mengucapkan sesuatu yang fatal.

“Apakah kalian mau menikah? Oh tidak perlu basa-basi, selamat ya,” tanggapku getir. Rudi terperanjat.

“Tidak,” jawabnya pendek, “kami datang untuk mengoreksi sesuatu,” jelasnya.

“Apa ada yang salah?” tanyaku pada dua orang yang selalu bersama tapi tidak berpasangan ini.

“Saya rasa sudah tidak mungkin untuk memperbaiki yang rusak ini,” Dewi angkat suara.

“Ya, aku sudah sangat paham, kau tak perlu mengulanginya,” kataku gelisah.

“Nah, jadi solusinya adalah kita tidak perlu memperbaikinya, kita harus menciptakan sesuatu yang baru untuk melanjutkan bisnis,” Dewi mengatakannya dengan sangat hati-hati, punggungnya tegak, pundaknya mengejang.

“Menciptakan sesuatu yang baru? Apa itu, berapa nilainya, ukurannya bagaimana, kondisi pasar seperti apa?” aku mendiktenya, membuat ide bisnis tidak sederhana, terutama bagi aku yang sudah kehilangan kepercayaan. Dewi menelan ludah dulu untuk menjawab pertanyaan apa.

“Keripik mbote,” katanya pelan sekali.

Mbote itu makanan?”

“Iya tidak mungkin itu meja atau papan tulis,” Rudi menanggapi.

“Bahasa Indonesianya umbi talas, keripik umbi talas, mbote adalah Bahasa Jawanya,” Dewi menerangkan.

Lihat selengkapnya