Roh Pemandu dan Jiwa Tujuh Bersaudari

Putriyana Asmarani
Chapter #15

Ada Alasan Mengapa Kau Tak Bisa Melihat Segalanya

Dari seluruh kisahku ini, ada satu hal yang ingin kubuktikan padamu, kau sepakat kalau uang bisa membeli kebahagiaan. Baru-baru ini aku juga mendengar komedi ‘lebih baik menangis di dalam mobil daripada tertawa di dalam angkot’. Uang bisa membeli teman, barang, saham, dan menuntaskan hawa nafsu tapi bukan kebahagiaan, bukan juga kedamaian. Untuk itu, aku perlu memberikan bukti dari ayah Echa yang bisa menggunakan uangnya untuk menyuap pengadilan, media, dan bahkan memulihkan pamor perusahaan Harawa miliknya. Kau juga harus tahu, diantara semua yang ia beli itu, ada sesuatu yang sebenarnya paling ia butuhkan tapi tidak bisa terbeli.

Soal Yuli bukan apa-apa, Om Reinald bisa membuat media fokus mengulik papa atau aku. Dengan kekuasaannya, ia bisa membuat berita timbul dan tenggelam sesuka hatinya. Soal rekan kerja, justru kebalikan dariku, rekan Om Reinald justru semakin banyak di saat-saat seperti ini. Ya, tentu saja, bila mereka berulah Om Reinald bisa saja lepas tangan, sedangkan perusahaan-perusahaan milik rekannya tidak bisa bertahan dengan stabil tanpa bantuannya. Di saat aku butuh bantuan, saat proposal dan harapan terbuang, bantuan datang padanya seperti banjir bandang. Semua orang tiba-tiba ingin menjadi pendukung Om Reinald di saat genting ini, mereka bahkan (kata Ray) ikut iuran untuk menyuap pengadilan.

Bunga-bunga pujian, harapan, dan dukungan, menghilangkan jejak kriminalnya. Dengan pengacaranya ia juga bilang kalau tuduhanku adalah murni pencemaran nama baik karena tidak ada bukti kalau ia juga ikut memerkosa Yuli. Yuli telah tiada untuk menjadi saksi korban, jejak kekerasan ditubuhnya juga tidak mungkin diselidiki karena ia sudah lama meninggal. Aku terlalu pengecut untuk keras kepala demi membuktikan kalau ia juga bersalah, semua itu karena aku masih ingin memperjuangkan perusahaanku dan berharap kepercayaan orang lain masih ada. Aduh, seharusnya aku memberanikan diri untuk keras kepala, toh sekarang aku sudah benar-benar mengakhiri nasib dan masa depan perusahaanku.

Di berbagai media ia mulai diwawancarai soal skandal yang hampir membahayakan perusahaannya. Dengan menjadi sok korban fitnah dia selalu menekankan betapa sakitnya difitnah teman sendiri, sampai ia merekayasa sebelumnya ia mendapat semacam wangsit mimpi digigit ular di kaki sebelah kiri yang maknannya sahabat baik akan menusuknya. Ia kemudian memberikan kesimpulan memuakkan, kalau dia menantangku untuk melihat suatu saat nanti siapa yang akan kalah, Tuhan tidak tidur, dan dia bersumpah perusahaannya tidak akan dihukum Tuhan, sebaliknya Tuhan akan menghukum perusahaanku dengan kebangkrutan. Uang bisa pula membuat orang menciptakan wacana mengerikan semacam itu. Pembaca dan penonton menanti, hingga penantian itu tiba.

Saat perusahaanku benar-benar hancur, kabar soal aku menjual gedung membuat orang semakin gila. Judul-judul baru muncul, judul-judul yang membuatku menyesal belajar membaca dan punya telinga sehat untuk mendengar segalanya meski aku tutup telingaku rapat-rapat; Tuhan Maha Adil! Perusahaan Nugroho Gulung Tikar. Lalu Om Reinald muncul lagi dalam wawancara, Rio juga dimintai pendapat. Arus sampah ini seakan takkan pernah usai dan sejarah modern akan mengenangku sebagai mantan pezina yang memimpin perusahaan.

Tidak berhenti di sini, mereka juga membuat kenangan baru, saat mereka ditanya, ‘kalau misalnya nih ya, Perusahaan Nugroho butuh bantuan apakah Anda masih mau membantunya?’ jawaban Om sama dengan Rio; mereka mengaku orang baik yang berhati lapang, mereka pebisnis adiluhung yang perlu jadi suri teladan, yaitu mereka akan membantuku kapan saja asalkan aku harus membuat pernyataan publik kalau aku telah memfitnah Om Reinald. Menanggapi tantangan ini, aku meludah, meski tidak dihadapannya langsung, di sudut tergelap di bumi di dalam apartemen tanpa dinaungi lampu ini, aku meludahinya.

“Mereka lebih buruk dari sampah,” Ray menanggapi, “sampah aja masih bisa didaur ulang.”

“Kalau begitu aku lebih menyedihkan dari sampah, untuk jadi sampah aja aku gak punya modal,” desisku padanya seperti ular.

“No,” Ray menggeleng, “aku bangga padamu,” aku terperanjat Ray mengatakan semua itu. Dulu ia juga menentang soal aku membocorkan rahasia papa dan om. Mungkin Ray sekadar khawatir. “Sebenarnya aku tahu perasaan macam apa yang tersembunyi di balik topeng Reinald,” Ray menganalisis, ia menantapku seperti pengetahuannya itu adalah tujuh keajaiban dunia jadi aku tergerak untuk ingin tahu.

“Ada sesuatu di baliknya?” aku mendelik, senang juga mendengar ini, “dia terlalu bahagia, aku tak sadar kalau ternyata itu hanya topeng.”

Ray memulai, “malam itu bukan malam biasa, bulan bersinar paling terang untuk pertama kalinya setelah enam ratus tahun, dan cahaya ini benar-benar bisa mewarnai mendung di malam hari. Di akhir tahun, langit menumpahkan hujan paling tidak sekali sehari. Namun, tiga hari saat bulan sedang merekah, hujan tak membasahi bumi sama sekali selama tiga hari berturut-turut. Di malam-malam seperti ini, sebaiknya orang tidak boleh berulah. Pesan dari bintang tertutup awan gelap, dan pijar cahaya bulan terlalu kuat hingga meski bergumpal-gumpal awan menutupnya, orang bisa tahu posisi bulan ada dimana.

“Mungkin tak banyak orang tahu momen ini, mereka banyak terjebak di depan komputer atau televisi, ada yang bahkan masa bodoh dengan bulan atau bintang. Tapi di malam seperti ini, ada banyak karnaval tak kasat mata memenuhi jalan-jalan, dan setiap ruang terbuka untuk menikmati gelora bulan. Tapi sesuatu yang buruk terjadi pada Reinald dan tampaknya dia akan menyalahkan jin dan semacamnya.”

“Maksudnya?” aku memotong.

“Ah, sudah sering manusia menuduh makhluk tak kasat mata aneh-aneh begini,” Ray nyengir, “awalnya dia semacam dapat mimpi buruk yang terjadi berulang kali. Dia bahkan sampai takut memejamkan matanya. Kau lihat di televisi, atau foto wawancaranya di media cetak, kantung mata mulai muncul, tampak menggelap dan warnanya seperti buah busuk. Orang mengira dia begadang karena bisnis, tapi dia kena insomnia. Bahagia itu bukan hanya bisa dipuaskan oleh makanan enak tapi juga tidur nyenyak. Oh, mimpinya menakutkan sekali, seperti zombie Yuli mengejarnya, lalu ia tidak bisa lari kemana-mana karena anak dalam kandungannya bergelayutan di kakinya. Terjebak, dia hanya bisa bersembunyi di balik lengan sintal yang bahkan tidak bisa menampengi seluruh tubuh gembrotnya. Di arah yang berlawanan papamu muncul dengan pakaian pocongnya, berloncatan mendekat, di arah lainnya setan-setan juga merayap mengerubungnya seperti wabah ulat bulu kecil yang merubuh sisa sampah.”

“Mengerikan sekali,” aku begidik.

“Lebih mengerikan lagi, ia tidak bisa pakai uangnya untuk mengusir mimpi buruk yang dia anggap teluh itu."

“Tapi perasaanku tidak bisa tenang,” aku bergumam, “pasti setelah ini akan muncul di berita kalau ayah Yuli menyantetnya.”

“Ah itu pasti, tapi gejala itu menurutku akan lebih besar dari judul berita,” Ray manggut-manggut.

“Hah, berarti ayah Yuli dalam bahaya?” tubuhku longsor dari sofa ke atas lantai.

“Tidak,” dia menggeleng, “kau akan tahu sendiri nanti.”

 

Lihat selengkapnya