Seorang pemimpin menjual segala yang tersisa untuk menjadi budak orang lain. Tidak ada alasan bagiku untuk mempertahankan kekuasaan, lagi pula bila aku di sana untuk memimpin perusahaan papa, aku hanya akan membumikan kekejian. Semua ini tergatung pada setiap orang, Rudi menganggap aku hanya orang berbakat yang ia tolong, jadi sekarang tampaknya ia melampiaskan masa-masa dia bekerja dulu padaku. Ia tak lagi memanggilku ‘pak’ tapi langsung Karsa. Sebenarnya itu lumayan daripada seperti Ray yang memanggilku Haid sehingga gambar pembalut muncul dipikiranku seperti jeda iklan.
Karena ruangan terbatas, dia menggunakan satu ruang ukuran enam kali delapan meter untuk aku, Dewi, dan dirinya sendiri. Struktur kepegawaian dibedakan dari jenis meja, milik Rudi lebih lebar, ada enam laci di kiri kanan di bawah meja. Kursi juga lebih tinggi, ia mengatakan mastermind di kantor harus mendapatkan fasilitas layak. Sesuatu seperti ini pasti mengingatkan Dewi pada novel Animal Farm dari George Orwell, karena Dewi tersenyum sinis melihat kelakuannya. Melihat dirinya berkuasa, aku seperti menonton stand up comedy, ia berkelakar soal seberapa pun modal dari uang sumbanganku, ide dan mesin penggerak semua seakan berasal dari dirinya.
Dewi terlihat apatis kalau Rudi sedang berceloteh, lebih tepatnya karena ia selalu terburu-buru, dia kerja seperti orang kehabisan waktu, seperti bunga kerokot yang tergesa-gesa mekar karena pukul sepuluh kelopaknya akan mati. Posisi Dewi adalah mengurusi semua urusan ruwet; meriset pasar, menentukan bentuk keripik yang katanya lebih terlihat menggiurkan bila permukaannya bergelombang seperti atap seng di gang kumuh, merancang desain kemasan di mana ia menolak pakai wajah artis baik di bungkus atau iklan nanti jadi ia punya rencana untuk mengambil jasa ilustrator, memilih material kemasan yang ramah lingkungan tapi terjangkau, menimbang jenis rasa, merasionalkan harga yang bahkan anak-anak melarat bisa membelinya dari hasil mengamen, menentukan tengkulak atau pengepul umbi talas yang tidak pelit, hingga di antara kesibukannya itu dia sering kena diare karena terlalu banyak mencicipi bubuk perasa.
Kerjaanku adalah mengoreksi hasil kerjaan Dewi. Rudi bagian perencanaan dan suruh-suruh. Sering sekali saat diskusi aku memberi masukan pada Rudi kalau mencicipi rasa itu harus melakukan survei, seperti mengundang beberapa orang dari jenis umur yang berbeda, lalu mewawancarai mereka soal rasa itu. Harga juga begitu, aku mengomentari Dewi yang semestinya bisa mengerucutkan ambisinya, dia ingin jajan ini bisa dibeli oleh semua kalangan, perusahaan ini harus memilih pasar yang jelas, apakah mereka akan menjual jajan rentengan yang dicantolkan di atas kawat di warung, atau meletakkannya di tempat yang lebih mewah seperti di mall atau mart. Dengan begitu bisa ditentukan harga produk, kalau menjual jajan rentengan tentu saja tidak bisa meminta jasa ilustrator kondang, memiliki bungkus ramah lingkungan yang mahal dan lain sebagainya, karena harga jajan di pasar kumuh paling tidak harus lima ratus rupiah saja perbungkus. Harga rendah ini bertolak belakang dengan biaya produksi, ilustrasi, dan kemasan yang mahal. Bandingkan dengan harga makanan ringan di tempat bergaya, paling tidak harganya di atas lima ribu rupiah itu yang paling murah, karena kebanyakan harga akan berkisar ke sembilan sampai sepuluh ribu rupiah.
“Sekarang kau harus paham,” kataku pada Dewi setelah menjelaskan padanya beberapa poin yang perlu diperbaiki. Ia cemberut.
“Tapi saya tidak sedang membuat produk untuk konsumsi orang kaya saja Pak,” desis Dewi masih memanggilku Pak.
“Ini bisnis Dewi, kamu gak sedang doing charity project. Aku gak akan bilang bisnis itu naturalnya kotor, tapi bisnis itu sepenuhnya punya logika hitung, ukuran, dan riset.”
“Apakah ada cara agar bisnis bisa jadi dirinya sendiri dengan logika itu tapi lebih manusiawi sedikit?” punggungnya kendur saat mengucapkan ini, seakan sedang mengais sehelai harapan di gunung jerami.
“Tentu bisa, kalau kita dapat sponsor,” aku menggelembungkan harapannya, tapi gelembung itu meletus saat aku mengucapkan, “tapi barang pun kita masih tidak punya,” aku menoleh pada Rudi untuk mengatakan ini, “kita harus bikin sampel, paling tidak bulan ini, barang itu harus jadi.”
“Oke, aku pergi konsultasi soal mesin produksi,” Rudi bangkit, meraih kunci mobil lalu lenyap setelah pintu tertutup.
Dewi bangkit dari kursinya, berjalan lunglai mengambil air minum, lalu meneguknya seperti perantau yang kehausan. Sebelum ia kembali duduk kembali menghadap komputer, aku menghadangnya. Kami hanya berjarak seperempat meter jadi dahinya hampir menabrak dadaku, ia terkejut sambil menyeimbangkan botol minum dipegangnya yang hampir jatuh. Dagunya terangkat, dan matanya memanjat ke kedua mataku.
“Antara lelah dan bersemangat, kau seperti orang sakau,” tuturku lembut.
“Kasihan sekali saya,” balasnya menertawakan diri, “permisi,” dia memiringkan badan untuk menyelinap kembali ke mejanya. Ah, dia menganggapku apa? Apa aku ini hanya pintu dengan sebongkah kaca?
“Dewi,” aku menghentikan langkahnya, dia menoleh tanpa membalas panggilan, wajahnya kalut seperti hantu penasaran, aku meraih tangannya seakan takut kalau jiwanya benar-benar mati karena memikirkan semua ini. “Yuk kita jalan-jalan!” seruku sumringah, alis Dewi terangkat sempat sangsi bagaimana mungkin mengajak jalan-jalan di saat sesibuk ini? “kita cari petani pemilik pertama, tengkulak, pengepul, atau semacamnya.”
“Kemana Pak? Kita harus paling tidak janjian dulu,” ia memutuskan dengan hati-hati, ia takut kecewa kalau waktu terbuang hanya untuk mencari sesuatu tanpa tujuan.
“Kita jalan dulu, urusan kemana itu bisa dipikirkan di jalan,” kataku mantap sambil merapatkan genggamanku pada kulit telapak tangannya yang mengering karena terlalu banyak mengetik. Aku berjalan sambil menarik tangannya, aku menoleh padanya tidak untuk memastikan apa-apa, hanya ingin melihatnya saja. Pada akhirnya aku diberi kesempatan untuk tak sekadar melihat; pipinya memerah, matanya bersinar, semua itu menggelitik hati.
Ψ
“Kamu tampaknya mudah dikelabui orang ya?” desauku sambil masuk mobil dengan kepala penat, “biasanya sih itu terjadi kalau kau terlalu percaya pada orang, bukan karena kau jadi orang yang terlalu baik,” aku menggerundel. Dewi mengunci bibirnya rapat-rapat, “aku tahu kamu sudah merencanakan harga umbi talas di tengkulak, kamu mungkin juga udah tahu harga belinya dari informasi entah darimana, tapi langsung mengiyakan itu tidak benar! Kau harus pergi dulu ke tengkulak lainnya untuk membandingkan harga, bukan begitu? Logikanya gini, kamu masuk pasar mencari kelanting, kamu cuma bawa uang seribu, lantas apakah kamu langsung menjajakan semua uangmu untuk beli kelanting? Efektifnya, kamu harus memikirkan apalagi yang bisa kau beli dengan uang itu.
Dewi masih diam, terlihat merasa bersalah.
“Untung aja aku ada, bayangkan kalau kamu pergi sendiri terus memutuskan,” karena ia diam, aku melanjutkan, “mana Si Rudi iya iya aja kamu bilang apa, ini sih alasan mengapa bisnis kecil hancur bahkan sebelum jalan,” aku diam sebentar untuk menyalakan mobil, lalu melaju, “kasih aku rincian kamu lagi nanti, aku mau periksa ulang semuanya.”
“Iya,” Dewi menjawab lirih.
“Kenapa kamu terlihat sewot gitu? Gak terima kalau aku marahin?” aku menyalak, tidak suka melihat ekspresi yang ia pasang. Dewi menggeleng, aku menatapnya dengan sungguh-sungguh, rona wajahnya benar-benar bisa menyulut api di dadaku, “terserah kalau kamu gak terima, pokoknya aku udah ingetin, mau kamu pakek atau enggak terserah!”
“Apa saya menentang pendapat Bapak?” akhirnya Dewi bicara, buih air mata di kelopak matanya mengembang, menusuk hatiku sehingga aku diam. Setelah merajai keheninganku, dia melanjutkan, “saya tahu saya tidak sekolah bidang ini, tapi saya terima kok saya ngerjakan semua kerjaan, dan Anda cuma duduk manis mengomeli kerjaan saya sambil bilang iya atau tidak,” gemuruhnya seperti badai.
“Iya memang itu—“
“Bagian saya? Apakah itu bagian saya?” potongnya lalu mengulangi. “Apakah saya mendapatkan bagian kerja paling sial? Kenapa, apakah karena saya tidak ikut menaruh modal?” katanya.
Itu memang benar, Dewi tidak ikut meletakkan modal tapi untuk bisnis yang kita bangun bersama, betapa tidak adil buat dia. Akhirnya aku menahan diri untuk tidak bicara.
“Kalau saya punya uang, sumpah, saya tidak akan berusaha sekeras ini.” dia berhenti sejenak untuk mengatur napas, memberanikan diri, “Dan saya pastinya tidak cengeng kalau Bapak marahin saya dengan alasan kalau saya emang gak mencoba, atau malas-malasan,” ia menoleh ke jendela mobil untuk memunggungiku. Di sana ia menangis keras sekali seperti anak kecil habis dicubit ibunya.
“Maaf,” hanya itu yang kukatakan. Sejenak kemudian ia sesenggukan, mengusap air mata dan ingusnya, pundaknya naik turun karena tersedak-sedak.
“Saya juga maaf,” katanya mengusap air mata yang terus mengalir, mungkin ia berharap air matanya mampet, “maaf, karena saya lelah sekali,” sekarang air matanya amber lagi tak terkendali. Bibirnya mewek, pipinya merah, kantung matanya menghitam, kukira dia bakal berubah jadi monster, “lelah sekali, ingin mati saja rasanya.”
Ray menepuk pundakku lalu berbisik, “saat jadi Roh Pemandu kau hampir bikin dia mati, sekarang jadi manusia kau bikin dia menangis, mau kau apakan lagi dia?”
"Maaf,” aku tak bisa mengatakan apa-apa selain itu.
“Sa...saya tahu mung...mungkin saya jauh dari ekspektasi,” dia tergagap-gagap, air matanya belum kering. “Saya bo...bodoh dan tidak berpenga...laman,” ia juga menggerakkan tangan untuk menyampaikan maksud, “tapi saya be...belajar, apakah pe...pelajar tidak boleh sa..salah?”
Melihat dia kesulitan bicara aku ingin menghentikannya tapi yang terucap dari mulut berbisaku ini hanya kata, “maaf.”
Dia mengelap air mata dan ingus berkali-kali sampai aku khawatir batang hidungnya copot, tisu ukuran saku habis dipakainya. Aku menyodorkan tisu wajah jumbo di mobil, dia menerimanya, lalu membenamkan seluruh wajah basahnya ke sana. Belum tuntas ia mengeluarkan semua ingus, tapi saat beberapa tisu selesai dipakai, ada secuil tisu menempel di hidungnya. Aku ingin tertawa tapi demi kemanusiaan aku menahannya. Aku harus menemukan kata lain selain maaf. Harus lebih cerdas, harus lebih berhati-hati. Setelah cukup lama terjebak mencari ide akhirnya yang dapat kuungkapkan sebatas;
“Cari makan yuk, yang enak-enak, ingin makan apa?” kataku pelan sambil meremas setir, aku siap dia mengguyurku dengan amukan semacam, ‘bagaimana mungkin Anda cari makan di saat seperti ini!’
“Ayam krispi,” jawabnya sambil sesenggukan. Aku kaget dengan jawabannya, anggapanku salah. “Bebek goreng,” tambahnya, sesenggukannya sudah sedikit reda, tapi wajahnya masih sangat merah. Aku tertawa. “Sambal matah, ikan gurami,” ia menekanku. Sekarang tawaku meledak.
“Oke kubelikan semuanya,” kataku masih tidak bisa mengatupkan bibir karena tawa.
“Es lemon, sama dibungkus untuk dibawa pulang,” tambahnya lagi dan lagi.
“Akan kubeli sekalian kedai dan pelayannya,” aku bergurau, gelak tawa Dewi terdengar dan dengan itu sesenggukannya hilang.
Ψ