Roh Pemandu dan Jiwa Tujuh Bersaudari

Putriyana Asmarani
Chapter #17

Bara yang Takkan Padam

“Tiba-tiba dia kambuh,” Ray terengah-engah, maksudnya ‘dia’ adalah Om Reinald. Mobilku melaju dengan kecepatan maksimal, “terus...terus,” dia mengatur bahasa, “dia melihat Yuli.”

 “Kelakuan jin lagi?”

“Tidak, yang ini sungguhan dari kepalanya,” Ray mengoreksi, “dan ini jauh lebih mengerikan dari Yuli Yuli lainnya, bahkan Yuli itu sendiri.”

“Ah maksudmu apa sih?”

“Dia melihat Echa putrinya sebagai Yuli, tali pengikat emosinya runtuh, dia menyambar kepala Echa lalu melemparnya ke lemari kaca yang dipakai untuk memajang piala di ruang tengah."

Jantungku semakin berderap kencang, aku membayangkan adegan itu, Echa terpelanting dan semacamnya. Ray juga melihat apa yang kubayangkan.

“Tidak, dia tidak terpelanting,” sanggahnya, “kaca pajangan piala bukan kaca biasa, itu kaca tebal, jadi pecah di bagian kepala Echa, kepalanya retak dan tersangkut di sana,” badan Ray bergetar hebat, badanku juga, “setelah dia berlumuran darah, papanya menyanyi-nyanyi ‘aku membunuhnya’ dan ‘hore akhirnya aku membunuhnya’ sambil bersiul-siul dan menari, terus—“

“Cukup! Cukup!” aku terengah-engah kemudian memukul dahi, “Echa masih di rumah? Rio di mana?”

“Semua menuju kantor polisi, kecuali Echa, dia menuju pemakamannya.”

Aku minggir sebentar untuk berhenti di pinggir jalan. Malam semakin larut, kendaraan beradu kecepatan, tapi sepenuhnya alam sedang senyap, seakan sesuatu menyuruh segalanya untuk diam sebentar.

“Om tidak butuh polisi, tapi rumah sakit jiwa,” kataku pada Ray. “Echa!” aku berseru seakan bisa memanggilnya. Wajah mungil Echa saat masih kecil dengan bando dan baju merah muda terpampang jelas dan sendu di kepala. Melihat jalan di depan sana yang masih lenggang, hatiku malah menyempit.

“Jadi kita mau ke mana?” tanya Ray bersabar menungguku menenangkan diri.

“Kantor polisi,” jawabku, mobil berjalan kembali.

 

Ψ

Di koridor, aku mencuri dengar seorang pegawai diam-diam menghubungi media. Di ruang tunggu Tante Inggar menatap dengan mata mengawang. Ia terlihat seperti orang yang tengah tak sadarkan diri tapi dengan mata sepenuhnya terbuka. Ruangan yang separuhnya kaca itu bisa membuatku melihat dari luar, Rio yang menunjuk-nunjuk papanya, matanya hampir meloncat dari rongga, wajahnya seperti tungku yang dikipas sehingga seakan asap keluar dari sana. Otot di lehernya terlihat mengejang, ia meneriaki papanya. Om Reinald, duduk di atas kursi masih menari-nari dengan tangan terangkat di udara.

Aku dan Tante Inggar hanya berjarak beberapa meter saja, tapi aku tak punya nyali untuk muncul dihadapannya. Akhir-akhir ini aku memendam kebencian khusus pada mereka, aku ingin karma bekerja seprofesional mungkin untuk menggulingkan bahtera mereka, aku ingin mereka hancur sehancur-hancurnya, dan dipermalukan semalu-malunya. Kemudian aku sampai pada kehebohan ini, keonaran yang terpampang langsung di depan mata. Di atas kertas di dalam batinku, aku sudah mendaftar segala keburukan, makian, dan sumpah serapah pada mereka, kertas itu seakan muncul telanjang di depan mata. Melihat mereka seperti ini, aku ingin menghancurkan kertas jahanam itu.

Seorang petugas wanita kebetulan lewat di depan Tante Inggar, Tante langsung meraih tangannya lalu memohon-mohon;

“Tolong izinkan saya masuk,” rintih tante.

“Tidak boleh Bu,” jawab petugas itu tegas, “berbahaya bila suami Ibu melihat perempuan.”

“Aku tak peduli,” paksa tante sambil terus menarik-narik dan memukuli petugas wanita itu, “aku harus masuk, aku harus membunuh lelaki itu,” tangisannya meluap. “Oh, oh anakku, anak gadisku,” ia meraung-raung tak terkendali, lima petugas keluar untuk menenangkannya.

 Ia berkelojatan seperti kelinci yang tertangkap telinganya. Kemudian, perlahan kembali tenang. Tapi beberapa detik kemudian mata tante terlihat liar. Aku merasakan sesuatu yang aneh terpampang pada kedua matanya yang seakan sedang merangkai strategi. Ternyata, setelah sedikit lama, ia hanya bersandiwara untuk terlihat tenang agar petugas melepaskannya. Saat semua sedang lengah, tante bangkit dari duduk, menyelinap gesit, menabrak pintu, lalu meninju kepala om dengan kepalan di tangan kanannya.

Suara om melengking kesakitan, ia balik badan, kerusuhan lebih besar terjadi. Memang benar kata petugas itu, kalau om seharusnya tidak boleh melihat wanita dulu untuk saat ini demi keamanan. Tapi tangan yang marah bergerak lebih cepat dari tangan yang akan menolong. Om menjambak rambut tante, sambil teriak lantang, ‘Yuli! Bangsat, kau hidup lagi!’ lalu membanting kepala tante di atas meja.

Di pojok di bawah meja, Rio melolong putus asa, tubuhnya ambruk lunglai tak berdaya, ia kena syok kemudian tak sadarkan diri. Melihat situasi yang cukup tak terkendali aku masuk untuk paling tidak bisa menolong tante, tapi kakiku berhenti di pintu saat menatap kakiku menginjak sesuatu yang basah, seperti tercemplung ke lumpur. Punggungku terguncang melihat darah melebarkan alirannya di bawah kakiku.

Lihat selengkapnya