“Ini waktu yang tepat untuk menyelamatkan perusahaan dan mengembalikan reputasi,” mama meraih tanganku, aku bisa merasakan bentuk tengkorak tangannya tanpa harus dibalut kulit, “segalanya bisa kembali seperti sedia kala.”
“Echa dan Tante Inggar mati Ma,” tanggapku pelan.
“Semua orang juga pada akhirnya mati, Karsa! Ini pertanda baik, kau diberi kesempatan untuk bangkit lagi! Tapi kenapa kamu malah berbuat onar lagi hah? Apa kau sudah lupa apa yang semua keluarga Harawa lakukan saat papamu tiada? Mereka sudah dihukum alam, kau tinggal mengambil kesempatan saja. Kalau kau tak bisa mengambil kesempatan ini sekarang. Kau bisa mengambilnya nanti, intinya sekarang kau harus mulai temui rekan bisnismu lagi.”
“Ma,” aku menggeleng-geleng, “sudah selesai, semua sudah selesai.”
“Kau tidak kasihan padaku? Hidupku sudah menderita sekali!” ia menepuk-nepuk dadanya.
“Mama juga harus kasihan padaku, pada Echa, dan Tante!” aku tak sanggup lagi.
Perlahan aku mulai menyadari kalau mulai detik itu hingga seterusnya, mama dan aku tidak akan pernah bisa sepakat pada satu hal. Kita berdua sama-sama ingin kebaikan, sama-sama ingin hidup nyaman dan damai, sama-sama ingin lagi untuk saling menyayangi seperti dulu. Tapi karena pikiran kita saling bertolak belakang, segala yang kita rencanakan bersama-sama bisa tiba-tiba berlaku sebaliknya, putus atau berpisah. Padahal, sekarang ini aku cuma punya mama, sayangnya sekarang aku merasa di antara kami, hanya terpaut ikatan biologis, dan kami harus patuh pada simbiosis mutualisme untuk memenuhi kewajiban ikatan itu.
Sesuatu yang sangat besar dari dalam diriku tetap saja ingin melakukan lebih untuknya, meski apapun soal mama akhirnya berubah. Perasaan iba karena ia menolak makan hingga kurus seperti itu berubah menjadi perasaan jijik. Kerinduan padanya berubah menjadi tugas menjemukan yang harus terpenuhi. Kehangatan darinya jadi kebekuan, sentuhan akrabnya yang tak tergantikan berubah menjadi sangat asing. Meski pun begitu, aku masih punya keinginan untuk menenangkan badai di hatinya yang sedang berkecamuk, dengan mengatakan ini;
“Karsa merintis bisnis baru,” aku mengangkat wajah berusaha untuk membangunkan cahaya di mata mama yang gelap.
“Ha?” mama menyodorkan telinganya, “apa itu?” pernyataanku berhasil memercikkan seberkas cahaya dalam dirinya.
“Keripik umbi talas, nama produknya Marki,” aku jelaskan padanya dengan ekspektasi yang terlalu besar yaitu membuatnya tersenyum.
“Bisnis makanan?” mulutnya menganga seperti sedang ditodong pistol.
“Sejauh ini berjalan baik Mama, dan yang terpenting adalah ada harapan di sana.”
“Kau pikir bikin bisnis baru bisa segampang itu?”
“Tentu saja tidak, aku jatuh tersungkur lalu kesulitan bangun.”
“Kau tidak mengerti posisimu, tempatmu sudah di atas, sekarang kau perlu mengambil tempat itu lagi, kenapa kau persulit semuanya dengan memulai dari awal?”
Sesuatu dalam diriku akhirnya menolak bicara lebih jauh lagi dengan mama. Sedangkan, pertanyaannya menggantung di udara siap mencekikku, tatapan matanya melolong ingin aku segera menjawabnya.
“Mumpung masih baru,” tiba-tiba mama menarik tanganku lagi, lalu membuat tatapannya terpancang di kedua mataku, “mumpung belum terlalu jauh, kau bisa menghentikannya.”
“Aku sudah benar-benar mengakhiri bisnis papa Ma!”
“Masih ada harapan untuk memulainya lagi,” mama bersikukuh.
“Aku sudah jual gedungnya, dan pindah apartemen,” aku bangkit berdiri, kemudian pergi tanpa berpamitan.
Ψ
“Dewi, kasih aku data tambahan karyawan minggu ini, penjualan juga ya!” aku masuk ruang tanpa memberi salam. Setelah kunjungan rumah sakit, biasanya jam di tubuhku berdentum lebih cepat, pikiranku tergesa-gesa, hatiku penuh dengan kekhawatiran, harapan baikku menjelma ekspektasi.
Dewi menyodorkan dua kotak dokumen di atas meja, membantu menata mengurutkan kertas, angka, dan data perkembangan. Sebelum ia menjelaskan laporan yang disiapkannya, pundakku serasa ambruk melihat deretan angka yang mengerikan.