Ia masih berada di rumahnya yang dulu, iya, yang dulu itu, yang lebih pantas disebut barak peternakan kuda, daripada hunian manusia. Kabarnya dia masih berjuang untuk melunasi hutang rumah sakit untuk meloloskan rumah itu beserta kenangan yang sudah menjamur di dinding dan perabotan usangnya. Di depan, warna gerbang besi terlihat lebih seram di malam hari, cat hitamnya sudah sepenuhnya terkelupas, bau karatnya menusuk hidung padahal aku sudah menahan napas, pangkal hidungku ngilu tersiksa. Kudorong gerbang itu pelan, seperti biasa tidak terkunci, tidak ada maling di sekitar sini, yang ada mungkin Robin Hood yang datang untuk memberi sedekah. Sial, besi korosi yang bentuknya seperti orang kena penyakit kadas dan kurap, lengket di tangan, sekarang telapakku terlihat seperti bekas luka bakar.
Aku mengetuk pintu, tidak ada jawaban. Mengetuk pintu lagi, tidak ada jawaban juga. Dari jendela di sebelah pintu yang tertutup gorden yang sama usangnya dengan gerbang dan segala yang membuat rumah itu berdiri tegak, aku melihat secercah cahaya yang keluar dari pori-pori pintu kamar Dewi. Dia pasti di dalam, jadi aku terus mengetuk pintu, sambil terus memanggil namanya. Setelah lama mengetuk dan memanggil, aku mengintip dari celah gorden yang tersingkap sedikit. Ruang itu memang menyala, aku yakin di dalamnya ada orang. Gemas, aku akhirnya menekan ganggang pintu, betapa kagetnya aku pintu depan tidak terkunci.
Dewi bukan orang seteledor ini, aku bahkan bisa menyebutnya gila kunci-mengunci. Mengunci pintu itu sudah auto baginya. Membuka laci di kantor saja, saat kebanyakan orang hanya akan mengatupkan pintu loker, Dewi akan menguncinya. Dia bawa kunci kemana-mana, seperti HP, bila ia bawa HP itu berarti ia bawa kunci. Ia tidak panik kalau HP-nya hilang atau ketinggalan. Ia kalang kabut kalau kunci tidak ada di tasnya, entah itu ketinggalan atau lupa mengunci. Jantungku berdebum keras sekali, dan beberapa detik aku masih melongo melihat ganggang pintu tak terkunci. Setelah sedikit waras, aku masuk ke rumahnya perlahan menyusuri ruang tamu, sambil terus memanggil Dewi pelan.
Apa maksudnya tidak mengunci pintu depan? Meski tidak ada maling, banyak penjahat mesum yang berkeliaran di sekitar sini dan dimana-mana. Masih tidak ada respon. Aku sudah tiba di depan kamarnya. Pelan-pelan kuketuk pintu itu, memanggil nama Dewi lagi. Karena tak ada jawaban aku melakukan hal yang sama seperti caraku membuka pintu depan.
“Dewi?” aku memanggilnya, menekan ganggang pintu lalu mendorong pintu, suara krek terdengar seram, tapi aku melihat sesuatu yang lebih menyeramkan dari itu. “Dewi!” panggilku sedikit keras.
Di atas kasur, ia rebah sepenuhnya, bibirnya biru, butir-butir keringat bertebaran di wajah. Rambutnya basah karena keringat, napasnya seperti orang yang berlomba lari. Aku mengguncang tubuhnya pelan, meski ia memakai jaket tebal aku bisa merasakan suhu panas di pundaknya. Sempat terpikir olehku dia makan racun. Sejenak kemudian aku mendengarnya meracau tidak jelas. Matanya sedikit terbuka, kemudian dengan setengah sadar ia menyadari keberadaanku.
“Anda di sini?” katanya lirih pecah-pecah, aku membantunya duduk.
“Makanlah sesuatu,” perintahku lembut. Ia menyandarkan tubuhnya pada tembok yang sudah tak jelas apa warna aslinya, sehingga aku terburu menyelipkan bantal.
“Saya tahu Anda akan ke sini,” kata Dewi hampir terdengar seperti berbisik karena suaranya parau. Aku tak menanggapinya dengan sungguh-sungguh, kupikir itu adalah semacam kewajiban rekan kerja yang menjenguk saat sakit. Tatapannya terpancang pada wajahku, seakan ia sedang menerjemahkan sesuatu di balik kulitku. “Saat memeluk Anda dulu, saya merasa pelukan ini tidak asing. Apakah Roh Pemandu dan semacamnya benar-benar ada?”
Aku mengangguk, sambil membuka bungkus makanan, mengambil sendok lalu bergegas menyuapinya. Tapi Dewi menolak, ia menyingkirkan bibirnya. Ia ingin aku menjawab pertanyaannya dulu, “ada,” jawabku ringkas.
“Apakah Anda salah satunya?” ia mendesah karena sakit. Aku mengangguk lagi. “Jadi sekarang Anda bukan manusia?”