ROLE PLAYER

Nada Lingga Afrili
Chapter #2

1. Pencarian Jati Diri

Bandung

Mengulang pendidikan adalah hal yang paling dihindari Ayka, namun hal tersebut tak dapat dihindari karena sebuah alasan yang relevan.

Ayka yang kini berumur 19 tahun terus menatap layar laptopnya dengan sangat frustasi. Sambil menyeruput jus stroberinya yang tak dicampur gula maupun susu kental manis itu, ia tetap mengutak-atik benda panjang nan tipis tersebut.

Gila, kalau kayak gini caranya mah buang-buang waktu banget, batinnya.

Ayka mulai menutup layar laptopnya, kemudian ia membereskan buku-bukunya yang kebanyakan berjudul "Teknik" itu. Direbahkannya tubuh ramping miliknya itu ke kasur berukuran 90 x 200 cm. Ia memejamkan matanya sejenak, berpikir kembali setelah ratusan kali otaknya digunakan untuk berpikir. Kemudian semua masalah yang ada di hidupnya ini berkumpul menjadi satu, semua masalahnya saat ini ada di dalam pikirannya. Menggumpal dan makin besar karena memang masalah-masalah tersebut tak kunjung selesai.

Masalah terbesarnya saat ini adalah urusan pendidikannya. Ayka harus pindah. Ia harus melanjutkan studinya di Jakarta.

Karena masalah keuangan? Bukan. Karena homesick? Bukan juga. Penyebab semua ini karena salah jurusan.

Ayka sudah tidak kuat menanggung beban pikiran yang hampir meledak itu. Hitung-hitungan adalah kelemahannya yang paling besar. Ayka bisa menghitung, namun hanya menghitung uang yang ia bisa-bahkan ia sangat jago dalam hal ini. Menghitung seperti dalam mata kuliah Kalkulus-lah yang membuatnya pusing tujuh keliling.

Layar laptop yang tadi menyala hampir lebih dari satu setengah jam itu menampakkan tabel nilai semester pertama Ayka kuliah di sini, di Bandung. Semua nilainya C, ada pula mata kuliah yang mendapat D. Hanya satu yang A yaitu Bahasa Indonesia.

Berkuliah di universitas pelopor engineering terbaik di Indonesia sekaligus universitas paling bergengsi membuat Ayka yang otaknya hanya bisa digunakan untuk membaca buku-buku karya Andrea Hirata dan Pramoedya Ananta Toer pusing bukan kepalang. Bahkan Ayka berani bertaruh dirinya takkan pernah mampu mengerjakan satu soal matematika yang teman kelasnya anggap "mudah". Benar, Ayka akan lebih memilih membaca puluhan buku dalam satu bulan penuh ketimbang diberi pilihan mengerjakan satu soal matematika dalam waktu 3 menit. Membaca soalnya saja bisa menghabiskan 5 menit untuk benar-benar mengerti apa yang dimaksud si pembuat soal tersebut, bagaimana Ayka akan mengerjakannya sampai soal tersebut bisa dinyatakan benar hasilnya?

Ayka menghela napas beratnya. Masih dengan memejamkan matanya ia berkata, "Hidup gini banget, sih...."

Coba saja 6 bulan yang lalu kedua orang tuanya mengizinkannya untuk memasuki jurusan yang ia mau. Coba saja hati kedua orang tuanya melunak saat ia mengatakan bahwa ia ingin berada di jurusan bahasa.

🌠

Malam harinya Ayka memutuskan untuk bicara pada kedua orang tuanya lewat telepon. Ayka sudah tidak sanggup meneruskan studinya di universitas itu, ia bahkan sudah tak sanggup lagi melihat angka dan rumus yang lebih banyak nantinya. Ia memutuskan untuk menyudahi semua kesia-siaan ini.

Lihat selengkapnya