Sesampainya di kost-an, mereka berenam langsung mengerjakan tugas mereka. Walaupun sedang menikmati masa liburan, para dosen memang selalu ada rasa tidak tenang melihat mahasiswanya bersenang-senang seperti itu. Rey dan teman-temannya diberi tugas sebelum memasuki perkuliahan semester dua. Sebagai orang yang tak ambil pusing permasalahan hidup seperti permasalahan perkuliahan, Rey hanya mengiyakan pesan dari Pak Harja kemudian mengajak teman-temannya untuk mengerjakan tugas bersama. Rey, Ikra, Toro, Farhan, Dimas, dan Adi mulai membuka laptop mereka masing-masing di ruangan paling depan yang kira-kira berluaskan 3 x 3 m itu.
Tugas-tugas mereka meliputi basis-basis data dan komputer. Itu sudah pasti karena Rey dan temen-temannya ada di dalam jurusan D3 Teknik Komputer. Rey memang senang dengan apapun yang berbau dengan komputer, dan D3 adalah pilihan yang tepat untuknya karena tujuannya memang ingin bekerja lebih dahulu daripada teman-temannya yang mengambil S1. Rey hanya ingin bekerja lebih cepat saja tanpa mencari tahu lebih dalam apa yang sebenarnya menjadi tujuan hidupnya.
Rey mempunyai riwayat hidup yang simpel dan bisa dibilang sangat beruntung. Dirinya masuk SD saat berumur 7 tahun lalu masuk SMP saat berumur 12. Di bangku SMP, Rey pernah disuruh seorang guru laki-laki untuk datang ke ruangannya usai kegiatan belajar mengajar selesai. Rey ditawari mengikuti tes untuk masuk ke kelas akselerasi oleh guru itu. Rey yang saat itu belum terlalu bisa membedakan mana yang harus disyukuri dan mana yang tidak hanya diam saja dan menerima tawaran dari guru tersebut.
Sesampainya di rumah, Rey bercerita pada mamanya—lebih tepatnya memberitahu, bukan bercerita panjang lebar.
“Wah, bagus dong? Terus terus Aa terima tawarannya?” Tanya si Mama antusias.
Rey mengangguk, “Iya.” Kemudian Rey beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badannya dari seluruh kotoran yang menempel padanya selama seharian di sekolah.
Selesainya ia mandi, mamanya masih lanjut bertanya-tanya tentang kelas akselerasi tersebut.
“Terus nanti Aa berarti sekolahnya cuma dua tahun aja, ya? Nggak sampai tiga tahun? Iya, kan?”
Rey menghela napas. “Iya, Mamaaa. Kenapa sih, emangnya?”
Mamanya langsung menatap Rey agak kesal. “Kamu tuh bukannya seneng malah biasa aja! Itu tuh rezeki tau! Harusnya seneng, harus disyukuri!”
Rey hanya mengiyakan semua perkataan mamanya. Tapi memang benar bahwa Rey tidak pandai membedakan mana yang harus disyukuri dan mana yang tidak. Rey menganggap bahwa dunianya terlalu datar, terlalu “biasa” untuk disyukuri seperti itu. Mungkin Rey bersikap seperti itu karena dirinya sudah dilahirkan dengan kemampuan otak yang cerdas. Entahlah, hanya Rey dan Tuhan yang tahu bagaimana rasanya menjadi seorang Revan Dinata.
Toro tiba-tiba membuka suara ketika tugas mereka sudah selesai dikerjakan, “Ieu jadina saha nu arek nyieun bumbu rujakna?” (Ini jadinya siapa yang mau bikin bumbu rujaknya?)
“Aing aja!” (Gue aja!) Dengan semangat Rey langsung beranjak dari duduknya kemudian melenggang pergi ke dapur.
Seketika langsung terdengar seseorang sedang mengulek dari dapur yang tidak lain tidak bukan adalah Rey. Ikra langsung menggelengkan kepalanya melihat begitu semangatnya Rey dengan rujak kali ini. Ngidam kali tuh anak, ya? Pikirnya.
Selama ini Rey belum pernah memikirkan cita-citanya mau jadi apa. Jika ada yang bertanya nanti mau jadi apa, ia akan selalu menjawab “Nggak tau, lihat aja nanti” sambil mengangkat bahunya.
Hannie:
Kamu pasti lagi makan ._.
Satu pesan masuk ke DM akun RP milik Rey dan dengan sigap Rey menyambar ponselnya yang tergeletak di samping ulekan yang penuh dengan sambal rujak itu.
Senyum Rey mengembang seketika. Kok, dia tau? ... Jadi seneng, batinnya berbunga-bunga.
sehun: