Secangkir teh manis hangat duduk manis di atas meja dengan mengeluarkan asap-asapnya yang menari seraya menguap ke atas. Namun teh tersebut bukan untuk Ayka minum melainkan untuk adik laki-lakinya yang usianya berjarak 4 tahun.
“Ngapain, sih, minum teh anget pagi-pagi? Udah kayak orang tua,” celetuk Ayka yang sedang duduk di sofa diiringi dengan kekehannya.
Hari Sabtu Ayka dan adiknya tak ada kegiatan apapun selain merebahkan tubuh di atas kasur sampai jam 9 pagi dan mengistirahatkan jiwa raga dari lelahnya kegiatan sehari-hari. Ya, itu kegiatan Ayka juga sebelum dirinya menjadi pengangguran. Sekarang Ayka setiap hari melakukan aktivitas tersebut secara berulang-ulang tanpa mengenal hari.
“Teh anget tuh bagus untuk tubuh, Mbak, untuk merelaksasi dan melancarkan peredaran darah kita,” sahut Sandi dengan gerak tubuh sok tahunya.
“Hih, Mbak nggak perlu minum teh anget juga udah lancar peredaran darahnya. Kebanyakan makan gorengan kali lo, jadinya darahnya macet!” Ayka melempar bantal kecil yang ada di sofa ke wajah Sandi.
Sandi dengan sigap menangkap bantal tersebut dengan kedua tangannya. “Yeuu, diam lo jelek!”
“Gue jelek lo lebih jelek lah!”
“Heh, sudah-sudah!” Tiba-tiba kakek keluar dari kamar tidur tamu seraya menyudahi pertengkaran Ayka dan Sandi.
Ayka masih belum puas. Ia menjulurkan lidahnya pada Sandi sekaligus menampakkan tampang menyebalkannya. “Wle!”
“Jelek!” Cibir Sandi.
“Heehh, sudaahh!” Teriak kakek. “Kalian tuh sudah pada gede masiiih aja suka berantem. Kenapa, sih?”
“Seru, Kek,” jawab Ayka.
Sandi mengangguk setuju, “Bener, Kek.”
“Ck ck ck,” si kakek hanya bisa menggelengkan kepala seraya berdecak.
Biasanya sebulan sekali kakek dan nenek menginap di rumah Ayka selama dua hari satu malam. Dikarenakan jarak rumah kakek yang dekat dengan rumah Ayka, kakek memutuskan untuk sering-sering berkunjung ke tempat cucuknya itu, untuk sekadar refreshing otak dari kesepian di rumahnya. Kakek dan nenek hanya tinggal berdua karena keempat anaknya sudah menikah dan anak terakhir mereka yang merupakan om Ayka dan Sandi memutuskan untuk tinggal sendiri di kontrakan dekat perusahaan di mana omnya bekerja. Jadilah si kakek dan si nenek hanya tinggal berdua dengan segala kesepian yang memenuhi atmosfer rumah mereka.
Bulan ini nenek tidak ikut menginap di rumah Ayka karena ada pesanan kue yang harus dikerjakan. Nenek adalah seorang nenek rumah tangga—karena nenek sudah menjadi nenek—yang mempunyai profesi sampingan yaitu penjual kue. Pelanggannya biasanya berasal dari tetangga-tetangganya. Kue-kue yang bisa nenek buat adalah kue lapis, kue madonna, kue bolu, bolu pisang, bolu pandan, dan masih banyak lagi. Nenek juga bisa membuat macam-macam makanan untuk acara keluarga atau nikahan seperti lemper, lontong, pastel, risol, sus, dan lain-lain. Ayka beruntung mempunyai nenek yang jago membuat kue-kue semacam itu karena Ayka adalah tipe orang yang suka memakan makanan gurih.
Kakek juga punya keahliannya sendiri. Kakek adalah seorang yang bisa dibilang dokter tapi tidak punya gelar dokter, dibilang bukan dokter tapi kakek bisa menyembuhkan suatu penyakit sekaligus kakek bekerja di sebuah rumah sakit di kampungnya dulu—sekarang kakek sudah pensiun dan menikmati masa tuanya di rumah bersama nenek. Jadi bisa dibilang kakek itu seorang mantri kesehatan. Tidak hanya bekerja di rumah sakit, kakek juga sering dipanggil ke rumah-rumah tetangganya untuk memeriksa kesehatan keluarga tersebut. Kakek dulu sangat terkenal di kampungnya karena keahliannya serta keramahannya. Hanya kepada nenek dan orang lain kakek bisa ramah, kepada anak-anaknya termasuk mamanya Ayka tidak begitu. Kakek adalah pemimpin keluarga yang berpendirian keras. Kakek galak kalau kata mamanya Ayka.
“Mamamu mana, Ka?” Tanya kakek pada Ayka yang sedang menonton kartun di TV. Hanya kakek dan nenek yang memanggilnya dengan sebutan “Ka” sedangkan yang lainnya memanggilnya dengan sebutan “Ay”.
Ayka menoleh singkat ke arah kakek yang berjalan pelan ke dapur. “Ke pasar kayaknya. Kenapa, Kek?”
“Nggak, nanya doang.” Kakek mengambil gelas lalu menuangkan air mineral ke dalamnya. Kakek duduk di hadapan Sandi yang masih saja menikmati secangkir teh hangatnya sambil mengutak-atik ponselnya. Kemudian kakek meminum air itu sampai habis. “Kamu tuh ngapain sih, San? Dari tadi kerjaannya mantengin layar hapeee terus. Nggak capek apa matanya?”
“Itu Mbak Ayka juga main hape terus, kok, nggak diomelin?”
Seketika kakek menoleh ke arah cucuknya yang sedang asyik bermain dengan ponselnya. Ayka yang merasa dilihati dua orang yang ada di dapur itu langsung melihat balik mereka. Seketika cengiran mengembang di bibirnya—tanpa merasa bersalah.
“Hadehh. Dasar, ya, anak zaman sekarang tuh kerjaannya cuma sama hapeee aja. Pasti hape kalian nggak pernah lepas dari tangan kalian, kan?” Kakek menodong Ayka dan Sandi dengan pertanyaan tersebut.
Keduanya hanya membalas pertanyaan kakek dengan sebuah cengiran menyebalkan. Kakek pun hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala.
Ayka kembali fokus pada layar ponselnya. Kembali melengkungkan senyum di bibirnya. Jantungnya kembali berdebar. Sehun membuatnya bahagia. Saaangat bahagia.
🌠
KENAPA SIH, ANJRIT DIA LUCU BANGET?! Hati Rey menjerit tak karuan.
Ini sudah pukul 10 malam, namun Rey belum juga menutup rapat matanya karena seseorang yang sudah membuatnya senyam-senyum seharian ini. Hannie alias Ayka sudah membuat Rey mabuk cinta seharian penuh. Tingkahnya yang menggemaskan selalu berhasil mengubah suasana hati Rey yang datar menjadi berbunga-bunga. Sudah sebulan lebih ia mengenal Hannie, dan sudah selama itu pula Rey berhasil membuat hidupnya penuh warna.
sehun:
han, di sana hujan ga?
Hannie:
Gak :( lagi panas malah, gerah banget padahal udah malem
sehun: