ROLE PLAYER

Nada Lingga Afrili
Chapter #20

19. Cocok Jadi Psikolog

Hari ini gue nggak jadi ke kampus dikarenakan rapat himpunan tiba-tiba diundur seenak jidat. Tapi nggak apa-apa, gue masih bisa nongkrong sama temen-temen gue di kedai mie ayam langganan. Sebenarnya gue akan lebih memilih untuk langsung pulang ke rumah, rebahan, dan ngobrol sepanjang hari dengan Hannie, tapi hari ini Hannie lagi kursus bahasa Korea di kampusnya.

Gue seneng kalau lihat dia lagi belajar gitu—maksudnya bukan lihat secara langsung, lebih tepatnya seneng saat tau dia lagi belajar sesuatu. Entah kenapa ada rasa bangga tersendiri yang hadir di hati gua saat tau dia rajin kayak gitu.

Hannie udah ceritain semuanya ke gue, tentang masa lalunya. Kali ini bukan masalah percintaan melainkan studinya. Soal tempat kuliahnya yang pindah dari Bandung ke Jakarta, sampai saat kuliah hari pertama di sana. Hannie selalu semangat kalau lagi cerita tentang studinya. Paling semangat kalau udah bahas tentang kursus Korea-nya. Katanya dia malah lebih semangat buat kursus ketimbang kuliah.

Hannie:

Aku gak sabar mau cepet-cepet les bahasa Korea 😳

sehun:

kamu les Korea ga sabar, giliran kuliah kayaknya biasa aja wkwk :')

Hannie:

Iyaaa 😃 habisnya kan dari dulu cita-cita aku sebenernya pengin jadi translator bahasa Korea

Tapi gara-gara papa nggak ngizinin kuliah yang macem-macem yaaa ya udah gak jadi kuliah jurusan Sastra Korea :')

Dia suka banget sama yang namanya Sastra. Suka banget sama bahasa Indonesia beserta pelajarannya. Katanya, kita itu harus bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar karena kita orang Indonesia. Dia juga pernah bilang kalau sebenarnya pelajaran bahasa Indonesia itu mudah, yang bikin susah adalah mindset kita yang beranggapan bahwa bahasa Indonesia terlalu membosankan. Jadi, sebanyak apapun kita belajar tentang bahasa Indonesia, kalau kitanya nggak belajar karena niat ya nggak akan bisa.

Hannie itu orang yang pertama kali membuat gue bisa berpikir lebih luas, lebih terbuka. Gue akuin kalau selama ini gue berpikir hanya dari satu sudut pandang. Gue cuma percaya apa yang gue lihat, dan gue pikir itu cukup bagus untuk hidup gue. Tapi setelah mengenal sosok Hannie dengan segala kecerdasannya dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan gue yang kadang melewati batas normal, gue baru sadar bahwa hidup dengan moto seperti itu juga nggak cukup.

Lihat selengkapnya