Rey menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia memejamkan matanya sambil mengatur napasnya. Hirup, buang. Hirup, buang. Begitu seterusnya. Sepertinya otaknya benar-benar tak bisa berpikir jernih lagi. Rey butuh asupan untuk berpikir lebih jauh. Ia merasa harus pergi keluar untuk membeli makan siangnya.
"Mau ke mana, A?" Suara si mama terdengar saat kakinya melangkah keluar pintu rumah.
"Beli makan," sahut Rey singkat. Kemudian Rey menghilang dari penglihatan mamanya.
Dalam perjalanannya, Rey berpikir makanan apa yang hendak ia beli. Ia bingung karena banyak sekali makanan di pinggir jalan, apalagi makanannya enak-enak.
Rey selalu membeli makan sendiri. Mamanya jarang masak karena mamanya memang tak terbiasa memasak, dan Rey tak memusingkan hal itu. Menurut Rey dan Sasa, masakan mama kurang sedap rasanya. Kadang kurang asin, kurang manis, atau kurang gurih. Mungkin itu karena mama dan ayahnya menikah muda. Jadi, mungkin mama dulu belum siap menjadi ibu yang akan memasakkan makanan setiap hari untuk keluarganya.
Rey tak pernah mengeluhkan hal itu. Bahkan saat masakan mama waktu itu rasanya sangat hambar, Rey dengan sekuat hati menahan mulutnya untuk mengatakan hal-hal yang dapat menyakiti hati mamanya. Ayahnya mengajarinya sejak kecil bahwa Rey tidak boleh mengomentari masakan mama. Mama akan sangat merasa sedih jika masakannya tidak memenuhi kebutuhan anak-anaknya walau mama tahu betul bahwa masakannya memanglah tak pernah bisa seenak masakan yang orang-orang jual. Maka itu, mama selalu memberi Rey dan Sasa uang jajan lebih untuk membeli makan di luar. Ayah juga tak memusingkan hal itu, ayah selalu ingin berusaha menjadi ayah yang baik bagi keluarganya. Ayah selalu melakukan apapun demi membahagiakan keluarganya, terutama menyenangkan hati istrinya.
"Nasi ayam bakarnya satu, ya, Teh."
"Siap! Pake rendang nggak?"
"Nggak usah, Teh, bumbunya aja banyakin."
Rey mendudukkan bokongnya di kursi panjang dekat si Teteh yang sedang melayani semua pelanggan. Napasnya menghembus pelan, hampir tak terdengar seperti hembusan karena Rey memang sengaja memelankan hembusan napasnya.
"Kenapa atuh, A?"
Seketika Rey menoleh ke arah suara. Ia sedikit kaget sehingga hanya kerjapan matanya yang dapat menjawab pertanyaan si Teteh penjual nasi padang itu.
Ternyata si Teteh sedari tadi memerhatikan gerak-gerik dan ekspresi Rey yang amat lesu dan terlihat seperti tak ada gairah hidup. "Ditinggal cewek, ya?" Si Teteh menahan tawanya saat melihat reaksi Rey yang agak terkejut itu.
Rey senyam-senyum tak karuan untuk menutupi hal yang seharusnya tak perlu ia tutupi karena Rey memang sedang tidak ditinggal kekasihnya melainkan ... merasa akan ditinggal kekasihnya.
Rey tertawa hambar. "Nggak atuh, Teh, masa ganteng gini ditinggal cewek."
"Oohh," Teteh penjual nasi padang tersebut tampak terkejut. "Jadi bener, ya, udah punya cewek sekarang?"
Bisa dibilang bener, bisa dibilang nggak juga.
"Yaa ... gitu deh."
Sambil mengikat bungkusan nasi dengan karet berwarna hijau pekat, si Teteh bertanya lagi, "Temen sekelas, ya? Cieee akhirnya punya pacar juga."
"Bukan, Teh." Rey tersenyum.
Bukan temen sekelas, bukan temen satu kota juga, Teh. Pacar saya... saya juga nggak tau wujudnya kayak apa.
"Kamu sekarang udah makin gede aja kelihatannya, ya? Udah punya pacar lagi," Teteh masih bicara seputar pacar Rey. Lalu ia memberikan satu kantong plastik berisi pesanan Rey. "Oh iya, pacar kamu teh cantik, ya? Ah geulis pisan pasti mah! Ya, kan?"