Kemarin adalah hari yang paling indah di dalam hidupku. Aku diantar pulang Rey naik motornya sampai ke depan gedung hotel dan dia bilang “Istirahat yang cukup, ya, jangan sampai kecapekan” padaku. Entah sihir apa yang dia pakai sehingga aku bisa sesenang ini. Aku merasa aku akan hidup bahagia selamanya jika terus bersama dia.
Akhirnya aku mengenal keluarga Rey. Mamanya yang lucu, ayahnya yang menyenangkan, dan adiknya yang sampai saat ini belum bisa akrab denganku. Bagai pinang dibelah dua, sungguh, wajah mereka sangat mirip! Rey dan adiknya yang bernama Sasa itu layaknya satu wajah yang hanya berbeda gender. Aku sampai bertanya padanya apakah mereka kembar atau bukan, dan Rey menjawabnya dengan sangat tegas “Bukan. Hih males banget kembaran sama dia.”
Aku baru tahu Rey adalah orang yang sangat pendiam. Walau sudah ada aku di sampingnya, Rey tetap diam kalau tidak kuajak bicara duluan. Namun kalau sudah kuajak bicara, Rey akan terus melanjutkan pembicaraan sampai kami tertawa terbahak-bahak akibat imajinasi liar kami. Dan kata Rey itu adalah sebuah keajaiban. Biasanya dia takkan mau bicara apa-apa dengan orang lain, apalagi orang yang baru pertama kali ia temui seperti aku kemarin. Katanya, aku adalah orang pertama yang bisa langsung akrab dengannya di kali pertama bertemu. Rey juga bilang bahwa aku lucu dan selalu bisa membuatnya terpingkal-pingkal hingga perutnya kram.
Aku senang sekali bisa mengubah si dingin Rey hingga seperti itu—walau hanya di depanku saja. Setidaknya Rey bisa bersikap lembut dan periang juga seperti orang lain.
Sukabumi adalah kota yang biasa saja seperti kota yang lain. Yang membuatnya tidak biasa adalah udaranya yang sejuk dan orang-orangnya yang ramah. Walau tidak semua ramah—kata Rey—tapi aku tetap merasa bahwa orang-orang di sana sangat ramah apa lagi terhadap orang dari luar Sukabumi. Mereka sangat mempersilakan pengunjung untuk menikmati liburannya di sana. Gaya bicara orang Sukabumi yang notabene adalah suku Sunda membuat Ayka sering senyam-senyum sendiri karena selalu teringat akan sosok Rey yang sampai saat ini masih membekas di ingatannya.
Aku sudah pulang dari Sukabumi sekitar dua hari yang lalu, namun jejak memori yang telah kuukir bersama Rey di sana masih saja terasa baru beberapa detik yang lalu diukir indah. Rey tidak mengantarku ke stasiun karena beberapa hal yang tak bisa dia tinggalkan begitu saja. Salah satu urusan kuliahnya yang mengharuskannya untuk hadir di kampus di saat yang bertepatan dengan kepulanganku ke Bekasi.
Tak apa, ada Zahra yang menemaniku. Dia baik, sangat baik. Zahra menodongku dengan puluhan pertanyaan seperti “Gimana tadi?” “Ketemu sama dia?” “Ganteng nggak???” “Baik orangnya?” atau “Dia ngomong apa aja?”
Pertanyaan-pertanyaan itu kujawab saat kami di kereta dalam perjalanan pulang. Dan kujawab semua pertanyaan itu dengan sabar dan penuh kebahagiaan. Zahra senang mendengarnya, apa lagi saat aku memberitahunya bahwa Rey adalah cowok paling tampan yang pernah kutemui seumur hidupku. Lalu kuperlihatkan fotonya saat wisuda—yang mana di foto itu ada aku di sebelahnya. Zahra langsung teriak histeris sampai-sampai semua penumpang kereta yang satu gerbong dengan kami menoleh ke arah kami dengan tatapan agak sinis. Aku hanya tertawa melihat reaksi penumpang yang satu gerbong denganku karena menurutku itu hal paling seru yang pernah kualami. Mendengar Zahra disinisi seisi gerbong membuatku cekikikan tak karuan.