ROLE PLAYER

Nada Lingga Afrili
Chapter #41

40. Berkecamuk di Kepala

Gue nggak pernah merasa sebingung ini sama situasi. Biasanya gue akan menyelesaikan masa dengan kepala dingin dan hati yang santai. Pikiran yang lurus serta waktu yang amat sedikit dibutuhkan. Namun pagi ini semua terasa beda. Metode yang selama ini gue pakai ternyata tidak berguna untuk masalah yang satu ini.

Secangkir kopi panas—yang sekarang sudah dingin—di hadapan gue bahkan nggak bisa membuat gue bisa berpikir jernih. Aroma kopi yang merasuk ke dalam indera penciuman gue nggak mampu untuk menghancurkan kegelisahan dan kebingungan yang sedang menguasai diri gue saat ini. Aroma itu hanya lalu lalang di dalam tubuh gue tanpa memberi efek relaksasi.

“Aku harus menikah, tahun depan.”

Kalimat itu terus mengiang-ngiang di kepala gue. Layaknya ombak yang terus mengguyur pasir pantai yang tak pernah dapat kering sepenuhnya. Setiap gue mencoba untuk melupakan apa yang kemarin pagi Hannie bilang ke gue, gue malah semakin mengingatkan dan terus semakin memikirkannya. Semuanya berkecamuk di kepala.

Kantor gue pagi ini terasa sangat sepi. Entah karena teman-teman gue sengaja meliburkan diri atau memang merekanya saja yang ingin telat. Tapi rasanya ruang kerja gue pagi ini memang sangat kosong, hampa. Atau karena masalah itu? Jadinya gue terus-terusan merasa sendirian padahal dari tadi banyak orang yang ke sana ke mari ngurusin pekerjaan mereka masing-masing?

Ah bisa gila gue.

Menikah? Sumpah, gue sama sekali belum kepikiran sampai ke sana.

🌠

“Pak Rey, dokumen yang tadi udah di tanda tangan sama Pak Agung?” Ucap salah satu rekan kerjanya yang melewati biliknya.

“Udah, kok.”

“Ya udah bagus deh,” sahutnya. “Hmm, Pak?”

“Iya?” Rey mengindahkan pandangannya dari laptop ke wajah rekannya yang bernama Sari itu.

Wajah Sari memerah dan terlihat malu-malu. “Mau ikut makan siang bareng saya, Bu Ratna, sama Pak Randy nggak?”

Ajakan tersebut tak dapat Rey hindari karena dirinya memang sedang sangat lapar akibat memikirkan hal yang membuatnya berpikir terus-terusan. Ia sampai di kantin dengan ketiga rekan kerjanya. Dengan masing-masing pesanan mereka di hadapan mereka, mereka mulai menyantap hidangan tersebut dengan sangat menikmati. Hingga akhirnya Sari membuka percakapan di tengah santapan mereka belum selesai.

“Pak Randy gimana nih sama Bu Jeje? Udah ada kemajuan belum?”

Semuanya yang ada di meja itu tiba-tiba saja senyam-senyum memandang Pak Randy, termasuk Rey.

“Iya nih Pak Randy pergerakannya jangan lama-lama dong, nanti Bu Jeje keburu diembat orang lho!” Ujar Ratna menggebu-gebu, sudah seperti dirinya saja yang sedang digencar padahal bukan.

Rey hanya terus memerhatikan teman-temannya itu dengan mulut yang terus mengunyah dan mata yang terus melihat ke Randy, Sari, dan Ratna secara bergantian.

“Ah saya mah pelan-pelan sukanya, gak suka seradak-seruduk jebret langsung jadi. Biarpun keliatan kalau dikasih lampu hijau, saya tetep mau ngedeketinnya secara perlahan biar dia tau kalau saya tulus sama dia dan biar nggak terlihat buru-buru.”

Ketiga rekannya tertawa, Randy pun ikut tertawa setelah sadar bahwa perkataannya patut ditertawai.

“Oohh jadi gitu,” ujar Sari. Matanya kini melirik ke arah Rey. “Kalau... Pak Rey?”

Seketika ketiga pasang mata itu beralih pada Rey yang memandang balik mereka dengan tatapan bingung. “Saya? Kenapa?”

“Kalau Pak Rey, udah punya gebetan belum?” Lanjut Sari tidak mengenal malu.

Ratna dan Randy saling melirik dan kemudian menahan tawa kecil mereka. Rey tau kedua rekan kerjanya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Namun yang lebih menarik perhatiannya adalah Sari yang kini memandangnya dengan tatapan penuh harap dan keceriaan. Ia bingung kenapa Sari akhir-akhir ini menatapnya seperti itu.

“Nggak punya.”

Punyanya Hannie, batinnya.

Wajah Sari seketika makin memerah dan sumringahnya sampai membuat Rey semakin bingung akan tingkahnya.

Dia suka sama gue, ya? Dih, kok, dari tadi dia ngeliatin gue mulu, sih? Ini cewek kenapa, sih?

“Hmm berarti Sari punya kesempatan dong, yaa?” Celetuk Ratna tiba-tiba. Sari dan Ratna memang teman dekat, maka itu mereka hanya memanggil nama tanpa embel-embel ‘Bu’.

Sari langsung mencubit tangan Ratna dengan cepat dan memelototi Ratna. “Ih apaan, sih, Na?” Kemudian ia memandang Rey kembali dengan tatapan malu-malu. Sungguh tipikal orang munafik yang memperhalus keadaan.

Lihat selengkapnya