Kaki panjang itu terasa sangat kaku. Sakit. Sendi-sendi kaki dan badannya terasa amat nyeri. Sekitar 12 jam lebih ia tempuh demi menjajakkan kaki di tanah lahirnya, Sukabumi.
Ada dua perempuan yang kini sedang ia pikirkan. Dua perempuan yang menyayanginya sepenuh hati. Dua perempuan dengan keinginan yang saling bertolak belakang. Dua-duanya orang yang paling ia sayang. Orang pertama adalah Ayka dan orang kedua adalah mamanya sendiri.
Mama dan ayahnya tidak tahu bahwa ia sudah sampai di Stasiun Sukabumi. Mama dan ayahnya tidak diberi kabar lebih dulu akan kepulangan anak laki-laki kesayangannya itu. Rey sengaja tak memberitahu kedua orang tuanya sekaligus tidak berniat memberitahukannya karena mereka akan sibuk sendiri. Rey tak mau menyusahkan orang lain. Rey tak suka hal-hal yang ribet.
Rey memesan taksi online untuk mengantarnya pulang ke rumah yang sangat ia rindukan itu. Sudah 5 bulan ia tak pulang ke rumah karena pekerjaan benar-benar mengontrol kehidupannya. Rey menikmati perjalanannya di dalam taksi itu dengan kegugupan yang menyeruak. Hatinya gelisah. Pikirannya hampir buyar jika sang driver taksi tidak mengajaknya bicara sesekali. Berkali-kali ia mengecek layar ponselnya. Ia belum mendapatkan balasan pesan apapun dari Ayka sejak kemarin. Sejak Zahra memberitahunya tentang rencana pertunangan itu.
Perjalanan pun usai. Rey telah sampai di depan rumah kesayangannya. Sejenak ia berdiam di depan pagar yang sudah terlihat tua itu. Bagaimana bisa ia sangat merindukan pagar besi yang sudah karatan di mana-mana yang kini berada di depannya? Bagaimana bisa jantungnya saat ini berdegup kencang tidak karuan padahal ia sudah berkali-kali bolak-balik pulang ke rumah? Bagaimana bisa ia ragu ingin melangkahkan kakinya untuk masuk atau tidak ke dalam rumah tersebut?
Sepanjang perjalanan menuju rumah, saat Rey masih berada di dalam kereta, Rey terus memikirkan kata-kata apa yang cocok untuk mengawali pembicaraannya dengan kedua orang tuanya. Sudah seperti akan berbicara dengan HRD saja, gugupnya selangit.
Kaki itu akhirnya mulai melangkah. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah, ia membuka pagar tersebut dengan sangat perlahan. Pelan seperti maling yang akan melancarkan aksinya. Pelan agar tak terdengar orang yang ada di dalam. Langkah keempat, lima, enam, sampai entah berapa langkah sudah ia tempuh dan akhirnya ia berhasil berdiri di depan pintu rumahnya. Tangannya mulai terangkat untuk mengetuk, tapi masih tertahan oleh sesuatu. Akhirnya tangan itu hanya mengambang tanpa berhasil mengetuk. Rey masih berpikir. Kebiasaan buruknya muncul lagi. Laki-laki itu selalu banyak berpikir sebelum bertindak, tidak seperti kekasihnya yang selalu bertindak dahulu dan mengenyampingkan hasilnya.
Cklek!
Tiba-tiba pintu terbuka, namun bukan Rey yang membuka pintu tersebut melainkan mamanya. Kedua pasang mata itu menyatu. Mereka berdua mematung untuk sejenak.
Rey mengerjapkan matanya dengan wajah datarnya seperti biasa. "Assalamualaikum, Ma." Tangannya yang tadi hanya diam melayang kini ia arahkan ke sang mama.
Si mama merasa syok atas kehadiran anak kesayangannya itu. Beberapa detik kemudian barulah mama sadar untuk sepenuhnya.