Sehari sebelum kepulangannya, beberapa jam sesudah pembicaraan teleponnya dengan Zahra, Rey langsung buru-buru menyelesaikan tugasnya. Buru-buru membereskan segala yang ada di meja kerjanya. Buru-buru cuci kaki, cuci muka, gosok gigi, lalu merebahkan diri di atas ranjangnya.
Tidak. Rey tidak memejamkan matanya. Ia hanya merebahkan segala penat dan kebingungan yang melandanya. Rey bahkan sampai tak nafsu makan malam ini. Kepalanya terus berpikir, namun ia tak tahu ia sedang berusaha memikirkan apa.
Tunggu.... Kalau keadaannya kayak gini, berarti Ayka bakalan... ah! Nggak nggak! Belum tentu juga Ayka mau sama itu cowok. Tapi, kan... tadi kata Zahra cowok itu harapan terakhir bokapnya.... Aduh anjir gimana, ya?
Tiba-tiba entah kenapa Rey merasa harus menyalakan laptopnya. Membuka fitur video call dari laptopnya. Menelepon seseorang yang seharian ini membuatnya merasa sangat putus asa. Sebenarnya yang paling merasa putus asa siapa? Rey... atau Ayka?
Malam itu jarum jam sudah menunjuk ke angka 10. Seharusnya sejak sehabis Maghrib tadi Ayka sudah membalas DM-nya. Namun Ayka yang dinanti Rey tak kunjung muncul. Notifikasi ponselnya hanya memperlihatkan SMS-SMS mama minta pulsa dan email-email yang menumpuk. Saat ia sedang memikirkan mengapa Ayka tak kunjung membalas DM-nya, tiba-tiba Ayka mengangkat telepon. Tepat di hadapannya saat ini, ia melihat wajah cantik Ayka. Setelah sekian lama tak melihat wajah cantik itu, akhirnya Rey melihatnya juga. Tenang. Damai. Hati Rey terasa hangat kembali.
"Hai," sapa Ayka dengan senyum manisnya.
Senyuman itu....
Rey membalasnya dengan senyuman yang sepadan. "Hai, Cantik."
Keduanya sejenak terdiam. Lagi-lagi terdiam. Aneh. Padahal mereka berdua sedang saling membutuhkan. Sedang saling merindukan. Namun masing-masing dari mereka menahan sesuatu yang tak boleh keluar saat sedang saling menatap lewat layar seperti ini. Dan Rey tak mau membiarkan Ayka menunggunya lebih lama.
"Kamu lagi ngapain?"
"Lagi diam aja sambil dengerin lagu lewat laptop, terus tiba-tiba kamu nelepon deh." Ayka tersenyum senang walau ada yang kurang dari senyumannya saat ini. "Kalau kamu?"
"Aku? Aku kenapa? Ganteng?"
"Iiihh!"
Keduanya tertawa. Rey senang. Ia sukses membuat pujaan hatinya tertawa. Tawa itu memikat. Rey sampai kepayang menahan rasa gemasnya.
"Kamu lagi ngapaiiin?" Tanya Ayka memperjelas.
"Lagi kangen pacar aku, makanya sekarang aku ada di sini."
Ayka merona. Senyumnya sedikit ditahan namun Rey dapat melihatnya dengan jelas.
"Rey...."
"Iya, Sayang?"
"Tadi aku habis jalan-jalan sama anaknya temen Papa," Ayka langsung menunduk. Mengucapkan kejujuran itu saja sudah membuatnya melemas. Ayka takut Rey cemburu. Ayka sangat takut kehilangan Rey meski ia tahu Rey tak begitu menginginkannya.
"Aku tau, kok."
"Eh?"
Seketika Ayka mendongak. Melihat ke arah layar laptopnya lagi. Menatap Rey yang baru saja mengatakan bahwa ia tahu semua yang sudah Ayka katakan. Menatap mata hitam legam itu dengan perasaan takut, Ayka makin ciut.
"Kamu tau? Tau dari mana??" Tanyanya lemah. Pelan. Takut.
"Zahra yang ngasih tau. Tadi siang dia nelepon aku, dia ngasih tau karena kamu katanya takut buat ngasih tau ke aku. Kenapa takut, Sayang?"
Wajah Ayka mengerut. Kesedihan menghiasi wajah cantik itu. Rautnya seperti sudah siap menangis.
"Aku takut kamu marah...." Suaranya bergetar karena menahan tangis. Matanya sudah memerah. "Jadinya aku bingung mau bilang atau nggak.... Tapi aku udah niat bilang ke kamu, kok! Ini buktinya aku tadi mau ngasih tau kamu."
Rey terkekeh melihat Ayka yang saat ini sedang setengah mati menahan rasa takut di depannya. Wajah takutnya membuat Rey semakin ingin mendekapnya walau hanya lewat layar.
"Nggak apa-apa, Sayang, aku ngerti," katanya lembut. "Jadi, tadi gimana jalan-jalannya? Lancar?"
"Kok, kamu nanyanya gitu?" Ayka kembali berangsut sedih.