Senja membentang di angkasa. Awan-awan putih kian berubah menjadi kejinggaan. Jingga yang seharusnya menemani seluruh manusia yang tengah menengadah ke atas menikmati penghujung hari. Jingga yang seharusnya membuat semua manusia tersenyum hangat sambil melewati sore yang berseri. Jingga yang memang sejatinya selalu berhasil membuat semua orang terkagum, tersenyum.
Mungkin yang sedang ditatap Ayka sore ini bukanlah jingga yang biasanya datang. Mungkin jingga yang gembira itu tak datang hari ini, jingga yang gembira itu tak menemui Ayka untuk hari ini.
Sudah sejak beberapa menit yang lalu ia hanya diam di depan jendela besar yang berada di sisi samping kamarnya itu. Menopang tubuhnya dengan kedua telapak tangan yang ditekankan ke besi penghalang. Senja itu mengantarkannya pada kesedihan yang mendalam.
Air mata mengalir di sisi kanan pipinya. Tak lama kemudian sisi kirinya juga dialiri air mata berikutnya. Sesak sekali. Kenapa hidupnya yang hampir dikata sempurna ini harus berakhir sampai di sini? Mengapa kehidupan sempurna yang sejak dulu ia idam-idamkan tak mau menghampirinya?
Dada itu semakin sesak. Napasnya tak beraturan lagi. Ayka menggigit bibir bawahnya kuat. Menahan suara keluar dari isaknya.
Suara pintu terbuka dan tertutup setelahnya terdengar. Ayka enggan menoleh, ia masih ingin merasakan pedihnya hidup ini. Suara langkah seseorang terdengar mendekatinya. Orang itu mengambil tempat tepat di sebelah Ayka. Memandang Ayka iba, mengusap punggung itu dengan lembut.
Ayka seketika menoleh. Usapan itu berdampak besar untuknya. Air matanya semakin deras. Ia menatap sepupunya itu dengan wajahnya yang paling menderita.
“Zahra....”