ROLE PLAYER

Nada Lingga Afrili
Chapter #49

48. Keputusan Mama

Kembali ke realita. Kenyataan yang harus dihadapi sudah menunggu di depan mata. Tidak boleh menoleh sedikit pun kalau sudah maju dengan segala tekad yang ada.

Sudah sehari berlalu. Menggantung. Mama tak kunjung memberi jawaban ataupun izinnya sampai matahari pagi ini terbit. Dan untungnya masih terbit dari timur. Rey selalu menghela napasnya tiap melihat mamanya mondar-mandir ke sana ke mari dengan tangan yang selalu sibuk menyiapkan ini itu untuk sarapan pagi. Bagaimana ia tak selalu menghela napasnya? Mama sama sekali tak mau menoleh ke arahnya. Bahkan saat berpapasan, mama benar-benar menyibukkan dirinya dan menjauh dari tatapan Rey selama mungkin.

Rey selalu berusaha membangun percakapan kecil agar suasana hati mamanya tidak seburuk tadi malam saat ia meminta izin menikah. Namun tiap berpapasan dengan mama, Rey hanya bisa sampai di tahap mulutnya terbuka tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Nihil. Otak Rey bekerja dengan cepat tentang apa saja yang akan ia lakukan dan ia katakan kepada mamanya pagi ini, namun sang mama seperti tak mau menerima apapun yang akan dilakukan dan dikatakan oleh anak kesayangannya itu. Nihil. Tak ada yang keluar dari mulutnya sedikitpun. Alhasil kata-kata dan permintaan maaf yang sudah ia rangkum sedemikian rupa di otaknya hanya menjadi angan-angan yang tak terucap. Tak terealisasikan.

Lelah. Rey mendudukkan dirinya di bangku kecil yang berada di teras rumahnya. Bangku kayu itu ada dua dengan meja kecil di antara keduanya. Ya, memang tadinya Rey sendirian duduk di situ, namun seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya tanpa mengucap apa-apa.

"Udah mandi kamu?"

"Udah, Yah."

Ayah terlihat normal hari ini. Seperti ayah yang biasanya, berbeda dengan mama. Wajah ayah berseri menatap burung-burung berlarian riang. Wajah ayah tenaaang sekali, seperti tak ada beban yang ditanggung lelaki berusia 40 tahun itu.

"Mama masih nggak mau ngomong?" Tanya Ayah memecah keheningan.

Rey menggeleng lemah, "Nggak." Mengusap gusar wajahnya.

Ayah terkekeh. Rey menoleh heran melihat ayahnya seperti itu.

"Kamu tuh tau nggak kenapa mama begitu?" Kata ayahnya tanpa melihat ke arahnya.

Rey menggeleng. Matanya memandang langit pagi dengan sendu, seperti tidak peduli dengan apa yang akan dikatakan ayahnya namun seperti penasaran setengah mati pula degup jantungnya. Kini mereka berdua sama-sama memandang langit yang sama. Langit yang selalu tahu akan isi hati mereka. Langit yang selalu menghibur maupun menemani.

Ayahnya menghela napas. Tersenyum menahan kekehannya. "Mama itu cuma takut kamu pergi ninggalin dia. Mama gitu-gitu peduli sama kamu, Rey. Sayang banget malah. Kamu tau sendiri di antara kamu sama Sasa yang paling disayang siapa."

Kata-kata itu asing. Yang Rey tahu adalah mama yang suka mengatur jalan hidupnya tanpa ia bantah. Namun ternyata semua salah, mama melakukan semua itu memang karena mama sayang pada anaknya. Mama hanya mau Rey menjadi anak yang sukses dan dapat membahagiakan orang tuanya. Itulah yang dapat Rey petik dari pernyataan ayah tadi.

Rey menoleh. "Terus definisi aku hidup apa, Yah? Buat jadi teman hidup Mama selamanya?" Tanya Rey sarkas.

Ayah tertawa. "Kata siapa? Teman hidup? Teman hidup Mama, ya, cuma Ayah. Kamu itu bukan teman hidup Mama, kamu itu anak Mama. Darah daging yang keluar dari rahim Mama."

Rey sedikit tertohok. Ia sekarang merasa bersalah sudah berkata begitu di depan ayahnya. Ditelannya ludah itu untuk membasahi kerongkongannya yang mengering akibat rasa bersalah.

"Rey," sang ayah berucap kembali. "Coba sekali-sekali kamu peduli sama Mama. Kamu perhatiin Mama. Lihat Mama maunya apa. Lihat Mama maunya gimana. Semua nggak selalu tentang Mama, Rey. Mama juga mau memberikan yang terbaik untuk kehidupan kamu. Orang tua mana yang tega melihat anaknya nggak bahagia?"

Percakapan singkat pagi itu selesai karena sarapan sudah selesai dibuat. Mereka berempat makan seperti biasa. Bedanya hanyalah mama yang sedikit lebih pendiam dari biasanya.

🌠

Setelah acara sarapan selesai, mama masuk ke dalam kamarnya. Rey mengikuti diam-diam. Pintu ditutup olehnya secara perlahan hingga membuat mama menoleh ke arah pintu dan mendapatkan Rey yang berjalan mendekat ke arahnya. Mama duduk di pinggir kasur sambil pura-pura membenahi selimut.

Rey menelan ludahnya berkali-kali. Takut akan ditolak lagi. Kemudian ia duduk di samping mamanya dengan jarak 50 cm.

"Ma...."

"Apa?" Sahut mamanya cuek. Tangannya masih sibuk pura-pura berbenah.

"Mama takut Aa ninggalin Mama, ya?"

Lihat selengkapnya