Rintik hujan turun menciptakan aroma khas pada aspal jalanan yang telah tersengat terik matahari hampir satu hari penuh. Indah dan Kakaknya, Aldi, menunggu bus di halte seraya berteduh.
“Puas nggak hari ini jalan-jalannya?”
Indah termenung larut dalam lamunannya. “Apa selamanya Mama nggak akan suka Indah ya, Kak?”
Aldi yang tidak mendapati jawaban dari pertanyaannya, malah dibuat terkejut dengan pertanyaan balik sang Adik. Ia tahu betul bagaimana perasaan Adiknya saat ini. Aldi menghela napas. “Kamu benci Mama?”
Indah menatap Kakaknya. “Nggak akan pernah.”
Senyum membentuk garis lekung pada bibir Aldi, salut pada kebesaran hati Adiknya yang masih berusia 13 tahun.
“Tapi Kak, apa suatu hari nanti Indah akan mendapat kasih sayang dari Mama?” Pertanyaan berikutnya membuat dada Aldi sesak, karena ia sendiri tidak tahu jawabannya.
Bus berwarna biru berhenti tepat di depan halte tempat mereka berteduh. Beberapa penumpang yang searah dengan jurusan bus tersebut, mulai masuk secara bergilir termasuk Indah dan Aldi. Tak lama, bus pun kembali berjalan.
Rinai hujan yang belum juga berhenti, menjadi teman perjalanan Indah yang dikepalanya masih begitu banyak pertanyaan tentang keresahan hatinya.
“Salah Indah apa sih Kak sama Mama?” tanya Indah lagi yang kini sudah berderai airmata. Aldi yang tak kuasa melihat kesedihan sang Adik, langsung menariknya ke dalam pelukannya.
“Apa Indah nggak cukup layak untuk jadi anak Mama? Kalau begitu, mengapa Indah dilahirkan?” lagi-lagi pertanyaannya cukup mengiris hati Aldi.
“Cukup Indah, semua itu nggak benar. Kamu layak, kamu anak sekaligus adik yang baik, yang penurut, yang penyayang.”
“Kamu sabar ya sama sikap Mama, kita nggak pernah tahu ada hal baik apa yang akan kamu dapat dari semua ini, lagipula, walaupun kamu nggak dapat perhatian dari Mama, kan ada Kakak dan Papa yang selalu sayang dan perhatian sama kamu.”
Aldi tak punya satupun jawaban yang dapat membuat Indah puas atas pertanya-pertanyaannya. Ia hanya bisa menghibur sang Adik dengan keberadaannya. Tak jarang, ia kerap menyalahkan dirinya dan merasa tidak berguna sebagai seorang Kakak. Namun bagaimanapun, ini semua bukan tentang siapa yang salah, tetapi tentang takdir. Tuhan ingin mengajarkan sesuatu yang begitu berarti untuk Indah, Aldi, juga Mamanya.
Indah melepas diri dari peluk Aldi dan menyeka airmatanya, kemudian ia tersenyum. “Jantung Indah terasa 10 kali lebih cepat saat secara nggak sengaja melihat Mama tersenyum untuk Indah, Kak.”
“Dan melemah saat Mama kembali bersikap dingin sama Indah.”
“Rasanya seperti naik roller coaster ya?”
“Nggak tahu, kan tadi Kakak yang naik wahananya. Indah nggak boleh.”
“Nanti kalau kamu sudah usia 17 tahun, pasti Kakak bolehin.”
“Kakak temani lagi ya?”
Aldi mengangguk. Selama dirinya masih hidup, tidak akan ia biarkan Indah merasa kesepian. Selagi bisa, ia akan terus ada untuk menemani Indah. Itu janji yang ia ucapkan pada dirinya sendiri.
*
Mama San adalah seorang Ibu yang penuh kasih sayang, perhatian, juga lembut pada anak semata wayangnya, Aldi. Ia menganggap Aldi adalah anugerah yang Tuhan berikan untuknya, tak peduli dengan segala rasa sakit yang ia derita saat melahirkan Aldi, bersama keluarga kecil yang ia miliki, Mama San hidup dengan bahagia.
Kebahagiaan tidak berlangsung lama ketika Mama San mengetahui dirinya kembali mengandung seorang bayi. Semua derita dan rasa sakit akan kembali menyerang tubuhnya saat persalinan berlangsung nanti. Saat itu, Aldi sudah berusia lima tahun. Namun lima tahun tidaklah cukup bagi Mama San untuk melupakan semua penderitaannya ketika melahirkan. Hal ini membuat Mama San tidak menerima kehamilannya yang kedua. Dengan perasaan sedih, ia berulang kali mencoba menggugurkan kandungannya tanpa diketahui oleh Papanya Aldi, Pak Farhan. Namun tekadnya untuk menggugurkan kandungan tersebut selalu gagal, sehingga Mama San menyerah dan membiarkannya terus tumbuh di dalam rahimnya.
Mama San pikir, semua tidak akan memiliki dampak, ia hanya perlu menerima, dan hidupnya akan kembali bahagia dengan kehadiran si calon bayi. Tetapi Mama San salah. Karena semakin ia mencoba menerima, semakin pula rasa sakit yang ia alami bertambah. Setiap malam, napasnya semakin sesak. Sekujur tubuhnya terasa sakit sampai ke tulang karena adanya si bayi. Tak jarang Mama San menangis menahan sakit, dan meminta Pak Farhan melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit yang ia derita.