Prajurit itu melemparku masuk ke dalam sel seperti aku ini biang pemberontakan menggulingkan takhta kerajaan. Padahal tidak sama sekali.
Wajahku langsung mencium lantai penjara yang lengket dan bau pesing. Ada jerami berserakan di sekitar lantai, sempat masuk ke mulutku.
Aku meludah. Tentu saja siapa pun akan meludah kalau jerami kotor yang entah barangkali tercampur air kencing atau kotoran masuk ke mulutmu. Tapi prajurit itu malah menekan kepalaku dengan tangan kasarnya, membuatku kembali mencium lantai penjara.
"Kau berani meludahiku, ha?! Berani sekali gadis tengik!" Prajurit itu menyentak keras sekali. Dia menjambak rambutku untuk membuat telingaku mendekat tepat di mulutnya.
"Mulutku kemasukan jerami, Pak!" Aku balas teriak. Meskipun tidak lebih keras dari prajurit itu, tapi ludahku sempat muncrat juga ke pipinya.
Pria yang sok berkuasa ini menolehkan kepalanya sambil menutup mata saat aku berteriak. Dia langsung membenturkan kepalaku dengan keras ke lantai.
"Berani sekali kau!"
Kepalaku langsung pening. Paha dan pinggulku sudah nyeri, sekarang ditambah lagi memar di kepala ini.
Ketika tangannya mengepal hendak memukulku, aku langsung menyela, "Tak perlu buang-buang tenaga Pak! Lagi pula besok tahanan ini tinggal mayat."
Prajurit itu langsung menunjukkan giginya--kuning berderet dengan rapi dan bau kopi bercampur daging. "Hahaha! Benar! Kamu harus tahu tempatmu. Nikmati malam terakhirmu mendekam di sel ini."
Dia memberikan sentakan terakhir di kepalaku, melepas cengkeraman tangannya dari rambutku, lalu akhirnya mendengus dan meninggalkanku.
Aku tidak langsung bangkit. Seluruh tubuhku terasa terbakar oleh rasa sakit, berdenyut hingga ke tulang. Ototku tidak berdaya untuk bergerak mengangkat tubuh. Selama lima belas menit aku hanya berbaring di dalam sel ini dengan tangan diikat ke depan.
Ternyata sakit yang berdenyut ini tidak bisa mengantarkanku tertidur. Padahal aku ingin tidur, lalu bangun dan menemukan bahwa bencana ini cuma mimpi.
Udara dingin merayap ke lantai penjara, menyentuh kulit kakiku yang pucat dan memar menghitam. Hampir saja aku kehilangan rasa dan kakiku seperti milik orang mati.
Aku segera memaksa tubuhku bangun dan meringsut ke sudut sel. Ada tumpukan jerami yang menggunung kecil di sampingku, yang sepertinya tempat buang kotoran. Aku tidak peduli. Bau kotoran adalah hal terakhir yang aku khawatirkan sekarang.
Lorong penjara menjadi semakin gelap, seperti tidak berujung. Hanya cahaya oranye dari api obor yang jauh, terpantul di dinding lorong. Aku bahkan kesulitan melihat jari kakiku yang kaku, kalau bukan karena bantuan cahaya bulan dari jendela kecil di atas sel.
Aku merapatkan lutut dan menggosok jari-jari kakiku yang kedinginan. Meringkuk di sini, aku jadi merindukan Ibuku. Biasanya memelukku di malam dingin. Meskipun dengan selimut berlubang dan penuh tambal sulam, tapi dalam pelukan Ibu aku merasa hangat.