Ada yang tidak beres dengan gadis itu.
Seorang prajurit keluar dari pintu ganda penjara bawah tanah dengan punggung tegap, pedang kerajaan bersarung hitam dengan garis merah tersampir di pinggangnya. Itu Pak Furoh--aku mengenalinya dari wajah persegi dan kumis yang dicukur rapi. Ekspresinya dingin dan tegas seperti ayah. Dia mengenakan lencana burung emas, lambang prajurit tingkat dua, tanda bahwa dia ketua pos prajurit di sini.
Seorang gadis yang memakai baju kain rami kotor berjalan di belakangnya, dikawal oleh dua anak buah Pak Furoh. Gadis itu kurus, tangannya yang diikat ke depan terlihat seperti ranting yang mau patah. Dia berjalan sendiri dengan kaki telanjang, tanpa diseret oleh kedua prajurit itu. Hal ini tidak biasa, karena setiap tahanan yang aku ingat, mereka selalu dipegangi kedua tangannya. Baik itu karena mereka terlalu lemas dan tidak kuat lagi berjalan, atau terlalu agresif dan mencoba melarikan diri.
Wajah gadis itu terlihat lebih jelas setelah keluar dari bayang-bayang penjara bawah tanah. Rambutnya pendek sebahu, terlihat sangat kusut, berantakan, dan ada jerami yang terselip di antara helaiannya. Kepalanya tidak tertunduk lesu, tapi malah mendongak dan melihat ke kanan-kiri. Seluruh wajah hingga bibirnya yang pucat seperti dibalur tepung, tidak menunjukkan ekspresi sedih sama sekali. Malah, mulutnya terbuka seperti anak kecil yang baru melihat taman bermain.
Lalu matanya--aku paling tidak bisa mengalihkan kecurigaanku pada matanya. Sepasang mata itu terbuka dengan lebar, lincah mengalihkan fokusnya. Bola matanya masih putih jernih, dengan iris hitam arang yang membulat sempurna. Padahal seharusnya mata mereka kosong, sayu, dan merah sembab.
Aku sudah melihat banyak narapidana yang akan mengakhiri nyawa di tiang gantungan, tetapi tidak ada yang seperti gadis ini. Dia bukan seperti orang yang hendak menjemput kematian.
Gadis itu berjalan terseok mengikuti Pak Furoh yang menuntunnya ke menara kayu. Aku berdiri tepat di depan menara kayu itu, bersama lima prajurit yang berjaga. Di belakang, warga yang menonton berbisik satu sama lain. Aku bisa mendengar beberapa patah kata dari mereka, "...terlalu muda...", "...dia berbuat salah apa?...", "...dia seumuran anakku...", "...pemuda tampan itu yang akan mengeksekusi?"
Aku menghela napas mendengar komentar warga. Kebanyakan mereka sebenarnya hendak berbelanja di pertokoan alun-alun kota yang letaknya satu blok dari lapangan eksekusi ini. Raja memang menempatkan menara gantung ini di lokasi strategis agar setiap hukuman mati dapat disaksikan oleh publik. Agar menjadi pelajaran bagi mereka supaya tidak melanggar Hukum Raja.
Gadis itu dibawa naik ke atas menara gantungan. Kaki kurusnya kesulitan menaiki tangga menara yang agak tinggi. Ada pegangan tangga di sebelah kirinya, tapi dengan tangan yang terikat, tentu dia tidak bisa memegangnya. Akhirnya, anak buah Pak Furoh meraih lengan gadis itu dari depan, sementara yang lain mendorong punggung dari belakang. Gadis itu terus dibantu naik sampai ujung anak tangga.
Dia melangkah di lantai atas menara, dituntun untuk menginjak papan eksekusi yang ada di ujung menara. Papan itu adalah pintu jebakan yang bisa turun ketika tuas ditekan. Orang yang berdiri di atasnya akan terjatuh. Jika lehernya sudah terikat tali, maka ia akan tergantung.
Salah satu prajurit yang sudah berjaga di atas menara, meraih tali pancung yang masih tergantung bebas. Dia melonggarkan ikatannya, dan mendekatkan tali itu ke kepala si gadis untuk dikalungkan. Gadis itu diam saja ketika tali dimasukkan ke kepala, lalu dikencangkan di lehernya.
Setelah tali gantungan terpasang, gadis itu mendongakkan kepala ke atas. Lalu tersenyum.
Tunggu dulu. Tersenyum? Aku yakin tidak salah lihat. Aku yang berdiri depan menara ini, bisa melihat jelas lengkungan di bibirnya.