"Mungkin menikmati wajah pria tampan ini?"
Aku menoleh. Suara yang menjawab barusan bukan dari gadis itu, tapi dari samping kananku.
"Lady Cira," aku segera membungkuk sedikit dengan satu tangan di belakang dan tangan kanan di depan dadaku untuk memberikan hormat, sekedar formalitas. "Senang bertemu dengan Anda. Tapi maaf, saya bukan sedang bertanya padamu."
Seorang wanita berusia dua tahun di atasku datang dengan gaun putih yang mengembang hingga menyapu lantai. Dia membawa payung putih berenda, berjalan dengan anggun mendekatiku.
"Hohoho… Lihat ini. Benar seperti kata rumor. Malaikat bermata hijau memang berlidah pedang." Jawab Lady Cira dengan tawa dan senyuman yang dibuat-buat. Punggung tangan yang memakai sarung tangan sedikit menutupi mulutnya ketika tertawa.
"Lady terlalu berlebihan," Aku tersenyum. "Saya memang berlidah pedang, tetapi bukan malaikat."
Wanita ini kembali tertawa, lebih kuat sampai payungnya ikut bergetar. Tapi suara tertawanya tetap dibuat halus dan lembut.
"Oh? Benarkah? Lalu bagaimana Anda bisa menjelaskan belasan gadis-gadis pengagum Anda di sebelah sana?" Lady Cira mengayunkan tangan ke belakangku. Di bawah teduhnya bayangan dari satu-satunya pohon yang tumbuh di lapangan ini, ada sekelompok gadis yang berdandan dengan cantik, memakai gaun indah seperti yang dikenakan Lady Cira. Mereka semua langsung memalingkan wajah ketika aku menoleh.
"Betapa kejam… pemuda tampan sepertimu membuat gadis-gadis cantik itu harus ikut menyaksikan eksekusi hukuman mati." Lady Cira menurunkan nada suaranya, membuat dirinya seperti orang yang baru saja disakiti.
"Bukan urusanku. Saya tidak mengundang mereka." Aku menjawab singkat. Gara-gara kedatangan Lady Cira aku jadi tidak bisa mendengar jawaban dari gadis di atas menara itu.
Sekarang gadis tahanan itu mengalihkan pandangannya dariku, kepala menatap lurus ke depan dengan mulut datar. Tapi aku sempat menangkap matanya melirik cepat ke bawah, ke arah Lady Cira, lalu kembali ke arah semula.
"Saya juga tidak ingat telah me-ngun-dang Anda," aku menambahkan. Kata mengundang lebih aku tekankan dengan sedikit dieja. Kuharap Lady Cira tidak terlalu tumpul untuk menyadari bahwa aku tidak nyaman dengan kehadirannya. Walaupun dia dari keluarga Wesmila yang dekat dengan keluarga Avontaire, tetapi aku masih ingat senyum mengejeknya ketika ia pernah menghadiri makan malam bersama di manor[1] kami.
"Ini acara publik, tentu aku boleh hadir tanpa diundang, bukan? Tapi tenang saja, aku hadir bukan untuk anak haram sepertimu." kata-kata beracun itu meluncur dengan mudah dari bibir Lady Cira yang masih tersenyum manis. Tapi aku jijik melihat senyuman itu. Rasanya seperti memakan busa krim manis yang terlalu banyak, sampai rasanya hambar dan ingin kumuntahkan.
Salah satu prajurit yang berdiri di antara aku dan Lady Cira melirik ke arahku. Dia tentu mendengar seluruh percakapan kami, termasuk bagian kalau aku adalah anak haram keluarga Avontaire. Aku balik menatapnya tajam. Lalu kenapa kalau aku anak haram? Kau menyesal mengikuti perintahku? Pesan itu walau tidak kuucapkan, tetapi tersampaikan lewat tatapan. Pria itu segera mengalihkan pandangan seolah-olah tidak pernah dengar.
Setelah mengejekku anak haram, aku tentu tidak akan membiarkan perempuan ini begitu saja.
"Oh, bukan untuk menemuiku? Tapi mungkin saja Anda akan beruntung kali ini. Setelah mengekor pada Latius Avontaire yang berakhir dengan penolakan di tengah-tengah pesta dan Rhadon Avontaire yang jelas-jelas menunjukkan kemesraan bersama kekasihnya di depanmu, barangkali dengan mengejar anak haram Avontaire, Anda bisa mendapatkan sedikit koneksi dengan keluarga kami." Aku membalikkan badan ke belakang dan tersenyum. "Tapi kau harus mengantre di pohon itu kalau mau mengejarku."
Lady Cira mendecih. Senyum palsunya sempat menghilang menjadi cemberut dan alis mata yang menukik ke bawah. Tapi tidak lama, dan dia memasang topeng ekspresinya kembali.
"Latius yang mengundangku kemari. Aku tidak menyangka malah menemuimu."
"Kakak?"
Aku memang menggantikan Latius menghadiri eksekusi ini. Pagi sekali ia mengirim pelayannya ke kamarku, tanpa pemberitahuan sebelumnya, langsung menyuruhku menggantikannya mengurus pengadilan. Kukira Kakak sedang malas atau memiliki agenda lain, tapi bisa saja salah satunya untuk menghindari perempuan ini.
"Iya," Lady Cira menjawab kebingunganku. Dia mengangkat tangannya dan menunjuk ke atas, ke arah gadis yang sekarang menunggu vonis mati. Tali gantungan sudah melingkari leher jenjangnya yang rapuh. "Aku hadir karena gadis itu."
Aku langsung menoleh.
"Jangan bilang kalau Anda ingin membebaskannya."
Hukuman mati untuk seorang pencuri, dilihat dari sisi moral kemanusiaan, bukanlah hukuman yang adil. Tapi itu adalah Hukum Raja, dan menolak keadilan raja sama dengan membangkang pada Dewa Raoh.