Mella mendesah pelan sambil menyandarkan punggung ke kursinya. Sorot lampu kantor terasa lebih silau dari biasanya. Pikirannya tak berhenti memutar ulang ucapan ibunya, “Adikmu terlibat utang besar. Kami nggak sanggup bayar, Nak.”
“Pak Surya, orang kaya yang itu, katanya bersedia melunasi semua, asal kamu mau menikah dengannya.”
Pak Surya, pria yang berusia enam puluh tahun, beristri dua, dan yang lebih pantas jadi kakeknya. Dan entah kenapa, dari semua perempuan muda di kampung itu, kenapa harus Mella.
Ia bukan gadis muda belia. Hampir kepala tiga. Wajahnya biasa saja. Tubuhnya juga jauh dari tipe perempuan yang sering muncul di iklan-iklan kecantikan. Tapi bahkan orang tuanya juga tidak tahu, apa alasannya.
Mella mengetik sambil sesekali melirik layar dengan pandangan kosong. Di kepalanya, bukan soal revisi atau deadline, tapi suara ibunya dua malam lalu yang terus bergema.
"Mella, ini satu-satunya jalan... Keluarga kita nggak punya pilihan lain. Adikmu bisa dibawa ke jalur hukum kalau hutangnya nggak segera dilunasi."
Ibunya mencoba meyakinkan. "Kalau kamu menikah dengannya, kamu nggak perlu kerja keras lagi. Hidupmu akan terjamin."
Mella cuma bisa mendesah panjang.
Kesempatan? Mella tidak tahu bagian mana dari situasi ini yang bisa disebut sebagai ‘kesempatan.’
“Sudah sampai mana laporannya, Mel?”
Mella menoleh. Pak Bastian berdiri di samping mejanya dengan wajah serius seperti biasa. Tapi kali ini nadanya tidak setajam biasanya.
“Lagi dicek ulang, Pak.”
“Udah dicek dari jam berapa?”
“Dari tadi pagi…”
“Dan sampai sekarang belum juga selesai?”
Nada itu kembali. Datar, tapi menekan. Mella menunduk, merasa darahnya mendidih sekaligus malu. “Saya minta waktu sedikit, Pak. Hari ini pasti selesai,” jawabnya cepat.
Bastian mendecak pelan, Setelah Bastian kembali ke ruangannya, Mella menarik napas panjang. Sebagian dari dirinya ingin lega karena pria itu tak lagi marah-marah. Tapi bagian lain justru semakin kacau.
Mella semakin sulit berkonsentrasi saat bekerja. Pikiran itu terus menghantui Mella sepanjang hari, membuatnya kehilangan fokus di kantor. Akibatnya, teguran dari Pak Bastian semakin sering ia terima. Sejak awal hubungannya dengan Pak Bastian memang tidak bisa dibilang baik, dan sekarang, situasi ini membuat semuanya terasa lebih buruk.
Dan Mella sendiri mulai bertanya-tanya... apakah menerima pernikahan itu, hidupnya akan lebih baik?
Jika ia menikah dengan pria itu, ia tidak perlu lagi datang ke kantor setiap hari, tidak perlu menerima revisi bertubi-tubi, tidak perlu merasa kecil setiap kali Bastian menegurnya di depan tim.
Tapi... apakah itu hidup yang benar-benar Mella inginkan?
ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ
Nadia mengaduk es teh manisnya sambil menghela napas.