Romance Impossible

SHARON
Chapter #4

Chapter o4

“Sumpah ya… Pak Bastian hari ini baik banget. Pas aku ngelewatin deadline, dia cuma senyum dan bilang ‘lain kali jangan kelewatan lagi ya’.


“Baru kali ini revisiku nggak ditandai merah semua."


Grub chat kantor tanpa Bastian masih ramai membahas perubahan sikap atasan mereka. Banyak yang berharap Bastian tidak lagi berubah ke setelan awal. Grup itu seperti punya dunia sendiri, tempat aman untuk curhat, dan bercanda.


Mella membaca deretan pesan itu sambil tersenyum kecil. Suasana kantor memang terasa aneh hari ini, seperti langit yang biasanya mendung tiba-tiba cerah. Semua orang tampak lebih santai, lebih ceria, seakan beban kerja pun jadi lebih ringan hanya karena satu orang berubah sikap.


“Bayangin kalau dia kayak gini selamanya. Kantor bisa serasa surga.”


“Siapa pun yang bikin dia jadi kayak gini… kita hutang banyak terima kasih.”


Notifikasi terus berdatangan. Bahkan ada yang membagikan meme Bastian versi ‘before-after’. Mella ikut membaca, tanpa banyak ikut berkomentar, hanya diam-diam menikmati kehangatan obrolan itu.


Notifikasi baru muncul di layar bukan dari grub chat kantor tapi dari Rayhan yang bertanya, “Mella, kamu udah bilang ke orang tuamu soal aku?”


Mella baru teringat, Matanya menatap layar itu lama, seolah satu kalimat pendek itu membawa Mella jatuh kembali ke dasar realitas yang selama ini mulai terlupakan.


Mella bersandar ke kursinya, memejamkan mata sejenak dan menarik napas panjang. Baru beberapa jam lalu ia merasa lebih ringan. Tapi sekarang… beban itu datang lagi, lebih berat, lebih nyata. Ia terlalu larut dalam suasana kantor yang cerah sampai lupa kalau hidupnya sendiri masih dikelilingi kabut tebal.


Mella memandangi notifikasi itu lama. Pesan dari Rayhan tak kunjung ia balas. Bukan karena lupa, bukan juga karena tak peduli. Tapi karena tak tahu harus menjawab apa.


Ia membuka jendela chat, mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya lagi.


Kepalanya berdenyut pelan dan belum sempat memutuskan jawaban untuk Rayhan, notifikasi lain muncul. Kali ini dari Desy.


"Diem aja Mel, Ayo dong, kasih komentar di grub. Kita butuh suara korban utama.”


Mella spontan menoleh. Meja Desy ada persis di sebelah kirinya. Dan benar saja, Desy sedang menatapnya sambil menaikkan alis dan memberi kode dengan gerakan kepala, seolah berkata, “Ayo, balas. Jangan pura-pura nggak lihat.”


Mella menghela napas, Ia kembali ke layar, membuka jendela grub kantor yang masih ramai. Lalu akhirnya mengetik singkat di grup, "semoga pak Bastian tambah ramah setelah menikah."


"Gitu aja?" bisik Desy. Mella tersentak kecil karena mendapati Desy yang tiba-tiba sudah menggeser kursi ke sebelahnya.


“Nggak ada semangatnya sama sekali. Jangan-jangan kamu…”


“Apa?”


Desy menyilangkan tangan. “Kamu kok kayak... belain Pak Bastian.”


“Gila ya! Mana mungkin.” jawab Mella cepat tapi suaranya terlalu nyaring hingga membuat beberapa rekan kerja menoleh ke arah mereka. Mella langsung menunduk dan pura-pura sibuk menatap layar.


“Udah, udah,” gumamnya pelan. “Jangan bikin spekulasi yang aneh-aneh. Ini kepalaku lagi pusing.”


Desy tidak langsung menjawab, hanya menatapnya lama seolah membaca gerak-gerik temannya itu, “Pusing gara-gara revisi? Pak Bastian masih ngasih kamu revisi yang aneh-aneh?"


Mella ingin menjawab iya, tapi faktanya… bukan itu masalahnya. Justru masalahnya kali ini lebih memusingkan daripada revisian dari Bastian.


ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ✿ʘ


Lihat selengkapnya