Jujur saja aku tidak sepenuhnya memahami materi yang diajarkan oleh wali kelasnya Paul ini. Bukan hanya satu dua kali aku kehilangan fokus dan merasa telah melewatkan banyak hal, padahal sejak awal kelas dimulai aku terus mendengarkan perempuan ini bicara. Apa dia benar-benar serius mengajarkan ini kepada anak kelas empat SD?
Teman-teman sekelas Paul tidak terlihat kesulitan. Beberapa kali memang ada yang menyela dan bertanya. Namun, mereka semua tampak paham dan mengikuti kelas dengan baik.
Agar tidak tertinggal terlalu jauh, aku menyambar buku milik Paul dan membuka halaman yang tengah ditampilkan di layar. Sama persis. Rupanya memang tuntutan belajar anak-anak zaman sekarang jauh lebih berat daripada yang kuterima ketika sekolah dulu.
Aku melirik Paul yang duduk tegak di kasurnya. Dia tengah asyik menyusun lego menjadi semacam pencakar langit. Sama sekali tidak tersisa ekspresi kesakitan yang tadi dia tunjukkan padaku. Tidak butuh waktu lama bagi anakku untuk menyadari bahwa aku tengah memandanginya. Tubuhnya langsung jatuh rebah dan bergelung, pura-pura menderita.
Aku terkekeh. Ini bukan pertama kalinya dia menipuku seperti ini. Dasar!
Aku berdeham pelan lalu kembali memusatkan perhatian pada kelas daring. Perempuan di telah menutup gambar halaman buku yang tadi dia bagikan. Kini, aku bisa melihat wajahnya memenuhi layar.
Kupandangi dia baik-baik. Perempuan ini yang selama ini mendesakku untuk lebih memperhatikan Paul. Mendidiknya dengan baik, membimbingnya belajar, seolah selama ini aku tidak melakukannya dengan baik. Jujur saja, aku sedikit tidak menyukainya. Terlebih lagi ketika dia mengirimkan email berisi surat peringatan atas keaktifan Paul yang tidak pada tempatnya—aku mengutip langsung dari surat itu.
Aku tidak tahu sudah berapa lama perempuan ini menjadi guru. Tapi dia bertingkah seolah mengetahui semua hal yang terbaik untuk mendidik seorang anak. Aku tidak pernah suka pada perempuan yang sok tahu. Karena itu aku membalas emailnya dengan meminta bukti yang menunjukkan bahwa memang Paul yang membuat masalah. Sampai detik ini, bukti itu tidak kudapatkan.
Ketika perempuan itu tiba-tiba menyelipkan sesuatu di antara giginya yang putih dan rapi, aku menahan napas. Oh, tidak. Jangan lakukan itu!
Tentu saja perempuan itu tidak bisa mendengar kata hatiku. Dia mengangkat kedua tangan untuk mengumpulkan rambutnya, membuat blazer yang dia kenakan sedikit tersibak. Di balik atasan itu, dia hanya mengenakan semacam kaus longgar. Dengan ikat rambut yang dia gigit sejak tadi, perempuan itu mengikat rambutnya menjadi ekor kuda. Lehernya yang ramping dan putih membuat aku menelan ludah.
Pelan-pelan, aku mengembuskan napas yang rupanya kutahan entah sejak kapan. Aku tidka pernah tahu bahwa efek menyaksikan perempuan yang menguncir rambut di satu layar iPad benar-benar mematikan.
Setelah beberapa menit berlalu, perempuan itu meminta semua anak mengerjakan tugas di buku masing-masing. Tidak ada yang protes, semuanya mulai mengerjakan soal dan meninggalkan aku termenung sendirian. Perempuan itu mengatakan bahwa dirinya akan meninggalkan layar sejenak. Perlu ke kamar mandi sebentar, katanya.
Aku yang masih linglung membiarkan saja perempuan itu pergi. Sehingga aku bisa bernapas sedikit lebih lega.
Perempuan itu rupanya pergi cukup lama. Sudah lewat sepuluh menit tapi dia masih belum kembali. Karena bosan, aku menekan kotak kecil di layar yang menampilkan wajahku, yang ternyata membuat wajahku kini memenuhi layar.