Romancheese

Oktabri
Chapter #7

#7

Aku tidak ingat sudah berapa hari berlalu sejak telepon pertama itu. Sejak saat itu, aku rutin menghubungi Cheska. Sengaja kupilih pukul delapan hingga pukul sepuluh malam, tidak lebih tidak pula kurang. Aku tidak ingin menyita waktunya terlalu banyak karena aku tahu dia harus bekerja setiap harinya.

Ini sebuah rekor untukku. Setelah bercerai, perempuan yang paling banyak kuajak bicara adalah rekan kerja, itu pun sebatas membahas masalah pekerjaan.

Bersama Cheska, kami membicarakan segala hal. Dari perihal tempat yang ingin dikunjungi setelah pandemi berakhir sampai rasa kopi favorit. Dari yang penting seperti kontroversi pandemi hingga hal remeh semacam bubur diaduk atau tidak.

“Diaduk atau tidak, itu kembali ke selera masing-masing. Kalau sudah masalah selera, berdebat seharian pun tidak akan ada gunanya karena setiap orang punya cara pandang yang berbeda,” kata Cheska di seberang telepon.

Aku mengiakan. Sangat setuju dengan caranya berpikir.

“Masa perempuan secerdas kamu tidak punya pacar? Aku masih belum percaya,” godaku.

Cheska tidak langsung menjawab. Memang, dia punya kebiasaan untuk diam beberapa saat sebelum akhirnya menanggapi. Aku juga suka caranya itu. Artinya, dia berpikir dulu sebelum bicara, tidak asal membuka mulut terus menyesal belakangan karena yang diucapkan salah.

Aku coba memancing reaksinya sekali lagi. “Tapi aku percaya tidak lama lagi kamu akan punya pacar.”

Terdengar tawa Cheska yang pelan. “Sedang menguji coba gombalan ketua geng motor tahun sembilan puluhan, nih?”

“Ah, aku ketahuan.”

Wajahku terus tersenyum sampai rasanya sakit. Saat aku berusaha mengendalikan diri, kusadari bahwa aku tidak sendirian di kamar berukuran 3 x 4 meter persegi ini. Untunglah, satu-satunya manusia selain aku di ruangan ini sudah tertidur lelap di antara tumpukan Lego.

“Sebentar,” pintaku pada Cheska. Kuangkat tubuh Paul dari lantai berlapis karpet, merebahkannya di ranjang yang kami bagi berdua, lalu menyelimuti tubuhnya. Kukecup dahinya lalu kembali ke ponsel yang kutinggalkan di dekat jendela. “Sudah. Aman. Paul sudah tidur.”

Informasi yang kuberikan itu membuat Cheska mengembuskan napas lega. Mungkin ini akan menjadi tantangan untukku ketika nanti aku membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius. Menyatukan Cheska dan Paul tidak akan mudah. Namun, sepertinya hal itu tidak perlu terlalu kucemaskan sekarang.

Aku mendengar suara berkeletak-keletuk di seberang. Seperti suara jari yang menari di atas papan ketik. “Kamu sedang apa, Ches?”

“Menyiapkan media untuk mengajar besok. Kali ini aku bikin komik,” ujar Cheska dengan bersemangat. “Yah, walaupun yang menggambarnya bukan aku. Yola yang bikin. Tapi ide ceritanya murni dari aku, kok.”

Lihat selengkapnya