“Yah, saat itu mereka sudah menyusun kursi dan meja di kelas. Memanfaatkan sarung dan selendang sebagai kostum. Sementara di bawah panggung buatan itu, ada yang antre untuk bersalaman, ada yang memutar musik pernikahan, terus ada pula yang kebagian menjadi tukang rekam.”
Saat ini Cheska sedang menceritakan kejadian paling aneh yang pernah dialaminya selama mengajar dan aku sedang berusaha menjadi pendengar yang baik.
“Waktu aku berjalan masuk ke kelas itu, mereka semua tunggang-langgang dan bersorak karena malu. Untunglah ponsel yang menjadi satu-satunya alat perekam kejadian itu bisa langsung kurebut dan kusita. Kalau tidak, bisa-bisa sekolah kami jadi pembicaraan semua orang,” ungkap Cheska.
“Kenapa begitu?”
“Coba Mas bayangkan. Anak kelas enam SD, membuat tiruan dari video yang sedang viral—hajatan palsu dengan memanfaatkan fasilitas di kelas—apa orang bisa memaklumi? Nggak, Mas. Tidak semua orang bisa memakluminya. Kami sebagai guru yang akan jadi sasaran komentar orang-orang sok tahu di dunia maya. Mereka tidak mau tahu bahwa di sekolah kami sudah melarang peserta didik membawa ponsel atau apakah ada kontrol dari orangtua terhadap tontonan anak-anak mereka selama di rumah.”
Aku pun memahami titik permasalahannya. “Yah, benar juga sih yang kamu bilang.”
“Tingkah anak-anak zaman sekarang ini macam-macam, Mas. Mas sendiri pernah bilang kalau anak zaman sekarang daya tangkapnya bukannya lebih baik daripada anak-anak zaman dulu, tapi karena semua informasi bisa mereka dapat dengan mudah dari segala arah, segala cara.”
Aku tersenyum dibuatnya. Senang sekali karena ternyata Cheska mengingat semua ucapanku dengan baik. Lega karena ternyata bukan cuma aku yang berusaha menjadi pasangan yang baik, ternyata dia juga melakukan hal yang sama padaku.
Ponselku bergetar, ada panggilan lain yang masuk. Ternyata dari kantor pusat. “Ches, maaf ya. Ada telepon dari kantor, nanti aku hubungi lagi. Kamu jangan lupa makan siang ya, Sayang.”
Cheska mengiakan dan aku langsung mengalihkan panggilan.
Beberapa meter dariku, Rowan dan Paul terlihat sedang saling berbisik satu sama lain. Kemudian, Paul menyambar Lego yang dia bentuk memanjang menyerupai sebuah ponsel, lalu menempelkan benda itu ke telinga. Berpura-pura tengah menelepon dan berbicara dengan nada yang diberat-beratkan. “Kamu jangan lupa makan siang ya, Sayang.”
“Iya, Sayang,” ujar Rowan menanggapinya.
Paul protes. “Bukan begitu. Pakde harus lebih centil lagi. Kayak cewek betulan.”