Aku terbangun dengan senyum lebar yang masih mengembang di wajah. Perhatikan kalimatku, masih mengembang. Itu tandanya bahwa di dalam mimpi, aku tengah tersenyum lalu bangun dalam keadaan yang masih sama.
Sekali lagi aku memimpikannya. Roman, dan Paul.
Ini mungkin akan terdengar memalukan, tapi rasanya aku bisa meledak karena bahagia jika menyimpan ini sendirian terlalu lama. Dan tepat waktu, sesuai kebiasaannya, Yola akan menyelinap masuk ke kamarku untuk membebaskan Meng. Setiap malam, kucingku memang tidur di ujung ranjangku dan dia butuh ke kamar mandi setiap pagi. Sudah tugas Yola untuk membukakan pintu kamar untuknya.
Biasanya, setelah membuka pintu untuk Meng, Yola akan kembali ke kamarnya sendiri dan tidur lagi. Namun, melihat aku yang sudah bangun lebih awal dan dengan wajah yang berseri-seri, dia justru melompat ke ranjangku.
“Mimpi indah lo?” tanyanya dengan suara mengantuk.
Aku mengangguk cepat. Bersiap menceritakan padanya.
“Kalo mimpi lo berhubungan sama Roman dan hal-hal yang domestik lainnya, gue mending cabut, deh. Bosen gue. Emangnya lo nggak bosen mimpi hal yang sama berulang kali. Segitu sukanya lo sama dia?”
Aku tidak mampu menjawab. Karena aku terdiam terlalu lama, Yola terlelap di ranjangku sambil mendengkur pelan.
Ponselku berdering. Bukan panggilan telepon seperti biasa, tapi panggilan video.
Dadaku berdebar kencang. Aku buru-buru memastikan tidak ada belek atau iler yang membekas di wajahku. Aku menjawab panggilan itu sebelum aku berubah pikiran.
“Selamat pagi, Sayang,” sapa Roman.
Aku tersenyum dan balas menyapanya, “Pagi, Mas.”
Ramon terdiam sejenak sebelum berkata, “Sesuai dugaanku, kamu pasti cantik banget waktu bangun tidur.”
“Apaan sih, Mas.” Aku menepis gombalannya walaupun wajahku sepenuhnya tersenyum. Kulirik Yola yang masih terlelap di ranjangku. Memastikan dia tidak mendengar percakapan ini.
Setelah sekian lama menenggelamkan diri ke tumpukan pekerjaan yang tidak ada habisnya, aku merasa seperti tengah dilemparkan tinggi ke langit. Melayang-layang dengan ringan seperti sebuah kelopak bunga di udara. Sekalipun belum pernah bertemu secara langsung, aku senang karena bisa mengenal Roman dan menjadi pacarnya.
“Mas mau ke kantor hari ini? Rapi banget,” sindirku. Walaupun sesungguhnya ini adalah pertama kalinya aku melihatnya memakai kemeja rapi dan rambut yang masih basah.
Roman mengangguk mengiakan. “Dipanggil sama orang kantor pusat. Mungkin aku akan dipecat,” katanya seolah tanpa beban.
“Apaan sih, Mas. Ngomongnya sembarangan.” Aku berdecak tak suka.
“Jadi semangat nih pagi-pagi begini sudah lihat wajah kamu. Pengennya setiap hari sih kalo kamu nggak keberatan.”